Musibah: Balasan, Kasih, atau Teguran?
Musibah: Balasan, Kasih, atau Teguran?
وَمَاۤ أَصَـٰبَكُم مِّن مُّصِیبَةࣲ فَبِمَا كَسَبَتۡ أَیۡدِیكُمۡ وَیَعۡفُوا۟ عَن كَثِیرࣲ
“Dan apa pun musibah yang menimpa kalian, maka itu disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Dia memaafkan banyak (dari kesalahan kalian).”
(QS. Asy-Syūrā: 30)
1. Saat Musibah Mengetuk
Tidak ada satu pun manusia yang bisa memilih jenis ujian yang akan datang kepadanya.
Kita tidak pernah mendaftar untuk kehilangan, tidak pernah menandatangani kesediaan untuk kecewa, dan tak pernah mengajukan diri untuk patah.
Namun, pada waktunya, hidup menyeret kita masuk ke dalam ruang perenungan yang paling jujur: ruang di mana semua yang kita sandarkan ternyata rapuh, dan semua yang kita abaikan ternyata paling berarti.
Ayat ini turun dalam konteks hujan yang Allah turunkan setelah masa keputusasaan panjang.
Ibn ‘Āsyūr menjelaskan bahwa kaum Quraisy pernah ditimpa kemarau dan kelaparan hebat, sebagai akibat dari kesombongan dan gangguan mereka terhadap Nabi ﷺ.
Mereka tidak menyadari bahwa musibah itu bukan semata peristiwa alam, tapi panggilan Allah untuk kembali.
Maka Allah berkata:
“Apa pun musibah yang menimpa kalian, itu karena perbuatan tangan kalian sendiri...”
Sebuah kalimat yang mengguncang — karena ia menggeser cara pandang manusia dari sekadar “mengeluh atas peristiwa” menjadi “bercermin atas sebab.”
2. Musibah Bukan Sekadar Penderitaan
Dalam tafsirnya, Ibn ‘Āsyūr menjelaskan bahwa musibah bukan hanya peristiwa buruk, tapi juga mekanisme moral yang Allah ciptakan untuk mengingatkan manusia.
Musibah bukan bentuk kebencian, melainkan komunikasi Ilahi —
cara Allah menyapa kita dengan bahasa yang tidak bisa diabaikan.
Karena manusia mudah tertidur dalam kenyamanan.
Kita bisa menumpuk kesalahan kecil setiap hari — sedikit kelalaian dalam ibadah, sedikit kesombongan dalam rezeki, sedikit penundaan dalam taubat — dan mengira semuanya baik-baik saja.
Hingga suatu hari, sesuatu menimpa kita.
Dan barulah kita sadar: Allah sedang menegur dengan lembut.
Musibah, kata Ibn ‘Āsyūr, tidak selalu berbentuk azab.
Kadang ia adalah peringatan, kadang pembersihan dosa, kadang pula kenaikan derajat.
Namun dalam semua bentuknya, ia selalu mengandung kasih.
“Dia memaafkan banyak (dari kesalahan kalian).”
Kalimat ini seperti jendela cahaya dalam langit yang mendung.
Bahwa jika Allah menghukum setiap kesalahan kita, niscaya tidak ada seorang pun yang hidup damai di muka bumi.
Tapi Dia memilih untuk menghapus banyak sekali kesalahan, membiarkan hanya sebagian kecil yang muncul dalam bentuk ujian agar kita sadar.
3. Menyadari Keterkaitan Antara Dosa dan Realita
Ayat ini memaksa kita untuk berhenti berpikir secara terpisah antara dunia spiritual dan dunia nyata.
Kata Ibn ‘Āsyūr, hubungan sebab-akibat antara amal dan peristiwa adalah nyata, meski sering kali tidak terlihat oleh mata biasa.
Ia memberi contoh dari ayat lain:
“Telah tampak kerusakan di darat dan laut karena perbuatan tangan manusia, agar Allah merasakan kepada mereka sebagian akibat perbuatan mereka agar mereka kembali.”
(QS. Ar-Rūm: 41)
Artinya, setiap bentuk kerusakan di muka bumi — sosial, moral, ekologis, atau spiritual — selalu ada hubungannya dengan perilaku manusia.
Banjir mungkin datang dari cuaca, tapi bisa juga dari kerakusan menebang pohon.
Krisis hati bisa datang dari kehilangan arah, tapi bisa juga dari dosa yang menumpuk dan belum disucikan.
Musibah, dalam logika Ilahi, bukan kebetulan, melainkan konsekuensi kasih — karena Allah tidak ingin kita terus berjalan menuju kehancuran tanpa sadar.
4. Tidak Semua Musibah Adalah Hukuman
Namun Ibn ‘Āsyūr menegaskan sesuatu yang sangat penting:
tidak semua penderitaan berarti hukuman.
“Musibah dunia bisa menjadi balasan atas dosa, tetapi tidak selalu demikian. Kadang Allah menimpakan ujian sebagai pelatihan ruhani atau peningkatan derajat.”
Lihatlah kisah Nabi Ayyūb.
Ia tidak berdosa, namun diuji dengan sakit, kehilangan, dan kesepian.
Allah ingin mengajarkan bahwa ada kesabaran yang hanya lahir dari kepedihan, dan ada kedekatan yang hanya bisa tumbuh dari kesendirian yang panjang.
Sebaliknya, Ibn ‘Āsyūr juga memperingatkan bahwa kenikmatan dunia pun tidak selalu tanda cinta.
Ada orang yang diberi harta, kesehatan, jabatan — tapi justru itu adalah istidrāj (penundaan sebelum azab).
Karena Allah ingin membiarkan mereka berjalan lebih jauh dalam kesombongan, sampai mereka tersadar saat semua telah hilang.
5. Antara Hukum Dunia dan Akhirat
Ada kelompok yang berpendapat:
“Bagaimana mungkin dunia disebut tempat balasan, padahal Al-Fātiḥah menyebut Allah sebagai Mālik Yawm ad-Dīn — Penguasa Hari Pembalasan?”
Ibn ‘Āsyūr menjawab dengan sangat jernih:
“Balasan dunia tidak meniadakan balasan akhirat. Ia hanyalah bagian kecil dari sistem keadilan Allah.”
Ada yang dibalas di dunia agar ringan di akhirat,
ada yang dibiarkan di dunia agar dituntut penuh di akhirat,
dan ada pula yang dua-duanya: dibersihkan di dunia dan dimuliakan di akhirat.
Keadilan Allah tidak seragam, tetapi selalu seimbang.
Dan rahmat-Nya tidak bisa diukur dengan satu kejadian, tetapi harus dilihat dari seluruh perjalanan hidup.
6. Wajah Kasih di Balik Musibah
Frasa terakhir dalam ayat ini — “وَيَعْفُوا عَنْ كَثِيرٍ” — menjadi inti kelembutan ayat.
Ibn ‘Āsyūr menegaskan bahwa pemaafan di sini bukan di akhirat, tapi di dunia.
Allah memaafkan banyak dosa dengan cara tidak menimpakan akibat langsungnya di dunia.
Bayangkan, berapa banyak dosa yang kita lakukan — disadari maupun tidak — dan betapa sedikit dari itu yang benar-benar dibalas di dunia.
Kita masih bisa bernapas, tertawa, bekerja, mencintai, walau sudah berulang kali lalai.
Itu artinya, Allah telah menutup banyak pintu bala yang seharusnya terbuka.
Maka ketika satu pintu terbuka — satu musibah datang — mungkin itu bukan kebencian, tapi kasih yang menegur.
Karena justru di saat itu Allah berkata:
“Aku masih memperhatikanmu. Aku masih ingin engkau kembali.”
7. Mengubah Perspektif terhadap Musibah
Sering kali kita terlalu cepat menilai:
“Ini musibah karena dosa orang itu.”
“Atau karena aku salah langkah.”
Padahal, Ibn ‘Āsyūr mengingatkan, penilaian sebab-musabab ini bukan ranah manusia.
Hanya Allah yang tahu apa yang sedang dihapus, diangkat, atau diajarkan lewat musibah tersebut.
Yang perlu kita lakukan bukan mencari kambing hitam, tapi mengambil cermin.
Alih-alih bertanya “mengapa ini terjadi padaku?”,
cobalah bertanya “apa yang Allah ingin aku pelajari dari ini?”
Karena setiap musibah membawa pesan.
Bagi sebagian orang, pesan itu adalah “berhentilah berbuat dosa.”
Bagi sebagian lain, pesan itu adalah “tetaplah sabar dan bertahan.”
Dan bagi sebagian lain lagi, pesan itu adalah “Aku mencintaimu, maka Aku mengujimu.”
8. Ketika Dunia dan Hati Sama-Sama Retak
Kadang Allah tidak menegur kita lewat kehilangan besar, tapi lewat retakan kecil yang terus terasa.
Hubungan yang mulai hambar, rezeki yang tak lagi berkah, hati yang berat padahal segalanya terlihat baik.
Semua itu bisa jadi cara Allah berkata:
“Kembalilah. Aku tidak ingin menghukummu, tapi Aku ingin memelukmu kembali.”
Karena itu, Ibn ‘Āsyūr menutup tafsir ayat ini dengan kalimat yang lembut tapi tajam:
“Orang yang diberi taufik akan meneliti sebab-sebab musibah. Jika ia tak menemukannya, maka ia menyerahkan ilmunya kepada Allah.”
Artinya, orang beriman tidak gegabah menilai musibah, tapi juga tidak menutup mata darinya.
Ia mencari makna, lalu berserah dengan rendah hati.
9. Antara Balasan dan Pelatihan Ruhani
Musibah adalah bentuk kasih yang sulit dimengerti oleh logika dunia.
Ia bukan sekadar balasan, tapi juga pelatihan jiwa agar menjadi lebih peka terhadap nilai akhirat.
Bagi orang yang lalai, musibah adalah cambuk.
Bagi orang saleh, musibah adalah sapaan.
Bagi yang cinta Allah, musibah adalah zakat jiwa — yang membersihkan hati dari debu cinta dunia.
Dan di sinilah letak keindahan ayat ini:
Ia tidak berhenti pada “balasan”, tapi berakhir pada “pemaafan”.
Seolah Allah ingin berkata,
“Aku tidak sedang menghukummu, Aku sedang menyembuhkanmu.”
10. Menutup Luka dengan Kesadaran
Maka, ketika sesuatu menimpa kita — entah kehilangan, penyakit, penolakan, atau kebangkrutan — jangan terburu-buru menilai Allah tidak adil.
Karena bisa jadi, itu adalah cara Allah mengembalikan kita ke jalan yang lebih baik.
Setiap luka bisa menjadi jembatan menuju pemahaman yang lebih dalam tentang diri dan tentang-Nya.
Dan setiap air mata yang jatuh bisa menjadi saksi bahwa kita sedang belajar satu hal penting:
bahwa hidup bukan tentang menghindari ujian, tapi tentang membaca pesan di baliknya.
11. Renungan Penutup
Musibah adalah bentuk kasih yang keras.
Ia tidak datang untuk menghancurkan, tapi untuk menata ulang.
Ia tidak datang untuk memutus, tapi untuk memperbaiki arah.
Dan di antara semua luka yang pernah kita alami, mungkin sebagian adalah tulisan cinta Allah dalam bahasa yang sulit kita pahami.
Karena itu, ketika musibah datang, ucapkan dengan hati yang sadar:
“Ya Allah, jika ini teguran, maka lembutkanlah aku untuk memahaminya.
Jika ini ujian, maka kuatkanlah aku untuk melaluinya.
Dan jika ini kasih-Mu, maka jadikan aku orang yang mensyukurinya.”
Akhir Kata
Ayat ini bukan sekadar menjelaskan sebab-sebab musibah,
tapi mengajarkan cara baru untuk memandang hidup.
Bahwa dunia bukan panggung kebetulan, melainkan ruang latihan spiritual di mana setiap kejadian membawa pesan moral.
“Apa pun musibah yang menimpa kalian, itu karena perbuatan tangan kalian, dan Dia memaafkan banyak...”
Kita hidup di bawah naungan kasih yang besar — kasih yang menegur agar kita tidak tersesat,
mengampuni agar kita tidak binasa,
dan menuntun agar kita tetap menemukan jalan pulang.
Alhamdulilah menjadi bertambah ilmu kita,semoga kita yang membacanya bisa mengamalkan Amiin..🤲
BalasHapusMasyaallah, tertampar ustadzah... Semoga Allah memberikan pemahaman atas apapun yang takdirkan untuk hambaMU ini...
BalasHapusJazakillah Khairan ustadzah...