Perjalanan Pembuktian Cinta #Part10

#PERJALANANPEMBUKTIANCINTA

#PART10 : TENTANG BAIK SANGKA

Dalam kehidupan kita, ada orang-orang yang Allah 'pinjam' untuk memperbaiki apa yang salah dalam diri kita. Dan terkadang orang-orang tersebut dipinjamNya untuk menjadi peran yang menyakiti hati dan mengecewakan kita… hanya untuk agar kita semakin sadar bahwa; suatu kesalahan besar menggantungkan diri, hati, harapan kepada selainNya.

Jadi saat kecewa, jangan lihat orang yang Allah 'pinjam' untuk memainkan peranan dariNya.. Tapi lihatlah.. Mengapa Allah hadirkan dia? Apa yang mau Allah sampaikan dengan keberadaannya?

Look inside, not outside.

JANGAN LANJUTKAN BACA INI! TANPA BACA 9 PART SEBELUMNYA. 🤗👌

Part 1 : http://bit.ly/2sLFoml
Part 2 : http://bit.ly/2twRaOs
Part 3 : http://bit.ly/2szWAqS
Part 4 : http://bit.ly/2uVf8T0
Part 5 : http://bit.ly/2sVdvbN
Part 6 : http://bit.ly/2v9GW6B
Part 7 : http://bit.ly/2t65QYh
Part 8 : http://bit.ly/2tUZXKs
Part 9 : http://bit.ly/2tXvuLZ

*****

Setelah melahirkan, aku seperti punya kekuatan baru untuk menjalani hidupku. Keberadaan seorang anak, meski kondisinya seperti kondisi yang menimpaku, ternyata punya peran besar untuk menguatkan hati. Meski tidak selalunya aku kuat, terkadang aku pun lelah dan merasa kebingungan. Tapi aku berusaha kembali lagi dan lagi kepadaNya.

''Dan apa pun yg kamu perselisihkan padanya segala sesuatu, keputusannya (terserah) kepada Allah. (Yg memiliki sifat2 demikian) itulah Allah Tuhanku. kepadaNya aku bertawakal dan kepadaNya aku kembali."
(QS. Asy-Syuro 42:10)

Maka aku bertahan lebih lama sambil menunggu keputusan apa yang akan Allah berikan untukku.

Dalam kesadaranku yang timbul tenggelam, imanku yang naik dan turun. Tergopoh aku mengikat makna dari semua kejadian yang menimpaku.

"Pasti ada hikmahnya. Pasti ada hikmahnya. Pasti ada hikmahnya." ujarku berulang kali dalam bisik hati. Saat semua kejadian yang tak pernah kubayangkan itu menyergapku bertubi.

Mengutamakan baik sangka, tidak mudah. Terlebih dalam kondisi yang melukai batinmu. Apa aku benar? Begitupun yang terjadi padaku. Hatiku terasa perih-perih tidak terima saat aku harus berbaik sangka pada semua hal yang terlihat begitu jahat padaku. Ini ranahnya ada di hati.

"Kalau aku ingin hatiku baik-baik saja, maka aku harus terus melatih baik sangkaku selalu. S.e.l.a.l.u." Kataku  pada diri sendiri.

"Kau sudah seperti orang tenggelam yang kesulitan bernafas. Lalu bagaimana kau bisa tetap berbaik sangka padahal kau sendiri ada dalam kondisi hampir mati?" Ego berusaha menguasa hati.

"Allah  mau tanamkan dalam diriku  dengan lebih mendalam lagi: Tiada daya, upaya dan kekuatan kecuali dari Allah. Melalui kejadian ini. Pasti ada hikmahnya. Bersabarlah." Ujar nurani.

Ego menggerutu dan menyingkir pergi.

Maka berulang kali aku sampaikan pada  Allah, "Kuatkan aku. Mampukan aku. Menangkap makna disebalikan duri yang perih menusukku ini. TanpaMu aku tidak bisa berbaik sangka. TanpaMu aku hanya bisa membaca sebuah luka sebagai luka. Padahal mungkin Kau titipkan berjuta hikmah dan makna di balik luka, yang aku masih terhijab dari mengenalinya. Mampukan aku menangkap makna dan menjadikannya mutiara hatiku."

Aku sungguh jatuh bangun untuk memahami hal ini, hal yang Allah pilihkan menjadi bagianku ini terasa begitu sulit aku tanggung. Kadang aku percaya. Kadang aku mengingkari. Kadang aku terima sepenuh kepasrahan. Kadang aku menolak penuh dengan pemberontakan.

*********

Seorang teman adikku saat di pesantren dulu datang ke rumah. Saat itu aku baru saja beberapa hari melahirkan.

Sedang merasakan segala drama ibu baru. Kurang tidur dan agak emosional karena saat malam, bayi justru banyak menangis untuk meminta ASI.

Aku ingat satu pertanyaan yang dia lontarkan, pertanyaan polos dari seorang ABG. Tapi sungguh membuatku banyak berpikir.

"Teh Ibah kan penghafal Al-Qur'an, kok hidupnya Allah bikin susah kayak sekarang? Bukannya penghafal Al-Qur'an itu orang yang Allah muliakan? Berarti haditsnya salah dong ya?"

Hatiku seperti dicubit saat mendengar pertanyaannya. Saat ditanya aku hanya diam saja. Bukan enggan menjawab. Aku hanya sedang berpikir.

Meski akhirnya jawabanku hanya: "Allah yang paling tau rencana terbaik bagi hambaNya dek. Kalau pertanyaan kamu kayak gitu, apa bedanya dengan pertanyaan ini: 'Para Nabi dan Rasul kan orang-orang pilihan Allah yang sudah dijamin surga, kok Allah bikin susah hidupnya? Berarti perkataan Allah salah dong?' salah kan? Semua ujian yang hadir, justru karena Allah cinta. Semua kesulitan yang hadir justru karena Allah ingin dia lebih paham dibandingkan yang lainnya. Justru karena dia mulia, ujiannya tidak sama dengan orang kebanyakan."

Dan dia, teman adikku itu, hanya mengangguk tanda setuju dengan jawabanku.

Setelah dia beranjak pergi, justru pikiranku masih saja memikirkan pertanyaan tersebut, juga jawaban yang terlontar dari mulutku dengan begitu mudahnya. Dan aku mulai menangis lagi karena jawabanku sendiri. Kata-kataku, adalah untukku. Lalu apa sanggup aku menerima sapaan cinta Allah dalam tiap duka ini?

"Apa aku mulia?"

"Kau hina! Kalau kau mulia pasti Allah akan pilihkan jalan hidup yang tidak seperti ini untukmu."

"Lihat saja dirimu sekarang! Menyedihkan. Pandangan orang lain padamu? Nyinyir. Kau diusir dari tempat yang mulia, pesantrenmu, maka berarti kau tidak mulia. Kau menghafal Al-Qur'an. Tapi justru dengan Al-Qur'an kau dihinakan."

Semua pertentangan batin, suara-suara negatif terus saja berebut bicara. Aku menyudahi segala bincang batin itu dengan istighfar panjang.

"Aku tidak tau apa dan mana yang benar. Aku serahkan padaMu saja ya Allah segala urusanku, kesemuaan diriku. Perbaikilah semuanya... Aku tidak bisa jika menyandarkan semua ini pada diriku sendiri."

Dan semakin nyatalah sebuah kata 'laa haula wa laa quwwata illaa billaah' dalam hariku, dalam hatiku, dalam diriku, sepenuhnya.

Aku terus belajar tersenyum. Meski senyum itu mulanya terpaksa. Aku inginkan cintaNya. Maka jika duka ini adalah tanda cintaNya.. Bukankah seharusnya aku bahagia?

Tersenyum sambil menangis, dan menangis sambil tersenyum, adalah keahlianku. Dan itu rasanya hangat sekali di hati. Indah tiada tara.

Silahkan kau cobalah!

*********

Ada satu hal yang terluput dari pengetahuanku.

Saat aku dalam kondisi marah dan tidak terima akan ketidakpedulian suamiku justru di saat aku sedang paling butuh keberadaannya saat menjelang kelahiran puteriku. Dia tidak datang,  dia tidak bertanya,  dia tidak mengabari, dia datang sebentar, dia terkesan tidak peduli. Maka ingin sekali aku berbaik sangka. Tapi kenapa begitu sulit?  Malah yang timbul adalah rasa marah dan benci juga kecewa.

"Gendong aja. Gapapa." kataku pada suamiku.

"Nggak. Takut salah. Nanti kecengklak." masih dengan wajah sumringah memandangi bayi merahnya. Mencoba mengajaknya bicara.

"Oh ya.. Nanti kamu sama dede bayi pindah ke daerah Jakarta Selatan ya. Saya sudah cek tempatnya,  nyaman. Kamu bisa betah tinggal di sana. Sementara. Sampai rumah yang ada sengketa itu selesai dan bisa ditempati." katanya.

Aku mengangguk dan menjawab singkat, "Ya.." Sambil mencoba menangkap maksud baiknya yang ingin berusaha berbuat baik bagi kami. Keluarganya, yang selalu dia terakhirkan. Entahlah...

Maka saat bayi merahku berusia dua bulan, aku pindah dari rumah orang tuaku ke tempat yang sementara akan aku tinggali berdua saja dengan bayiku.

Tempatnya nyaman. Tapi aku kurang suka tangganya yang terlalu tinggi dan agak curam. Menggendong bayi sambil naik-turun tangga seperti itu sulit sekali.

Sebuah kosan yang didesain untuk orang yang bekerja. Lorong panjang yang di kanan kirinya terdapat pintu-pintu. Pintu kamar dari para pekerja yang memilih untuk mengekos untuk menghemat biaya dan waktu dari rumahnya yang mungkin jauh dari tempatnya bekerja, dan di tempat yang akan segera menjadi rumah sementaraku inilah mereka tinggal.

Individual. Itu kesan yang pertama kali kutangkap dari mereka. Mungkin karena mereka bekerja semua. Hampir tidak pernah ada di kamar mereka kecuali saat malam hari. Karena siang hari pastinya mereka semua sedang berada di tempat kerjanya masing-masing.

Sedangkan aku? Aku seorang ibu muda. Dengan seorang anak bayi yang masih merah. Full time di sana. Belum kenal sekitar. Belum punya kegiatan apapun.

Dapur terletak agak jauh dari kamarku. Ada di ujung lorong sebelah lorong kamarku. Memasak di dapur, berarti meninggalkan bayi sendirian di kamar. Atau memasak sambil menggendong bayi. Berdua saja. Tidak ada seorang pun. Kecuali orang yang sepertinya memang dipekerjakan untuk menjaga kebersihan kosan tersebut. Yang itupun hanya sesekali saja aku lihat ada di sana.

Beberapa hari berlalu. Ada suara berkedip di depan kamarku. Aku lihat ke depan untuk mengeceknya. Ternyata meteran listrik pra bayar, yang sepertinya pulsanya habis. Aku celingukan mencari tahu bagaimana cara mengisi ulang listrik prabayar tersebut.

Akhirnya aku turun ke bawah, ke rumah sang empunya kosan.
"Pak, meteran listrik saya sudah bunyi. Sepertinya habis pulsanya. Gimana cara isinya ya?"

"Harus lewat aplikasi, lewat mesin ATM atau beli di toko terdekat." Bapak itu seperti terganggu dengan kehadiranku dan pertanyaanku. Aku jadi enggan bertanya lebih lanjut.

Sudah beberapa hari sejak suamiku menaruhku di sana, dan dia belum mengabariku lagi. Uang yang dititipkannya semakin menipis. Dan seperti biasa, aku masih enggan meminta.

Aku mengingat-ingat, sepertinya di dalam rekeningku masih ada sekitar seratus ribu rupiah. Akhirnya aku gendong anakku, mencari ATM terdekat.

Lalu lalang mobil dan motor. Aku di pinggir jalan raya. Mencari ATM. Sambil membawa bayi. Aku jadi merasa seperti seorang pengemis di kota besar seperti ini.

Aku lahir di Depok. Tapi aku besar di desa, di sebuah daerah di Jawa Barat. Jadi keramaian seperti itu masih membuatku merasa kikuk di beberapa waktu. Apalagi dalam kondisi seperti ini. Bisa saja aku naik taksi atau apapun, tapi aku pikir untuk menghemat pengeluaran, aku putuskan untuk berjalan kaki saja.

Ternyata jauh sekali ATM dari kosanku. Sepanjang jalan aku memperhatikan banyak hal. Tukang bersih-bersih jalanan. Tukang jaga pombensin. Tukang jualan keliling. Mereka luar biasa. Tetap bergerak, meski keterbatasan mengungkung mereka. Maka segala doa terbaikku untuk mereka terus kutalu dalam hatiku.

"Semoga keberkahan selalu untuk mereka. Semoga Allah permudah urusan mereka."

Kelelahan berjalan, aku duduk di depan sebuah warung makan di pinggir jalan. Aku beruntung tidak ada yang melempariku recehan karena mengiraku pengemis. Bagaimana jadinya jika ada yang melempari recehan ya? Nyesek mungkin iya.

"Mba, ATM terdekat di mana ya?"

Si mba penjaga warung makan hanya menggeleng tanda tak tahu.

Aku berjalan lagi. Akhirnya aku ketemu ATM setelah perjalanan panjang. Dan bisa langsung isi pulsa listrik untuk kosanku.

"Aih, mengisi pulsa listrik aja perjuangannya seperti ini." Kataku dalam hati.

Tapi perjalananku sambil jalan kaki dan menggendong bayiku mencari ATM untuk mengisi pulsa listrik di siang yang panas itu mempunyai kesan tersendiri di hatiku. Perjalanannya sungguh jauh, menggendong bayi yang lumayan berat, adalah hal yang baru pertama kali aku lakukan.

Teringat kisah Siti Hajar dengan bayinya. Mencari air. Siang hari. Kepanasan. Kehausan.

Kondisiku jauh lebih baik dari mereka. Maka syukurku harus lebih banyak lagi. Tidak boleh mengeluh.

Kelelahan. Saat kembali ke kosan, menaiki tangga yang tinggi, aku terjatuh. Alhamdulillah tidak sampai terguling di tangga. Hanya kakiku berdarah dan agak lecet. Bayiku aman dalam dekapanku.

Pintu kamar kosku terbuka, aku lihat luka di kakiku tadi, memandangi saja darah yang keluar. Lumayan banyak. Tapi tidak terasa sakit. Yang sakit justru hatiku, di saat seperti ini, dia di mana?

******

Ini hari ke-10 aku tinggal berdua saja dengan bayi merahku. Dan masih tanpa ada kabar apapun dari suamiku.

Ingin berbaik sangka, tapi malam itu semua sudah tak bisa. Aku putuskan untuk pulang malam itu juga ke rumah Depok ke tempat orang tuaku. Aku sudah tidak tahan.

Maka dalam tangis yang belum juga selesai aku telfon Umi, "Umi.. Dia ga pernah datang lagi. Ini udah sepuluh hari Mi. Dan dia ga bisa aku hubungi dan ga pernah mengabari apapun. Aku sendiri di sini. Ga kenal siapa-siapa. Pulsa listrik habis. Uang ga ada Mi. Aku kayak dibuang di sini. Aku mau pulang aja Mi.. Dede bayi ga mau berhenti nangisnya udah berjam-jam.. Aku malah ikutan nangis." bertubi aku mengabarinya kondisi terbaruku dalam isak tangis yang berhamburan.

"Ya udah pulang aja sini ke Depok. Mungkin suami kamu sakit jadi ga bisa ngabarin ke kamu."

"Sesakit apa memangnya sih Mi sampai ga bisa ngabarin? Kalau dia koma baru tuh Mi ga bisa ngabarin apa-apa. Kalau cuma sakit ringan masa sampai sebegininya aku diperlakukan Mi? Boleh ga sih aku minta cerai aja? Dari awal pernikahan.. Sampai saat ini sudah satu tahun, semua bukannya membaik hanya semakin rumit mi. Aku disalah-salahkan. Aku selalu salah. Aku dijahatin. Aku diginiin Mi.... Ga kuat." emosional dan tersedat-sendat karena air mata.

Umi hanya diam diujung telfon sana, lalu berkata "Kamu pesan taksi ke sini. Nanti Umi yang bayarin di rumah. Kamu yang sabar. Kasihan dede bayi kalau kamu sedih terus."

"Ya.. Aku udah siap-siap. Tinggal pergi aja Mi." Kututup telfon. Menarik nafas panjang dan dalam untuk melegakan dan menguatkan hatiku. Bersiap pulang.

Perjalanan dari rumah sementara itu ke Depok aku lalui dalam diam renungan.

"Ya Allah... Kau mau bawa aku ke mana? Kenapa seperti ini?"

Kelebatan-kelebatan kejadian tampil dalam langit malam yang aku pandangi dari dalam taksi. Istikharah itu, mimpi itu, akad itu, semua tangisan itu, perih itu, semua seperti diputar ulang di langit malam.

Aku memejamkan mata. Memeluk erat bayi merahku yang mulai tertidur karena lelah menangis. Aku pandangi wajahnya. Ada air mata yang menggantung di sudut mataku.

"Kita berdua saja Nak.. Mungkin Allah hadirkan kamu buat temenin Umi. Buat nguatin Umi. Buat jadi alasan Umi untuk bangkit lagi jadi lebih kuat dari sebelumnya." Hatiku menghangat.

"Ini mungkin akan sulit. Tapi kita pasti bisa lewatinnya. Insyallah."

Aku pun ikut tertidur dalam tangis yang masih menggantung di ujung mata. Masih dengan memeluk sesosok bayi merah. Masih dengan harapan, semua akan membaik saat aku bangun dan membuka mata dari tidurku nanti."

*******

Kembali ke Depok. Aku mendaftar mengajar tahfizh Al-Qur'an di sebuah sekolah islam di Tanjungbarat.

Berdesakan di dalam kereta. Setiap berangkat dan pulang kerja. Aku mengalaminya. Memandangi wajah-wajah yang ada di sekitarku. Membisikkan lagi doa-doa kepada Allah, agar Allah lapangkan hati-hati mereka. Allah mudahkan urusan-urusan mereka. Mencari nafkah... Haruslah menjadi bagian dari rasa kebersyukuran. Karena Yang Maha Hidup sudah memberikan sepotong nyawa dan nafas yang gratis. Maka kerja adalah manifestasi kebersyukuran.

Kasihan sekali dan hanya sia-sia jika lelah bekerja hanya habis di sebuah rasa tidak terima dan terpaksa bukan?

Selanjutnya di bulan keempat yang tanpa kabar darinya. Abi mengabariku sebuah kabar yang tiada terduga, tenyata suamiku benar sakit. Dan sakitnya adalah sakit parah. Sampai kehilangan kesadaran, anfal. Itu info yang Abi dapat dari temannya.

Sejujurnya selama dia menghilang tanpa kabar, tanpa nafkah, aku sudah berpikir aku diceraikan sepihak. Ternyata setelah empat bulan berlalu, aku baru tau info sebenarnya.

Maka luruhlah segala buruk sangkaku.

Dan baru pula kuketahui, malam saat aku kesakitan menjelang lahiran, di saat yang sama dia pun sedang sakit. Awal mula sakit itu datang adalah malam itu. Malam saat bayiku lahir.

"Ya Allah.. Apa lagi ini? Apa yang sebenarnya Kau rencanakan untukku dan hidupku? Mengapa seperti ini?" batinku.

Empat bulan tanpa nafkah dan tanpa kabar itu dalam islam sudah terhitung sebagai cerai.

Tapi info tentang sakitnya menjadi berita yang tidak bisa dikesampingkan.. Aku masih istri dari seseorang. Meski kondisinya seperti ini.

Kalau ada yang bertanya bagaimana rasanya digantung, tanyalah aku, kurang lebih aku paham rasanya. Tercekik dan kesulitan bernafas dalam satu waktu yang bersamaan. Maju salah, mundur pun salah. Diam salah, bergerak pun salah.

Lalu, aku harus bagaimana?

*******

_________________
To be continue...
_________________

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DARI ANAKMU YANG KINI DEWASA

Perjalanan Pembuktian Cinta #Part1

sampe sebesar ini?