Perjalanan Pembuktian Cinta #Part9

#PERJALANANPEMBUKTIANCINTA

#PART9 : UJIAN BERNAMA RIDHA

Melewati masa-masa yang tidak terbayangkan dalam hidupmu. Membuatmu tau. Ada masa-masa. Kadang jatuh. Kadang bangun.
Kau akan selalu tau caranya bangun selama kau punya keinginan untuk bangun.
Semua selesai dan berakhir saat kau sudah tidak punya keinginan untuk bangun dan bangkit lagi.

Bangkit butuh kekuatan hati. Dan hati yang kuat hanya butuh Dia yang Maha kuat untuk menguatkannya.

Jatuh hanya butuh penolakan. Penolakan pada takdir. Itu cara paling mudah untuk jatuh.

Baca dulu 8 part yang sebelumnya. Supaya kamu nyambung dengan kisah part 9 ini ya. 😊

Part 1 : http://bit.ly/2sLFoml
Part 2 : http://bit.ly/2twRaOs
Part 3 : http://bit.ly/2szWAqS
Part 4 : http://bit.ly/2uVf8T0
Part 5 : http://bit.ly/2sVdvbN
Part 6 : http://bit.ly/2v9GW6B
Part 7 : http://bit.ly/2t65QYh
Part 8 : http://bit.ly/2tUZXKs

***********

Setiap melakukan berbagai perjalanan semasa kehamilanku.

Malam hari. Memandangi lampu-lampu jalanan. Melihat kerlipan lampu-lampu kendaraan. Membuatku merasa begitu kecil. Kesedihan bisa setiap waktu menerkamku.

Hamil. Sendiri.

Aku sering kali merasa menjadi orang yang ditinggalkan. Aku sendiri. Tidak ada orang lain. Orang tua, suami, keluarga, semua hanya sekedarnya saja saja bersikap padaku. Prasangkaku selalu mereka masih ada hanya karena kasihan padaku.

Apa aku sedih? Ya. Aku sedih. Dan berulang kali berusaha bangkit dari rasa sedih yang menikamku berkali-kali. Air mata kapanpun bisa meluncur tanpa permisi.

Aku hancur lebur.

Lalu bagaimana aku bisa menjalani hari dengan kondisi seperti itu?

Kalau terus seperti ini aku bisa mati perlahan-lahan karena kesedihan yang begitu panjangnya.

Setelah jatuh-bangun berulang kali mengalahkan rasa sedih yang memelukku erat. Aku menemukan, bahwa hanya dengan penerimaan. Ya penerimaan. Akan semua hal yang terjadi. Ridha atasnya. Membiarkan hari-hari berjalan sesukanya.. Dan aku hanya menerima dan rela atasnya. Yang dapat membuatku bertahan lebih lama. Sebuah penerimaan karena Allah.

Kalau bukan karena Allah, Rabbku. Mungkin sudah sejak lama aku menyerah pada kalah. Menyerah pada rasa putus asa.

Mungkin Allah ingin mengajariku ini. Tentang ridha. Bukan mudah belajar ilmu ini. Tapi bukan pula berarti tidak bisa.

********

Tanganku meraih-raih cahaya matahari yang masuk ke dalam rumah melalui jendela-jendela yang terbuka setiap pagi. Hangat. Terang. Menenangkan.

Dengan sengaja kuhadapkan wajahku ke arah sinaran yang menelusupi jendela, memejamkan mata. Merasakan sensasi hangat yang ada diwajahku.

Teringat sebuah hadits yang menceritakan tentang sebuah mahkota cahaya yang akan di pasangkan di kepala setiap orang tua yang memiliki anak seorang penjaga Al-Qur'an. Pengibaratan mahkota tersebut dalam hadits itu digambarkan lebih indah dari cahaya matahari yang menelusup masuk ke dalam rumah-rumah di dunia.

Maka aku berusaha memegang lagi cahaya matahari pagi yang menelusup masuk itu, ya benar, ini indah. Dan keindahannya hanya bisa dirasakan oleh jiwa yang sedang merasakan ketenangan. Maka bagaimanakah gambaran mahkota cahaya itu? Yang ianya lebih indah dari cahaya matahari ini... Wallahua'lam... Maka bolehlah aku berharap, satu dari mahkota cahaya itu aku persembahkan buat kedua orang tuaku kelak.

Apa yang membuatmu tetap bisa tenang, dalam kondisi yang paling mengancammu?

Hal apa yang mampu membuatmu bertahan dalam rentetan kesedihan yang seperti tak lelah menderamu dan kehidupanmu?

Aku jawab: sebuah hati yang ridha.

Apa makna ridha? Ia adalah rela. Ia adalah menerima dengan sepenuh hati dan kerelaan. Tanpa paksaan. Ia lebih dekat dengan kata tulus. Penerimaan yang tulus dari hati.

Saat kita ridha Allah menjadi Tuhan kita, maka satu paket pula semestinya keridhaan tersebut terhadap apa-apa yang telah digariskannya menjadi kisah kita masing-masingnya. Sedih-senangnya, ridha. Tangis-tawanya, ridha. Sempit-lapangnya, ridha. Sakit-sehatnya, ridha.

Jika kita adalah orang yang inginkan ridhanya Allah atas diri kita... Maka mulailah dengan kita yang ridha pula dengan segala ketetapanNya. Maka hadiah indah berupa: ketenangan hati, akan menjadi milikmu.

Sedikitnya dari yang sudah aku praktekkan dalam hidupku tentang ridha, maka aku katakan hal itu adalah nyata.

Semakin aku berontak tidak mau menerima keadaan, maka kesempitan hati dan beban batin semakin membesar.

Saat aku mulai menerimanya dan meyakini setiap takdir dariNya selalulah baik, maka ridha hadir, dan ketenangan juga hadir satu paket bersamanya.

**********

Aku punya sebuah mimpi yang tertunda saat sebelum aku memasuki pesantren tahfizh. Yaitu menjadi seorang dokter. Aku yang telah diterima di sebuah FK universitas di Yogyakarta, akhirnya terpaksa memilih meninggalkan mimpi tersebut. Menggantinya sementara dengan pencapaian cita-citaku menjadi seorang hafizhah Al-Qur'an.

Maka kita bisa saja merancang dan merencanakan berbagai mimpi dan cita-cita yang kita inginkan. Tapi Allah selalu memberi yang kita butuhkan.

Maka jalanku yang Allah belokkan ke ranah para penjaga Al-Qur'an ini adalah hal yang paling tidak pernah aku sesali.. Justru ia menjadi bekalanku yang paling utama dalam menjalani kehidupanku.

Tapi cita-cita itu masih ada. Aku masih mengusahakannya mewujud dalam hidupku. Maka untuk mengisi hari-hariku yang lebih banyak sedihnya saat itu, aku memutuskan untuk mengikuti kembali tes masuk FK di sebuah universitas swasta di Jakarta. 2 kali tes dan 2 kali gagal. Saat itu kondisiku sedang hamil tua, 8 bulan menjelang 9 bulan.

Baiklah... Aku mencoba kembali membaca pesan cintaNya. Mengapa dulu sebelum masuk pesantren tahfizh aku bisa diterima masuk dan saat aku sudah selesai program tahfizh malah aku tidak lolos seleksi sampai dua kali tes? Maka mungkin Allah telah memilihkanku sebuah jalan yang lebih Dia ridhai. Mungkin Dia ingin aku mendalami Al-Qur'an saja. Pikirku saat itu.

Maka aku coba kembali mendaftar ke sebuah Institut Al-Qur'an. Tes dilaksanakan sekitar seminggu sebelum HPL bayiku.

Menjadi orang yang manut dan ga ngototan itu bukan aku banget. Karena karakterku sejak lahir adalah keras kepala dan ngototan jika sudah memiliki keinginan atas sesuatu hal.

Tapi tempaan-tempaan hidup membuatku lebih memilih apa yang Allah ridhai untuk aku jalani.

Menjelang HPL, aku lebih banyak menghabiskan waktuku untuk berjalan-jalan pagi.

Sambil mendengarkan lagu Maher Zain yang berjudul 'Ku Milik-Mu' dalam versi bahasa inggris. Berjalan berdampingan dengan umi. Menikmati matahari pagi.

Semua sesak yang aku rasakan jika ada tetangga yang bertanya tentang ayah sang janin, seperti dibawa pergi seketika.

Idul Fitri yang dilewati setiap keluarga dengan bahagia, selalu menyisakan duka dan tangis yang tertahan di sudut hati dan mataku. Dia tentulah lebih memilih bersama keluarganya. Siapalah aku. Baginya aku hanya selingan. Atau mungkin hanya gangguan yang mampir dalam hidupnya. Padahal aku dipilihnya. Ah.. Ini complicated sekali. Maka dengan mendengar lagu itu, aku bisa melegakan hatiku dengan ridha yang hadir. Penerimaan tanpa penolakan.

Jika ini sudah jadi bagianku, harus seperti ini, maka aku terima.

Sinaran matahari yang menelusupi daun-daun dari pohon tempat aku berteduh, membentuk bayangan -bayangan cantik yang bergerak-gerak di aspal jalanan komplek tempatku jalan-jalan pagi.

Percakapan-percakapan ringan. Angin semilir yang meneduhkan. Membuat aku merasakan ketenangan.

"Melahirkan itu sakit ga Mi?"

"Nggak sakit. Yang sakit itu mulesnya. Tapi Umi udah 8 kali melahirkan, gapapa kok. Lancar-lancar aja. Ya bismillah aja."

Hari itu aku sedang berpuasa. Puasa syawal di hari terakhir di bulan Syawal.

"Waktu itu Umi lahiran ditemenin Abi ga?"

"Dari 8 kali ada lah ya beberapa kali lahiran sendirian aja. Ga ditemenin."

Angin berhembus, menerbangkan daun tua yang lepas dari pohonnya ke dekat kakiku.

"Tapi lahiran pertama pasti ditemenin kan sama Abi?" tanyaku lagi sambil memainkan daun yang berjatuhan.

Umi menjeda sejenak jawabannya, "Hmm.. Iya sih."

"Apa ya rasanya lahiran anak pertama tanpa ditemani suami Mi?"

Umi hanya diam. Mungkin enggan menjawab karena takut membuatku sedih.

"Umi ingetin aku ya. Besok lusa kan senin, aku harus ikut tes masuk kuliah di Institut Al-Qur'an itu. Minggu depannya lahiran deh. Semoga aja lancar ya Mi semuanya."

"Aamiin. Umi doain biar lahirannya lancar, tes masuk kuliahnya juga lancar. Bismillah. Udah yuk pulang. Udah siang nih." Umi beranjak bangun dari duduknya.

Aku mengulurkan tanganku ke Umi, meminta dibangunkan dari  duduk karena dalam kondisi hamil tua ternyata sulit sekali berubah posisi dari duduk ke berdiri atau sebaliknya dengan mudah.

Umi menarik tanganku membantuku bangun. Dan kami langsung berjalan pulang.

Saat itu kami sudah di Depok. Rumah peninggalan orang tua abi yang biasanya dikontrakkan, tapi sedang kosong. Maka kami yang menempatinya sementara. Meski banyak ruangan yang bocor atapnya dan membuat banjir dadakan dalam rumah jika hujan turun.. Begitu saja, buatku sudah anugerah. Ini sangat jauh lebih baik daripada tidur di mushala pombensin.

********

Sore hari jadwal rutinku memeriksakan kandungan.

Kata bidan, kemungkinan aku akan melahirkan minggu depan.

Saat kembali ke rumah sore itu juga. Ternyata malam hari ba'da isya sekitar jam 11 malam aku mulai merasakan mulas dan itu sudah masuk pembukaan satu.

Serius aku akan melahirkan malam ini??

Sebelumnya tidak ada rasa takut sama sekali tentang hal melahirkan. Tapi sejak rasa sakit itu mulai datang, aku tetiba merasa begitu takut menghadapi prosesnya.

Jam 2 pagi sudah semakin sakit mulasnya. Bidan menyuruhku kembali jam 6 pagi ke rumahnya. Tapi ini baru jam 2 dan sakitnya semakin tidak bisa ditahan.

Umi segera membangunkan Abi. Mengatakan kalau aku harus kembali lagi ke bidan.

Diantar dengan menggunakan motor sambil menahan nyeri sakit mau melahirkan yang sudah setiap semenit sekali. Bayangkan sendiri seperti apa rasanya setiap kali motor beguncang melewati polisi tidur.

Tapi ternyata aku mampu bertahan sampai di rumah bidan tersebut.

Bidan tidak langsung memeriksakan kondisiku. Dengan alasan baru jam 11 tadi aku datang dan itu baru penbukaan satu. Masih akan lama. Katanya.

Jarak dari jam 2 sampai jam 3 Umi duduk disamping tempat tidurku di ruangan yang disediakan khusus untuk ibu hamil yang menunggu gilaran persalinan. Sakitnya semakin terasa. Semakin luar biasa. Semakin tidak tertahankan. Dari mulai berteriak menyebut nama Allah sampai hanya gemetaran sekujur badan sambil mencengkram tangan Umi.

Tidak ada suamiku di sana. Bahkan mungkin dia tidak tau aku akan lahiran malam itu. Dan diapun tidak bertanya apapun. Dalam kondisi sakit yang sangat itu, aku sudah tidak peduli apa dia yang bernama suami itu akan hadir atau tidak. Biarkan saja. Aku harus melewati kesakitan ini sampai selesai.

Tepat jam 3 bidan masuk ke ruanganku dan memeriksakan kondisiku. Bidan terkaget "Pembukaan sudah lengkap bu! Kok cepet ya. Kalau yang lain biasanya ga secepat ini. Ayo bu pindah ke ruang bersalin."

Saat mulas hilang aku bersicepat berjalan pindah ke ruang bersalin. Agak berlari. Sebelum mulas yang seperti melumerkan tulang itu terasa kembali.

Melahirkan... Itu pengalaman pertamaku. Jam 3.45 lahirlah dengan selamat. Bayi perempuan. Berat 3,0 kg. Panjang 41cm. Aku belum menyiapkan  nama apapun untuknya.

Sesudah melewati proses yang sebentar tapi sakit dan sangat melelahkan itu. Aku punya sebuah kesimpulan baru untuk menjalani hidupku: sesakit apapun sakit batin ataupun kesakitan lainnya yang aku rasakan dalam hidupku, tidak akan pernah sesakit mulas melahirkan. Maka aku pasti akan bisa melewati semuanya.

Hakikat rasa pahit yang kita rasakan dalam kehidupan adalah agar kita mengenali rasa manis dan lebih bersyukur atasnya.

Begitu juga hakikat setiap beban berat dalam menjalani hidup dan kehidupan, adalah agar kita bisa lebih sanggup menjalani setiap episode selanjutnya dengan lebih kuat dan terasa lebih ringan. Karena kita sudah pernah melewati yang lebih berat dari itu.

Itu yang sangat terasa dalam hidupku.

Memandangi wajah anakku yang baru lahir itu membuatku disergap rasa cinta yang entah, sebutlah itu hormonal ibu yang baru melahirkan. Ada rasa cinta yang hadir dan sebuah tekad untuk menjaganya sepenuh hati.

Aku bebaring di atas ranjang. Masih di rumah bidan tempatku melahirkan.

"Sesudah ini, apa lagi?" Batinku.

Ba'da subuh abi datang bersama adik-adikku. Abi mengumandangkan adzan di telinga bayi merahku.

Lantunan adzan. Membuat gerimis kembali mampir di hati dan mataku. Bukankah seharusnya ayahnya yang mengadzankannya? Dia di mana? Kenapa dia sejahat itu? Aku ini dianggap apa? Kalau seperti ini buat apa aku tetap jadi istrinya? Semua ini jika dilanjutkan hanya membuat aku semakin luka karena sikapnya yang seenaknya saja. Mungkin dia lupa aku ini manusia. Dia pikir aku malaikat. Selalu punya banyak stok maklum dan maaf yang tidak berujung.

Maka tangisku menjadi berkepanjangan. Emosional. Kau boleh sebut ini "Baby Blues" sebuah syndrome yang menyerang seorang ibu pasca melahirkan. Lebih banyak lagi suara negatif. Lebih banyak lagi rasa tidak terima, rasa tidak tidha. Rasa ingin menyalah-nyalahkan semua orang. Menyalah-nyalahkan keadaan.

Buatku saat itu semua terasa salah. Tidak ada yang benar.

Aku baru ingat bahwa besok adalah hari Senin, dan itu adalah jadwal tes masuk kuliahku di sebuah institut Al-Qur'an.

********

Agak nekat, aku tetap menghadirinya. Bidan membolehkan aku berangkat. Anakku masih ditahan di rumahnya. Dalam pengawasannya.

Tes yang seharusnya dua hari, aku meminta kepada pihak kampus untuk menjadikannya dalam satu hari. Karena aku harus beristirahat setelah melahirkan. Mereka membolehkan. Maka dalam langkah yang perlahan lagi satu-satu, aku duduk di atas sebuah kursi. Mengerjakan soal-soal tes masuk. Tanpa persiapan apapun sebelumnya. Ah entah apapun hasilnya, aku terima.
Berlanjut ke tes selanjutnya. Tes hafalan. Aku masuk ke dalam ruangan seorang dosen penguji.

Dosen tersebut tersenyum ramah padaku yang berjalan dengan langkah kecil-kecil dan pelan sekali menghindari terjadi rasa sakit terasa pada jahitanku paska melahirkan.

"Saya dengar kamu habis melahirkan? Makanya minta digabungkan tesnya menjadi satu hari. Benar?" tanyanya sambil sibuk membolak-balik kertas yang ada di hadapannya.

"Iya benar bu. Tes kedua ini seperti apa ya bu?"

"Ini tes hafalan Al-Qur'an. Ngomong-ngomong kapan kamu melahirkan?"

"Kemarin bu." jawabku.

"iya, kemarinnya itu kapan?" tanyanya lagi.

"Ya kemarin bu, hari Minggu."

Dan dosen tersebut seketika menghentikan kesibukannya membolak-balik kertas dan memperhatikanku dari ujung kepala sampai ujung sepatu. Seperti khawatir. Beliau bertanya lagi.

"Masyaallah.. Kamu bisa duduknya? Kamu ga sakit? Kok bisa kamu ikut tes sehari setelah melahirkan? Merinding saya nih." pertanyaan beruntun disertai ekspresi kaget dan tidak percaya.

"Iya bu. Bisa kok duduknya. Sakit sedikit aja. Sama bidannya boleh bu. Makanya saya beranikan berangkat. Sayang sekali kalau saya lewatkan kesempatan ini." Jawabku biasa saja.

Masih dengan ekspresi tidak percaya dan khawatir, dosen tersebut bertanya lagi, "Kamu sudah punya hafalan Qur'an?"

"Sudah bu."

"Berapa juz dan juz berapa saja?"

"Saya sudah pernah menghafalkan semuanya bu. 30 juz. Tapi memang belum mutqin."

"Masyaallah. Baiklah. Silahkan kamu baca surat yang manapun yang kamu mau." dosen bersiap menilai.

Aku mulai membacakan surat Al-Ahqaf. Baru sampai ke ayat ke tiga atau ke empat. Aku diberhentikan.

"Sudah. Cukup. Silahkan pulang Dek. Istirahat. Ngilu saya melihat kamu. Saya ingat proses melahirkan saya, sesudah lahiran saya tidak bisa duduk sampai seminggu kemudian. Ini kamu tidak apa-apa?" lagi-lagi ekspresi bergidik ngeri tampak di wajahnya

"Bisa bu. Tidak apa-apa alhamdulillah." kalem saja jawabanku. Dan bergegas bangkit meski perlahan dari kursiku. Dan berpamitan pulang setelah mengucapkan terima kasih padanya.

Dalam perjalanan pulang, aku merenung dalam. Perbincangan hati lagi. Menangis lagi. Menyalah-nyalahkan semua hal lagi. Bertanya-tanya kapan semua kesedihan dan kesempitan ini akan berakhir.

Sesampainya di tempat bidan. Dia yang kusebut suami ternyata datang. Sehari setelah aku berjuang melahirkan, dia datang seperti tamu yang berkunjung melihat temannya yang baru melahirkan.

Dingin saja. Aku tidak menyambut.

Kalau dia perlakukan aku sejahat itu. Aku pun bisa. Diam. Diam menjadi senjataku. Menyampaikan kemarahan dan kekecewaan dalam diam. Lagi pula aku bisa bicara apa?

"Kamu habis ikut tes masuk kuliah?" tanyanya.

Aku hanya mengangguk.

"Ga sakit? Kamu kuat?"

Aku hanya menggeleng.

Dia mengalihkan perhatiannya pada sang bayi merah. Karena melihatku tidak begitu antusias dengan kehadirannya juga pertanyaannya.

Satu jam. Lalu dia pergi. Tanpa kata lagi.

Dalam hatiku mulai ada lagi suara-suara negatif, "Kau ini suami atau tamu? Datang seenaknya pergi seenaknya."

"Aku ini istrimu atau apa? Seenaknya kau datang dan pergi tanpa rasa bersalah sedikitpun."

"Kau ini manusia atau bukan? Sepertinya bukan."

Kecewa yang bertumpuk-tumpuk. Mulai berubah menjadi kebencian.

********

Pengumuman hasil tes diberikan sekitar dua minggu atau satu bulan setelahnya. Saat aku telfon ke pihak institut Qur'an tersebut menanyakan berita kelulusanku, ternyata aku lulus. Meski agak kaget, karena aku tanpa persiapan sama sekali dan saat tes aku masih dalam kondisi satu hari paska melahirkan, aku yakin ini jalan yang sudah Allah ridhai bagiku. Dia memilihkan aku untuk mendalami Al-Qur'an dan ilmu-ilmu yang ada di dalamnya.

Kuliah. Membuatku lupa kesedihanku.

Berangkat kuliah sambil membawa sesosok bayi merah. Yang aku titipkan di asrama temanku. Dan aku ambil saat istirahat dan saat kelas kosong.

Tidak mudah. Tapi aku lakukan.

Biaya tidak ada. Maka kuliah terpaksa aku hentikan di bulan pertama aku masuk. Sebenarnya aku masih sangat ingin melanjutkan. Tapi keterbatasanku. Itu yang membuatku berhenti. Padahal aku sangat senang bisa belajar mendalami Al-Qur'an di sana.

Lagi-lagi bab ridha-ku diuji Allah. Apa aku ridha dengan kondisi seperti ini (lagi)? Saat keinginanku tidak aku dapatkan. Saat aku harus membuang kembali cita-cita yang begitu aku impikan.

Untuk kemudian aku bekerja. Meninggalkan anakku di dalam asuhan Umiku.

Aku anak pertama. Saat kondisi keluarga sedang begitu sulitnya, apa aku akan terus memaksakan diri untuk tetap kuliah sedangkan untuk makan dan menyambung hidup keluargaku kesulitan?

Suamiku? Kembali beberapa bulan tanpa kabar. Saat aku melahirkan, dia datang? Datang, seperti tamu. Satu jam bahkan kurang. Lalu dia pergi lagi.

Aku sudah terbiasa dengan rasa kecewa yang disebabkan manusia. Karenanya aku percaya, hanya Allah yang tidak akan pernah mengecewakanku. Hanya Allah yang tidak akan pernah ingkar janji.

Tapi aku sudah tidak mau lagi berbincang denganNya. Biarlah kini semua hal aku putuskan sendiri. Aku tidak tahan lagi menjalani apa yang Dia mau jika semua hanya berujung pada rasa kecewa.

Tidak ada lagi perbincangan hati penuh doa dan tanya. Hanya keluhan dan suara-suara negatif yang terus kupelihara. Membesar di dalam hatiku.

Memelihara sebuah monster di dalam hati. Kau paham rasanya? Suatu saat ia akan menerkam orang yang justru memeliharanya.

Aku tidak lagi berharap dan mengharapkan pembuktian janji darinya, suamiku.

Saat bayiku usia 2 bulan, itu terakhir kali dia datang. Setelahnya dia pergi tanpa kabar lagi. Berbulan-bulan. Tanpa bisa dihubungi sama sekali. Tanpa nafkah.

Aku semakin terbiasa. Karena ada dan tiadanya sama saja. Maka biarkan saja.

Aku tidak tahu, semua beban berat yang aku tiadakan dalam hari-hariku membentuk gumpalan-gumpalan sampah emosi yang membuatku semakin memburuk lahir batin. Emosi yang tidak terkontrol. Sibuk ke sana ke mari mencari pekerjaan. Kelelahan. Al-Qur'an hanya mendapatkan waktu-waktu sisa. Bahkan aku mulai terbiasa melalui hari-hariku tanpa Al-Qur'an. Aku meninggalkannya. Aku melupakan Allah.

Ibadah hanya sekedar pelunasan kewajiban. Mati rasa.

Aku tidak lagi bersepakat dengan Allah dalan menjalani hari-hariku.

Aku tenggelam dalam rasa kecewa. Enggan lagi berdoa. Enggan lagi meminta pendapatNya. Karena meminta padaNya hanya berujung pada rasa kecewa. Jadi buat apa?

Tanpa sadar, aku sedang berjalan menuju ke arah jurang yang begitu curam. Dan itu adalah jurang yang aku ciptakan sendiri.

Aku tidak sekuat yang aku pikirkan.

Gelap semakin memekat.

Hari-hari berlalu tanpa arti. Air mata sudah kering, menyisakan luka yang menganga. Dan aku biarkan tidak kusembuhkan. Aku biarkan saja terbuka. Aku tidak lebih berbeda dari sesosok zombi: mayat hidup yang berjalan tanpa arah. Hidup hanya untuk mencari makan. Lupa kenapa aku harus ada.

Menyalahkan semua hal.

Menyalahkan Allah...

Kau tau rasanya kehilangan Allah dalam hidupmu? Aku paham rasa hampa yang mengungkungku dengan begitu rapat dan erat. Setan-setan bertepuk tangan gembira melihat kefuturan yang kupelihara.

Sampai sebuah kejadian yang tidak akan kulupakan pukulan rasa sakitnya memukul hatiku...

_________________
To be continue...
_________________

Komentar

  1. kelinci99
    Togel Online Terpercaya Dan Games Laiinnya Live Casino.
    HOT PROMO NEW MEMBER FREECHIPS 5ribu !!
    NEXT DEPOSIT 50ribu FREECHIPS 5RB !!
    Ada Bagi2 Freechips Untuk New Member + Bonus Depositnya Loh ,
    Yuk Daftarkan Sekarang Mumpung Ada Freechips Setiap Harinya
    segera daftar dan bermain ya selain Togel ad juga Games Online Betting lain nya ,
    yang bisa di mainkan dgn 1 userid saja .
    yukk daftar di www.kelinci99.casino

    BalasHapus

Posting Komentar

Terimakasih sudah membaca blog ini dan bersedia meninggalkan jejak dalam komentar,semoga bermanfaat ya. ^_^

Postingan populer dari blog ini

DARI ANAKMU YANG KINI DEWASA

Perjalanan Pembuktian Cinta #Part1

sampe sebesar ini?