Perjalanan Pembuktian Cinta #Part7

#PERJALANANPEMBUKTIANCINTA

#PART7  : PRASANGKA DAN PENGUSIRAN

Alhamdulillah 'ala kulli haal wa ni'mah... Sampai ditahap ini. Penulisannya adalah hal yang tidak mudah, tapi dengan kekuatan dari Allah, aku dimampukan menulis sampai di tahapan ini. Semoga bermanfaat.

Dan PERINGATAN! Jangan lanjutkan baca part 7 ini tanpa membaca terlebih dahulu 6 part sebelumnya.

Part 1 : http://bit.ly/2sLFoml
Part 2 : http://bit.ly/2twRaOs
Part 3 : http://bit.ly/2szWAqS
Part 4 : http://bit.ly/2uVf8T0
Part 5 : http://bit.ly/2sVdvbN
Part 6 : http://bit.ly/2v9GW6B

******************************

"......Dan Kami jadikan sebagian kamu sebagai cobaan bagi sebagian yang lain. Maukah kamu bersabar? Dan Tuhanmu Maha Melihat."

-Surat Al-Furqan, Ayat 20

Melihat orang lain, mengetahui sepotong kisahnya lewat selentingan angin atau kabar burung, menilainya atas sikap dan tindakannya, menghakiminya salah, membencinya sebelum berusaha mencari kebenaran cerita...

Begitulah seringnya kita kebanyakan manusia. Begitu mudahnya menghakimi orang lain yang bahkan tidak dikenalnya. Hanya berbekal sedikit berita. Tanpa mencoba untuk mengkonfirmasi langsung ke orang yang bersangkutannya.

Tentang tabayun antara kita sudah sedemikian menipis. Tetang berhusnuzhan atau berbaik sangka atas saudara kita dan berita tentangnya, memelihara diri dari membuat zhan demi zhan atau prasangka demi prasangka, sudah menjadi begitu langka.

Kita mudah sekali menghakimi dan seolah mengetahui dan mudah sekali menilai bab niat orang lain. Apa kita bisa melihat ke hatinya? Tidak. Tapi mengapa begitu mudahnya ya kita berprasangka atas niat yang tak terlihat tersebut?

Sejatinya, kita manusia dengan sebagian manusia yang lain oleh Allah hanya dijadikan ujian satu sama lainnya. Dijadikan ujian untuk apakah kita mampu saling bersabar atasnya. Atas perilakunya yang mungkin tidak habis pikir menurut kita sendiri. Atas keputusannya yang mungkin tidak sesuai dengan keinginan kita. Benar begitu?

Maka bijaknya, jika kita terus berusaha mempetbaiki dan memperindah akhlaq dan perilaku kita untuk sesuai dengan apa yang Allah firmankan di dalam Al-Qur'an.. Ingat-ingatlah satu ayat di atas yang aku kutip itu. Jika terjadi suatu gesekan dalam hubungan pertemanan atau apapun, tetaplah yakini itu sebagai ujian dari Allah, bisa jadi Allah meminjam orang lain tersebut untuk menegur kesalahan yang memang kita lakukan.. Atau bisa jadi juga melalui orang tersebut Allah sedang melatih kesabaran kita untuk tetap bisa berprasangka baik padanya. Entahlah. Wallahua'lam.

Tapi selalunya, bersikap baik dan memilih untuk baik adalah pilihan masing-masing kita.

Bersikap baik saat semua baik-baik saja, itu mudah. Tapi tetap bersikap baik saat semua kemungkinan untuk baik itu begitu sulit, itu baru hebat. Hanya Allah yang memampukan hati-hati kita untuk menjadi hati yang baik, 'qalbun saliim', dan akhirnya menjadi tercermin pada akhlaq atau sikap yang baik.

Mengapa kutulis penjabaran tentang ini dengan begitu panjangnya? Karena aku persis mengalaminya.

Aku tinggal di sebuah lingkungan pesantren. Berita berhembus dengan begitu cepatnya. Sebutir jarum jatuh ke lantai pun bunyinya terdengar sampai ke seantero lingkungan.

Bersyukurnya aku berada di tempat tahfizh, adalah, ternyata orang-orang yang kesehariannya dekat dengan Al-Qur'an, ternyata jauh lebih positif dibandingkan dengan yang tidak. Mengapa aku bisa sampai mengatakan seperti ini? Aku merasakannya... Hati-hati mereka, kawan-kawanku di tempat tahfizhku seperti hati-hati yang memang Allah sucikan, Allah bersihkan dari noda-noda dan prasangka. Meski memang tidak sepenuhnya benar spekulasiku ini, tapi itu yang aku rasakan.

Mereka mendengar selentingan kisah tentangku, tapi kemampuan mereka untuk bersabar atas berita yang masih belum diketahui benar atau tidaknya itu jauh lebih baik dibandingkan dengan yang tidak lebih banyak berinteraksi dengan Al-Qur'an. Sungguh, ini kesaksianku. Mereka lebih memilih untuk tetap diam dan tetap berprasangka baik atau mengkonfirmasi langsung kebenaran berita kepada yang bersangkutan.

Ya meski memang tidak semua bersikap sama, tapi sebagian besarnya seperti itu. Sadar tak sadar, Al-Qur'an telah mulai memberikan efek kepada hati dan perilaku mereka. Meski mereka tidak melihatnya, aku yang dalam kondisi demikian, dapat melihatnya dengan terang.

Tapi apa yang terjadi dengan orang-orang yang lantas mempercayai berita yang masih berupa selentingan, dan lantas menyebarkan kebencian yang sama kepada orang-orang?

Maka aku berlindung dari berprasangka pula kepada mereka yang berprasangka.

Maka benar sekali firman Allah yang mengatakan bahwa kebanyakan dari prasangka itu adalah dosa..

Oh Allah, aku dengan kondisiku saat itu, benar-benar menjadi ujian bagi orang-orang disekitarku. Ada yang lantas membenci sebelum bahkan mendengar ceritaku.

Maka aku apresiasi sekali kepada mereka-mereka yang lebih memilih untuk bertanya langsung kepadaku, mengkonfirmasi langsung kebenaran berita dan bertanya tentang berita yang sebenarnya terjadi.

*******

Pandanganku mengabur oleh air mata, dan rasa tidak menentu saat aku temukan ternyata aku hamil. Begitu cepatnya. Di tengah kondisi yang sedang sangat buruk bagiku. Hatiku masih belum sepenuhnya menerima kejadian malam itu, akad malam itu bagiku masih berupa mimpi buruk yang menjelma menjadi kenyataan. Dan lagi, ditambah berita kehamilanku, seperti kegelapan semakin mengungkungku. Perlahan tapi pasti menjadi semakin pekat dan semakin gelap.

"Kenapa sekarang? Orang lain akan semakin memicingkan matanya kepadaku."

Ingin rasanya tidak menerima takdir Allah.

Ingin sekali rasanya berontak.

Tapi aku kembali bertahan, "Aku milikMu ya Allah, yang Kau lakukan dan Kau izinkan terjadi padaku, menjadi takdirku, maka pasti itu yang terbaik. Pasti ada hikmah tersembunyi yang masih tidak aku ketahui di sebalikan apa yang terjadi padaku ini. Jika sampai Kau berikan sebuah kehidupan baru dari pernikahan ini, maka pasti Kau punya rencana yang saat ini rencana baik tersebut masih begitu tersamar bagiku."

"Aku punya Kau yang Maha Segala. Mohon kuatkan aku. Entah badai seperti apa yang akan menimpaku kemudian.. Mohon tetaplah berbicara padaku, jangan tinggalkan aku ya Allah."

Doa, doa dan doa semakin sering bertaburan dalam hatiku, dalam keseharianku.

Sampailah sebuah berita baru yang mengikuti berita kehamilanku yang sudah cukup mengejutkan diriku sendiri. Aku diminta untuk tidak kembali ke pesantren tahfizhku, aku diusir keluar dari sana. Oleh orang yang sebelumnya begitu baik padaku. Itu yang aku sayangkan, sungguh, tidak ada satupun orang petinggi pesantren tersebut yang bertanya langsung padaku. Tentang kenapa aku memilih apa yang menjadi pilihanku. Sama sekali tidak ada. Satupun.

Dan aku terusir, dengan sangat tidak baik, tepat satu bulan setelah akad itu berlangsung. Tepat di hari aku mendapatkan kabar kehamilanku.

Maka langit semakin gelap dengan awan hitam yang datang bergumpal-gumpal.

"Ini apa ya Allah? Ini apa? Aku memilih jalan ini karenaMu, karena hasil yang kudapatkan dari istikharahku dan dari semua petunjuk yang Kau berikan. Aku memilihMu. Tapi mengapa memilihMu dan memilih apa yang Kau mau malah harus seperti ini hal yang aku dapatkan? Aku dihinakan oleh manusia. Apa Kau mengazabku? Apa aku berdosa besar hingga Kau buat aku jadi seperti ini?", perbincangan hati yang terus kulanjutkan...

Tepat di waktu pengusiran, sungguh aku tidak punya tempat bernaung. Tidak ada rumah. Orang tuaku tinggal di pesantren tersebut. Maka pengusiran ini, membuatku dan keluargaku seketika menjadi 'gelandangan'. Berbekal mobil sewaan dari sebuah rental. Kami hanya tinggal di dalam mobil tersebut. Berjalan kemanapun mobil melaju. Tidur saat malam mulai datang, di sebuah pombensin, di tempat parkir truk-truk besar.

Saat orang tuaku tertidur, aku banyak sekali merenung. Menuliskan pertanyaanku di dalam dyariku. Menjawabnya sendiri. Menguatkan diriku. Terus berusaha berprasangka baik, pada orang lain, pada keadaan, pada Allah, pada apa yang menjadi takdirNya.

Saat malam datang... Aku terbangun lebih lama. Memandangi sekitaran. Melihat langit. Merasakan kesunyian malam. Bersama sebuah hati yang terus berusaha percaya padaNya meski tertatih-tatih dan bersama sebuah jiwa yang Allah titipkan di dalam rahimku. Masuk ke dalam ruangan mushala di pombensin tersebut, melanjutkan mengisi malam dengan Al-Qur'anku, dan shalat malam. Sujud-sujud yang terasa lebih dalam dari sebelum-sebelumnya.

Tekadku dalam hati yang mulai patah-patah, "Aku memilih ini karenaMu ya Allah, maka apapun yang aku alami setelah memilih ini, akan tetap aku jalani karenaMu. TakdirMu selalu baik, meskipun keadaan sekarang tidak baik, tapi pasti ini yang terbaik yang Kau berikan untukku. Aku percaya sepenuhnya padaMu. Terus pegangi aku ya..."

Sungguh, aku tidak pernah mengira hidupku akan menjadi seperti itu sedemikian cepatnya. Drastis berubah.

Di suatu sore, aku ingat seorang teman yang memang mengetahui ceritaku sejak awal. Dia tau hasil istikharahku. Dia tau proses yang aku terima. Meski aku tidak boleh menceritakannya kepada siapapun. Aku masih butuh tempat bercerita dan bertukar pikiran. Dia tau. Dia salah satu sahabat dari tiga orang yang aku kirimi SMS di saat akad tersebut akan dilangsungkan. Dia menelfonku.

"Teh Ibah apa kabar?"

"Baik. Semoga benar bisa baik dan terus baik-baik saja."

"Teh sekarang di mana?"

Sebelum mampu menjawab, tenggorokanku seperti tercekat, dan mataku mulai berkabut. Aku bersegera keluar dari ruangan. Menjauhi orang tuaku, agar aku bisa bercerita padanya.. Selama ini belum ada yang aku ajak bicara kecuali Allah dan kedua orang tuaku.

"Mba, aku kenapa jadi begini? Mba tau sendiri gimana kejadian istikharah itu. Ayat demi ayat yang berulang kali menjadi seperti jawaban dari setiap pertanyaan. Mimpi itu." tersedat, air mataku mulai berlinangan lagi.

"Apa aku salah menerjemahkan yang Allah mau mba? Apa sebenarnya yang Allah maksudkan itu bukan ini? Apa aku salah mba?" perkataanku masih saja diiringi tangis panjang.

"Teh Ibah, di manapun teh Ibah sekarang, apapun yang terjadi sama teh Ibah sekarang, insyaallah adalah yang terbaik dari Allah. Meskipun berat, semoga Allah juga karuniakan kekuatan itu di hati teh Ibah." dia menghela nafas.

"Teteh tau ga? Ana di sini lagi nonton film tentang Siti Maryam, ibunya nabi Isa 'alaihissalam, sama santri-santri di sini.. Melihat apa yang dialami sama Siti Maryam, terusir dari keluarganya dalam kondisi hamil, difitnah bertubi-tubi. Ana inget teh Ibah. Makanya ana telfon teh Ibah. Ana pengen tau kabar teh Ibah." dia memotong ucapannya, agak lama, demi mendengar tangisanku yang semula kutahan mulai bersuara.

"Ana inget kondisi teh Ibah sekarang, ana tau persis apa yang teh Ibah alami, dalam kondisi hamil, setelah memilih karena hasil istikhoroh, dan ternyata Allah takdirkan terusir dari pesantren ini. Beneran teh, ana inget teh Ibah. Persis seperti apa yang digambarin dalam film itu. Mungkin saat ini teh Ibah terlunta-lunta, tapi yakin ya teh, Allah ga akan ninggalin teh Ibah. Allah tau teh Ibah sanggup sama ujian ini."

"Tapi kenapa aku mba? Apa aku sekuat itu sampai harus dikayak giniin sama Allah? Aku ga sekuat itu. Aku ga kuat mba."

"Allah tau teteh kuat." Dan telfon ditutup.

Maka sore itu, di pinggir sebuah sawah yang entah di daerah mana, aku menangis dibawah pohon. Diiringi angin yang membelai-belai jilbabku. Seolah ingin turut menenangkan aku. Menghapus air mata yang membasahi pipiku.

Hari depanku setelah hari itu, entah akan seperti apa. Semua gelap. Sungguh.

Allah seperti mulai melepaskan gantungan-gantunganku selain Dia.

Aku tidak bisa bergantung pada suamiku, dia bahkan tidak menghubungiku lagi sampai beberapa waktu setelah malam akad itu. Dia seperti menghilang. Aku bersangka baik padanya, saat aku mengabarinya soal kehamilanku ingin sekali rasanya aku marah, karena responnya sungguh 'jahat', karena dia malah beristighfar terlebih dahulu baru mengucap hamdalah. Dia bilang dia tidak bisa menghubungi karena kondisi sedang berat, istrinya sakit, karena rupanya istrinya tahu soal pernikahan denganku.

Maka aku berkata, "Mengapa syaratku diawal diabaikan? Syaratku itu untuk menghindari hal-hal buruk seperti ini terjadi." dan dia hanya diam terburu menutup telfon.

Berulang kali menarik nafas panjang, untuk melegakan sesak di hatiku saat itu pun terasa sia-sia saja.

Dan di dalam mobil yang melaju, aku lagi-lagi menangis. Memohon pada Allah tentang sebuah kekuatan agar aku mampu tetap tegar berdiri menjalani hari. Meski hari-hari saat itu terasa semakin panjang, dan lebih panjang dari sebelumnya.

Sampai radio mobil memperdengarkanku sebuah lagu. Yang samar aku dengar mulanya. Tapi aku simak. Aku bertanya-tanya, ini lagu apa ya? Sepertinya ini nasyid. Di akhir baru kutahu dari penyiar radio islam tersebut, bahwa lagu itu berjudul 'Tiada Beban Tanpa Pundak' dinyanyikan oleh Tiar. Aku tak tau Tiar itu grup nasyid atau munsyid solo. Yang kurasakan saat mendengar lagu itu, seolah aku sedang dikuatkan.

Boleh aku lampirkan di sini lirik nasyidnya?

*

Terasa menyesakkan semua yang telah terjadi

Apa yang ku banggakan kini tinggal cerita

Kau uji aku...

Sekilas aku rasa tak kuasa

Namun kusadari dan aku mengerti kuserahkan pada MU

Takkan aku bertanya mengapa harus terjadi

Karna aku yakini tak ada beban tanpa pundak

Kau uji aku karna ku bisa melewatinya

Ini yang terbaik bagi hidupku.. semua hanya ujian

Biarkan aku oh malam...

Menangis di sepanjang sholatku

Karna hanya Allah yang bisa membuatku tegar

Menjalani semua ini..

Biarkan aku oh malam...

Bersimbah rahmat dan ampunanNya

Badaipun pasti berlalu menguji imanku

Aku serahkan pada Illahi

**

Aku lampirkan lirik nasyid itu untukmu. Saat itu aku merasa alam seperti Allah perintahkan untuk menjawabku, untuk menguatkanku. Dengan caranya yang unik. Entahlah.. Lagi pula, kenapa harus aku dengar lagu itu saat aku sedang paling butuh kekuatan? Pasti itu bukan kebetulan. Itu adalah sebuah skenario cantik yang Allah berikan untukku.

Kalau Allah memilihmu ada pada sebuah rangkaian cerita yang dibuatNya. Kalau Allah memilihmu menjadi tokoh utama dari kisahmu. Dia akan selalu menemanimu. Dalam keadaan bagaimanapun. Meski dalam keadaan terburuk sekalipun. Karena kisahmu milikNya. Jangan lupa itu. Maka Dia pula yang akan memampukanmu untuk melewatinya. Melewati badai-badai gelap yang kadang perlu hadir dalam kehidupanmu, agar kau tau ke mana semestinya kau sandarkan segala cinta dan pengharapan tertinggi. Hanya padaNya... UntukNya.

"Nak, meski saat ini kondisi semenyesakkan ini. Semoga di dalam sana kau tetap baik-baik saja. Kita memang tidak punya tempat tinggal. Tapi bumi Allah luas nak... Sangat luas.. Entah dimanapun akhirnya Allah pilihkan kita untuk berpijak, aku yakin, Dia akan menempatkan kita di tempat yang terbaik menurutNya untuk kita. Tetap yakin ya." tulisku dalam sebuah halaman dyari. Sambil mengelus perutku. Bicara pada calon anakku.

Dan air mata sudah menjadi sahabat setiaku sejak lama. Aku pun saat itu tidak tahu kapan semua kesedihan dan kesempitan itu akan berganti.

Setiap pagi, aku selalunya berharap ternyata semua yang terjadi padaku hanya sebuah mimpi yang akan berakhir saat aku terbangun dan membuka mataku.

Jika kisahku adalah sebuah buku, mungkin aku akan melewati bab bagian ini. Terlalu berat. Terlalu duka. Tapi ini bukan dongen ataupun buku novel. Hari-hari harus tetap dilalui. Harus tetap dijalani. Setidaksuka apapun. Semenyedihkan apapun.

Maka ke mana kah tempat berlari bagiku? Tidak ada kecuali padaNya. Mengadukan segala duka dan kesulitan. Meminta untuk selalu ditemani dalam tiap waktu.

Dan perjalanan masih terus berlanjut. Dengan segala ketidakpastiannya...

____________________________________________
Akan dilanjutkan lagi, insyaallah biidznillah...
____________________________________________

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DARI ANAKMU YANG KINI DEWASA

Perjalanan Pembuktian Cinta #Part1

sampe sebesar ini?