Sebuah Alasan tentang Kenapa Dilarang dan Kenapa Disuruh

(Refleksi tentang kasih sayang Allah di balik setiap perintah dan larangan-Nya)

Hari ini Allah mengajarkanku sesuatu. Bukan lewat ayat yang kubaca, bukan pula dari ceramah atau buku yang kubuka—melainkan lewat keseharian sederhana bersama anak-anakku. Lewat satu peristiwa kecil di rumah, yang mungkin tampak sepele, tapi justru di sanalah Allah menyisipkan hikmah yang begitu dalam.

1. Sebuah Permainan yang Tak Biasa

Sore itu, Raihan, anakku yang berusia sembilan tahun, sedang bermain dengan sebuah kardus besar. Ia tampak sangat antusias, seolah menemukan dunia baru dalam kardus itu. Tangannya memegang garpu besi, dan ia mulai menusuk-nusuk bagian permukaannya dengan semangat. Bagi anak-anak, mungkin itu hanyalah permainan yang seru. Tapi dari sudut pandangku sebagai seorang ibu, yang langsung bisa membayangkan segala risiko—itu berbahaya.

Lebih-lebih lagi, adiknya yang baru dua tahun sedang memperhatikan dengan mata berbinar. Aku tahu sebentar lagi ia pasti akan meniru. Dan di situlah naluri seorang ibu muncul tanpa perlu berpikir panjang.

“Mas Raihan, jangan lakukan itu, Nak. Itu bahaya. Nanti adikmu ikut-ikutan.”

Tapi seperti kebanyakan anak-anak lain yang sedang asyik bermain, ia tak langsung menanggapi. Ia terlalu tenggelam dalam keseruannya, seolah dunia di sekelilingnya menghilang.

Aku memanggil lagi dengan nada yang sedikit lebih tegas, tapi tetap lembut. Tak juga diindahkan. Dan di saat seperti itulah, aku berhenti sejenak. Tarik napas. Mengingat diriku sendiri—betapa sering aku juga dulu tidak langsung mengerti alasan di balik larangan orang tuaku.

Maka aku memilih pendekatan lain.

“Mas Raihan, sini sebentar. Umi mau cerita sesuatu.”

2. Cerita yang Menyadarkan

Ia menoleh sebentar, ragu antara ingin melanjutkan permainan atau mendekat padaku. Tapi akhirnya ia datang. Aku menatap matanya pelan-pelan dan mulai bercerita.

“Dulu, Umi juga pernah kayak kamu. Waktu kecil, Umi suka banget mainan colok-colokan pakai sedotan dan plastik. Umi isi air di dalamnya, lalu tusuk-tusuk biar bisa muncrat. Lucu banget, waktu itu rasanya seperti main eksperimen.”

Matanya langsung berbinar. Ia tersenyum, seolah menemukan kesamaan dalam petualangan masa kecil. Tapi aku melanjutkan dengan nada yang lebih serius.

“Tapi, waktu itu tangan Umi berdarah. Pecahan plastiknya kena, dan sampai sekarang masih ada bekasnya. Nih, lihat.”

Aku menunjukkan bekas kecil di tanganku, lalu bertanya lembut,

“Menurut kamu, kalau garpu besi itu kena tangan, bakal berdarah juga nggak?”

Ia terdiam. Pandangannya beralih dari tanganku ke garpu yang ia pegang.

Lalu, tanpa disuruh, ia meletakkan garpu itu.

Aku menutup ceritaku dengan kalimat yang muncul begitu saja dari hati—sebuah nasihat spontan, tapi penuh makna.

“Umi melarang bukan karena ingin mengatur kamu.

Tapi karena tahu itu berbahaya. Karena Umi sayang.”

3. Larangan yang Lahir dari Cinta

Aku tak menyangka, kalimat itu begitu membekas di benakku.

Entah kenapa, setelah aku mengucapkannya, seperti ada suara lembut yang membisik dari dalam hati:

“Begitu pula Aku terhadapmu.”

Kalimat itu seperti menembus relung.

Aku terdiam. Menatap Raihan yang kini sudah asyik bermain lagi—tanpa garpu di tangannya.

Dan tiba-tiba aku sadar:

Selama ini, aku sering melihat larangan Allah sebagai beban.

Aku tahu itu salah, tapi sering kali manusia memang begitu: ingin mengerti sebelum taat, padahal ketaatanlah yang menuntun pada pengertian.

Allah melarang bukan karena ingin mengekang,

tapi karena tahu betapa rapuhnya kita.

Allah tahu batas kita, bahkan sebelum kita tahu batas diri sendiri.

Dan setiap “jangan” dari-Nya adalah bentuk kasih sayang yang sering salah kita pahami sebagai pembatas kebebasan.

Padahal, di balik setiap larangan, selalu ada pelukan lembut yang tak terlihat—pelukan penjagaan.

4. Ketika Disuruh

Tak lama setelah itu, azan Isya berkumandang. Suaranya bergema dari masjid dekat rumah.

Aku menoleh ke Raihan.

“Mas Raihan, ayo ke masjid.”

Tapi lagi-lagi, ia sedang asyik. Mainannya belum selesai. Dan aku tahu, kalau aku langsung memerintah dengan suara keras, mungkin hasilnya sama—ia akan menolak atau berpura-pura tak mendengar.

Aku menarik napas panjang. Lalu aku duduk di sampingnya, menatap lembut.

“Mas Raihan, tadi Umi melarang kamu karena sesuatu itu berbahaya, kan?”

Ia mengangguk kecil.

“Sekarang Umi menyuruh kamu karena sesuatu ini bermanfaat. Umi menyuruh kamu ke masjid bukan karena Umi mau memaksa, tapi karena itu baik buat kamu. Baik untuk sekarang, nanti saat Umi sudah tidak ada, dan terutama saat kamu berdiri sendiri di hadapan Allah.”

Ia terdiam sebentar.

Lalu, tanpa banyak bicara, ia meletakkan mainannya, mengambil pecinya, dan berjalan ke pintu.

Aku memandanginya pergi. Ada rasa haru yang sulit dijelaskan.

Ternyata benar, anak-anak tidak hanya mendengar dengan telinga—mereka juga mendengar dengan hati.

5. Ketika Allah Menyuruh

Setelah ia pergi, aku duduk memandangi garpu besi yang tadi dipegangnya.

Dalam diam, aku merasakan Allah sedang mendidikku dengan cara yang sama.

Aku, hamba-Nya yang sering keras kepala, sering juga dibiarkan Allah mengalami “permainanku” sendiri—sampai aku paham kenapa sesuatu dilarang.

Aku yang sering menunda perintah, karena merasa belum siap,

tapi akhirnya menyesal karena baru sadar betapa besar manfaatnya kalau saja aku segera taat.

Lalu, tiba-tiba saja, aku merasa seperti sedang “diparentingi” langsung oleh Allah.

Aku yang sering berkata,

“Kenapa sih Allah larang ini?”

“Kenapa aku harus itu?”

Ternyata jawabannya sama seperti yang kukatakan pada anakku tadi:

Karena itu berbahaya untukmu.

Karena itu baik untukmu.

Karena Aku sayang kamu.

Bukankah itu juga yang menjadi inti dari semua syariat?

Larangan bukan untuk menyulitkan.

Perintah bukan untuk memberatkan.

Tapi untuk menjaga dan menguatkan.

Allah berfirman:

“Allah tidak hendak menyulitkan kalian, tetapi hendak membersihkan kalian dan menyempurnakan nikmat-Nya atas kalian agar kalian bersyukur.”

(QS. Al-Ma’idah: 6)

6. Ketika Cinta Menjadi Bentuk Didikan

Aku teringat masa kecilku.

Sering kali aku merasa orang tuaku terlalu melarang, terlalu banyak aturan.

Baru setelah menjadi ibu, aku tahu: setiap larangan yang dulu terasa menyebalkan, ternyata adalah benteng agar aku tak terluka.

Begitulah juga Allah mendidik kita.

Kadang dengan larangan, kadang dengan perintah.

Keduanya adalah bentuk cinta, hanya berbeda cara.

Ada cinta yang memeluk dengan “ayo”,

dan ada cinta yang menjaga dengan “jangan”.

Keduanya sama-sama bentuk kasih sayang yang, jika dilihat dengan mata hati, terasa menenangkan.

Tapi sayangnya, manusia sering melihat cinta hanya dalam bentuk yang menyenangkan.

Padahal, kasih sayang Allah kadang hadir dalam bentuk yang tidak kita suka—seperti ujian, kehilangan, keterlambatan, atau bahkan larangan yang terasa mengekang.

Namun bila kita berhenti sejenak dan menelaah, semuanya ternyata sedang mengarahkan kita ke sesuatu yang lebih aman, lebih baik, lebih dekat dengan-Nya.

7. Renungan Penutup

Malam itu, setelah Raihan pulang dari masjid, aku menatapnya lama-lama.

Dalam wajah kecil yang mulai mengantuk itu, aku melihat cermin diriku di hadapan Allah.

Aku tersenyum dan berbisik pelan,

“Terima kasih, ya Allah. Hari ini Engkau mengajariku lewat anakku sendiri.”

Aku belajar bahwa menjadi ibu adalah jalan untuk memahami sedikit tentang bagaimana Allah mencintai hamba-Nya.

Bahwa setiap kali aku berkata, “Jangan, Nak,” atau “Ayo, Nak,”—di saat yang sama, Allah pun sedang berkata hal yang sama kepadaku.

“Jangan, karena itu akan melukaimu.”

“Ayo, karena itu akan menyelamatkanmu.”

Dan di antara semua pelajaran yang bisa kupetik hari ini, satu hal yang paling menenangkan adalah ini:

Allah tidak pernah memerintah tanpa maksud baik,

dan tidak pernah melarang tanpa alasan cinta.

Maka mulai hari ini, aku ingin belajar lebih banyak untuk tidak bertanya, “Kenapa harus?”,

tapi menggantinya dengan kalimat,

“Apa yang ingin Allah lindungi dariku lewat larangan ini?”

“Apa kebaikan yang Allah siapkan lewat perintah ini?”

Karena jika aku saja, seorang ibu yang penuh kekurangan, bisa melarang dan menyuruh demi kebaikan anakku,

maka tak mungkin Allah—yang Maha Pengasih lagi Maha Mengetahui—melakukan itu kecuali demi kasih sayang yang jauh lebih dalam.

Dan malam itu aku menutup hariku dengan doa yang sederhana:

“Ya Allah, jadikan aku hamba yang percaya,

bahwa setiap perintah-Mu adalah anugerah,

dan setiap larangan-Mu adalah bentuk cinta-Mu yang menjaga.”


Setiap hari, Allah mendidik kita. Kadang lewat ayat, kadang lewat anak. Yang penting, hati ini cukup lembut untuk menangkap pesan-Nya.

Komentar

  1. Allaaaah😭😭❤️‍🔥❤️‍🔥❤️‍🔥 berdesir di tiap baris-baru kalimatnya… jazakillah khoiron ustadzah sudah berbagi cerita ini…

    BalasHapus
  2. Masya Allah terimakasih sudah sharing cerita dan pengalaman nya bunda, sangat menginspirasi dan mengingatkan hakikat larangan dan perintah Allah pada hamba Nya

    BalasHapus
  3. MasyaAllah ustadzah,, begitu indah rangkaian kata2 ny, mmbuat tersadar bhw Allah begitu menyayangi hambaNya dg perintah dan laranganNya.

    BalasHapus
  4. MasyaaAllah, jazakillah khoir

    BalasHapus
  5. Terimakasih pengingatnya, jazakillaahu khoir...🤲

    BalasHapus
  6. MaaSyaa Allaah jazaakillah khayr ustadzah sangat berharga kisah pagi ini membuat perenungan mendalam n menguatkan taqwa🙏

    BalasHapus
  7. Maa syaa Allah 🥺
    Speechless ustadzah 😭

    BalasHapus
  8. MasyaAlloh pembelajaran pagi pagi yg berkesan, htr nuhun sudah diingitkan lewat tulisan ini ust

    BalasHapus

Posting Komentar

Terimakasih sudah membaca blog ini dan bersedia meninggalkan jejak dalam komentar,semoga bermanfaat ya. ^_^

Postingan populer dari blog ini

Syawal dan Janji yang Kita Simpan di Dalam Diri

Getaran Sepotong Hatiku di ayat ke 52 dan 53 Surat Al-A'raf