Syawal dan Janji yang Kita Simpan di Dalam Diri

Ramadan telah pergi. Ia tidak pamit. Tidak pula menoleh. Hanya meninggalkan jejak harumnya dalam ruh—jika kita benar-benar hadir saat ia datang.

Kini Syawal menyapa.

Bukan dengan gegap gempita pesta, melainkan dengan sebuah pertanyaan yang sunyi:

“Masihkah kau ingat siapa dirimu saat Ramadan menyentuh hatimu?”

Syawal bukan jeda. Bukan tempat kembali bersantai dari perjuangan ruhani. Ia justru pintu masuk, ke sebuah medan baru: konsistensi setelah intensitas.


Tentang Ramadan: Mengapa Allah Memilihnya

Allah menyebut Ramadan sebagai bulan yang mulia, karena:

Di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia, penjelasan dari petunjuk itu, dan pembeda antara yang benar dan batil.”

(QS. Al-Baqarah: 185)

Ramadan bukan bulan lapar. Bukan sekadar puasa. Tapi bulan turunnya cahaya pertama dari langit ke dada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Ibnu Asyur menuliskan: turunnya Al-Qur’an adalah alasan mengapa waktu menjadi mulia. Bukan karena malamnya, bukan karena hari-harinya, tapi karena apa yang terjadi di dalamnya.

Dan kita… kita menjadi bagian dari sejarah itu setiap kali kita menyentuh mushaf dengan niat menghidupkan hati.


Kita Sudah Pernah Jadi Versi Terbaik Diri Kita

Pernah, bukan?

Pernah bangun sebelum Subuh untuk munajat panjang.

Pernah menyentuh lembaran demi lembaran Al-Qur’an dengan linangan air mata.

Pernah merasa kuat menahan amarah, sabar dalam godaan, dan lapang dalam memberi.

Ramadan bukan hanya tentang pahala. Ia adalah bukti: kita bisa berubah. Kita mampu lebih taat.

Lalu Syawal datang, dan bertanya dengan lembut:

“Apakah itu hanya karena suasananya, atau memang kamu yang mulai mengenal Tuhanmu lebih dekat?”


Syawal: Saat Janji Itu Diuji

Jika Ramadan adalah sebuah kamp latihan, maka Syawal adalah medan tempurnya.

Jika Ramadan adalah janji yang kau ucapkan dalam sujud, maka Syawal adalah waktu untuk menepatinya.

Ibnu Asyur menafsirkan, bahwa saat Allah berfirman:

“Siapa yang menyaksikan bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa…”

Kata syahida bukan berarti melihat hilal saja. Tapi menyaksikan dengan hati. Sadar bahwa ini adalah waktu suci. Waktu untuk kembali.

Jika kau menyaksikan Ramadan bukan hanya sebagai kalender, tapi sebagai peristiwa ruhani, maka kau tak akan membiarkan Syawal lewat tanpa makna.


Takbir: Bukan Simbol, Tapi Pernyataan Hidup

Takbir bukan hiasan gema malam lebaran.

Ibnu Asyur menyebutnya sebagai deklarasi tauhid, bahwa Allah adalah yang Maha Besar—bukan dunia, bukan nafsu, bukan algoritma, bukan pencapaian fana.

Takbir adalah kalimat keberanian:

“Aku telah menaklukkan diriku, dengan pertolongan Rabbku.”

Dan itu… adalah kemenangan yang tak tertandingi.


Syawal Ini, Mari Bertanya

1. Apakah Al-Qur’an masih dekat di tanganmu?

2. Apakah Subuhmu masih basah oleh air wudhu?

3. Apakah kau masih berkata tidak pada hal yang sia-sia?

4. Apakah hatimu masih rindu sujud panjang?

Jika tidak, tak perlu menyesal terlalu dalam. Tapi jangan abaikan tanda-tanda itu. Karena pertumbuhan tidak selalu tentang berlari. Kadang ia hanya tentang: tidak berhenti.


Ramadan mungkin pergi. Tapi Allah tidak.

Dialah yang tetap membuka pintu-pintu langit di sepertiga malam. Dialah yang menunggu kita menyebut nama-Nya dalam diam. Dialah yang melihat puasa-puasa sunyi kita di bulan Syawal, meski dunia sudah kembali bising.

“Dan agar kalian menyempurnakan bilangan (puasa), dan agar kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya, dan agar kalian bersyukur.”

Maka… mari sempurnakan.

• Sempurnakan sisa-sisa puasa dengan enam hari Syawal.

• Sempurnakan syukur kita dengan menjaga satu amal Ramadan untuk terus hidup di Syawal.

• Sempurnakan cinta kita kepada-Nya, bukan karena Ramadan—tapi karena kita sudah pernah merasakannya di dalam Ramadan.


Syawal bukan akhir dari Ramadan. Ia adalah awal dari keistiqamahan.

Dan kita tak sedang mulai dari nol—kita hanya perlu melanjutkan langkah, dari jejak kebaikan yang sudah kita tanam.


Komentar

  1. Masya Allah...kereen tulisan ini ...terima kasih ustadzah

    BalasHapus
  2. Ma syaa Allah syukron zah...jazakillah khaiir ...Mudah2an tulisannya lebih banyak lgi zah

    BalasHapus
  3. Masya Allah...syukron ustadzah🙏

    BalasHapus
  4. MasyAllah ustadzah,,, trimakasih telah mengungatk awal syawal ini yg tdinya bingung hilang rasa setelah Ramadhan berlalu,, dan ternyata syawal dn buln2 selanjutnya adalah berjuang untuk istiqomah.. Bismillah temani kami Ya Allah dn semoga amal kebaikan untuk ustdzh

    BalasHapus
  5. MasyaAllaah tabarakallah ustadzah

    BalasHapus
  6. Maa Syaa Allah. Jazakillah khayran ustadzah sudah mengingatkan kami. Bismillah. Bulan perjuangan keistiqomahan dimulai. In Syaa Allah senantiasa dilimpahkan taufiknya. Barakallah fiikum..

    BalasHapus
  7. Syukran ustazah,sdh mengingatkan

    BalasHapus
  8. Jazaakillahu khair kak, tulisan kuat yg membuat kita makin bertanya pd jiwa

    BalasHapus

Posting Komentar

Terimakasih sudah membaca blog ini dan bersedia meninggalkan jejak dalam komentar,semoga bermanfaat ya. ^_^

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Pembuktian Cinta #Part1

DARI ANAKMU YANG KINI DEWASA