Pucuk Merah

Depok,  24 April 2015

Angin sedang bertiup keras di luar sana. Malam yang dingin semakin bertambah dingin. Entah musim apa sekarang. Yang seharusnya bulan April sudah masuk ke masa musim panas di Indonesia,  sekarang justru malah hujan seperti tak kenal lelah menyapa tanah,  setiap hari.  Di Depok,  sudah dua hari ini hujan turun berturut-turut setiap sore. Anugerah yang menyenangkan sekali. Merasakan semilir angin yang membawa wangi sejuk tanah. Pandangan mataku tertumbuk pada pepohonan di pekarangan rumahku.

Ada satu pohon yang menarik perhatianku. Lama kupandangi daun-daunnya yang berwarna hijau dengan pucuk-pucuknya yang berubah warna menjadi merah. Indah. Ditambah latar langit sore selepas hujan, juga angin yang menerbangkan daun-daun gugur menerpa tanah.

Aku terkesima.

Aku bertanya-tanya dalam hatiku, "Warna merah itu bunga atau daun ya?"

Umiku yang sedang menjahit, fokus dengan pekerjaannya lupa menikmati pemandangan di luar jendelanya yang begitu indah. Dengan dahi berkerut yang beradu dengan suara putaran mesin jahit. Mana sempat memperhatikan kemana mataku menuju.

"Umi, pohon hijau yang ujungnya merah itu pohon apa ya? Yang warna merah itu bunga atau daun? Kok dua warna gitu ya?" tanyaku membuka percakapan.

Sambil terus mengerjakan jahitannya umi menjawab,  "Itu daun yang warna merah. Namanya pohon Pucuk Merah."

"Oooh.. Bagus ya mi.."

Hening lagi, hanya suara mesin jahit yang terus menderu memecah hening.
Aku masih menikmati pemandangan yang Allah suguhkan di hadapanku sore ini. Damai.. Tenang..

Tetiba aku teringat percakapanku tentang daun dan pohon,  dengan seorang temanku, bertahun  dulu. Di suatu sore selepas hujan juga.

Saat itu, di balik jendela ruang makan asrama kami, kami melihat semilir angin menerbangkan sehelai daun jatuh dari pohon.

Temanku bertanya padaku, dengan tetap memandang pohon diluar jendela,  "Kira-kira, daun yang gugur itu, karena daun itu yang ingin lepas dari pohonnya,  atau daun itu yang sudah tidak ingin lagi memegangi daunnya?"

Aku terdiam, memposisikan diriku menjadi daun atau menjadi pohon itu. Lalu aku menjawab,  "Kamu tahu? Aku rasa keduanya tidak mau saling melepaskan. Tapi waktu, saatnya ia berperan. Jika waktu bisa bicara, mungkin dia akan mengatakan,  'inilah saatnya, perpisahan dari sebuah pertemuan yang tak akan terelakkan.' Mungkin begitu."

Temanku pun lantas terdiam,  merenungi kata-kataku. Lantas mengangguk-anggiluk penuh makna,  "Ya,  aku mengerti."

Pucuk Merah itu merebut kembali perhatianku dari nostalgia masa lalu. Aku lagi-lagi mengambil satu kesimpulan.

"Kau indah, dengan caramu sendiri. Bisa jadi kau tidak menyadari keindahanmu. Tapi tetaplah jadi dirimu. Kau akan tetap indah dengan keindahanmu sendiri yang istimewa."

Sore yang indah, dengan pemaknaan yang indah... Keindahan yang melegakan hatimu yang gundah, kadang tak perlu kau cari jauh-jauh, sefala sesuatu di sekitarmu, terkadang luput dari pandanganmu. Padahal mungkin,  ada keindahan yang lupa kau nikmati darinya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DARI ANAKMU YANG KINI DEWASA

Perjalanan Pembuktian Cinta #Part1

Hmm..ukhti, istiqomahlah..