Perjalanan Pembuktian Cinta #Part5

#PERJALANANPEMBUKTIANCINTA

#PART5 : KABUT GELAP

Sebelum kau memutuskan untuk membaca ini. Perhatikan satu hal: ini kutulis bukan karena niat buruk apapun.. Hanya karena niat ingin berbagi dan menyampaikan hikmah.. Dan ini sudah atas izin dari suami saya.. Baper atau apapun yang kamu rasakan pas baca ini, mohon ditanggung sendiri.
Dan sepertinya... Ini tulisan terakhir saya melalui part-part di FB ini.. Semoga bisa berlanjut membukukannya.. Mohon doa dari semuanya. Dan mohon maaf atas semua kesalahan saya.. Saya hanya manusia biasa.

Dan sbelum membaca bagian ini.. Baca dulu part-part sebelumnya ya.
Part 1 : http://bit.ly/2sLFoml
Part 2 : http://bit.ly/2twRaOs
Part 3 : http://bit.ly/2szWAqS
Part 4 : http://bit.ly/2uVf8T0

Terimakasih...

*************************

Apakah memilih apa yang Allah ridha berarti menerima segala kemudahan dan kebahagiaan hidup?

Apakah memilih apa yang Allah inginkan berarti tidak akan ada duri-duri penghalang jalanmu?

Apakah menjalani apa yang Allah pilihkan menjadi takdirmu berarti selalu harum mewangi dan terlimpahkan segala kebutuhan?

Sependek usia dan pengalamanku... Jawabannya TIDAK! Sama sekali tidak.

Nabi Ibrahim dan para nabi yang lainnya adalah hamba Allah yang sangat Allah cintai dan mereka mencintai Allah.. Dan apakah perjalan hidup merek mudah-mudah saja, bahagia-bahagia saja? Tidak! Luka mereka lebih banyak dari luka yang mehinggapi kita. Yang ada pada kita bahkan tidak ada segores pun jika dibandingkan dengan mereka.

Karena.. Memilih apa yang Allah ridha, apa yang Allah inginkan dan apa yang Allah takdirkan.. Berarti siap dengan segala konsekuensinya. Jalannya tidak mudah.. Bahkan seringnya berliku tajam. Menanjak. Membuat lelah pastinya... Berdarah-darah.

Tapi.. Allah sungguh tidak buta atas apa yang kamu lakukan. Allah tidak tutup mata atas apa yang kamu perjuangkan... Hadiahnya.. Telah Allah persiapkan. Besarnya  hadiah, hanya sebesar kesabaranmu dalam ridha dengan apa yang Dia ridha pula atasmu.

Dan balasan itu, tak semua harus didapatkan segera. Ada bahkan yang tidak mendapatkannya di dunia. Karena Allah menyimpankan hadiah tersebut untuknya di sisiNya, dalam keridhaanNya, di surgaNya.

Tapi tidak semua kita paham akan hal itu. Tidak semua kita mengerti konsepnya. Tersering kita berontak tidak terima atas takdirnya. MenyalahkanNya atas setiap kesempitan, kesakitan dan luka.

Sungguh... Kita hamba yang tidak tau diri...

*************************

Kami sama-sama terdiam. Lalu-lalang kendaraan ramai terdengar. Makanan yang terhidang telah separuh habis.

Aku menghela nafas dalam. "Abi... Akan sulit ga ya menjalani sesuatu yang kita ga sukai tapi Allah pilihkan buat kita?" dari sirat wajahku saat itu, terbaca sekali raut wajah takut. Takut dengan segala kemungkinan yang tidak terbayangkan.

Kudengar abi menyampaikan pendapatnya. Tapi apa disampaikannya tidak mengena di hatiku... Masuk telinga kanan, dan keluar telinga kiri.

Siang itu abi mengajakku makan di sebuah rumah makan. Aku menerka apa yang ingin dibicarakannya.

Jika diawal saat abi menyampaikan terasa menenangkan.. Tapi tidak siang itu.. Ada rasa tidak nyaman dalam hatiku. Entah apa.

"Aku ga mau semua ini berlanjut hanya karena harta bi... Sia-sia sekali..." aku menahan tangis...

Raut wajah abi memerah. "Kalau ini hanya karena harta lebih baik ga usah jadi. Lebih baik abi mati aja! Buat apa?! Rendahan sekali."

Aku menangkap gelagat tidak sinkron antara apa yang dikatakannya, dengan sorot matanya, juga rasa apa yang ditangkap hatiku.

Sebenarnya aku ingin sekali menyampaikan keberatanku melanjutkan ini. Aku rasa aku tidak akan sanggup melaluinya. Tapi apa yang menjadi takdir Allah.. Apa yang harus terjadi, maka terjadilah.

Selepas makan aku diantar pulang ke pesantrenku. Sepanjang jalan. Aku menangis tanpa suara. Air mataku diterbangkan angin... Dari basah sampai mengering lagi. Lengket sekali di wajahku.

Aku kembali membatin. Aku sapa lagi Allah, berkata di dalam hatiku. "Ya Allah... Kau telah memberi petunjuk.. Tapi sungguh aku masih takut. Dunia pernikahan bukan dunia yang mudah. Apatah lagi pernikahan dengan nama 'poligami'... Aku takut ya Allah. Inginnya Kau takdirkan saja buatku hal lain... Jangan yang seperti ini ya Allah. Tapi sepertinya abi sudah sebegitu mantapnya. Sepertinya abi sudah tidak bisa digoyahkan lagi... Boleh aku pasrah padaMu ya Allah? Aku ikut saja mauMu. Aku nol kam diriku. Aku yakin abi pun tidak akan mendorongku ke arah keburukan. Abi tidak jahat. Abi yang aku kenal adalah abi yang hebat dan sayang anaknya.. Boleh aku nurut saja dengan mauMu dan maunya abi sebagai waliku ya Allah? Aku menyerah..."

Sampai di pesantren. Abi pamit. Kupandangi punggungnya yang menjauh bersama motor yang dikendarainya.

Angin yang bertiup menerpa wajahku. Aku memandang ke sekitaran. Kebun jeruk di depan pesantrenku dikelilingi sawah hijau.. Angin menggoyang-goyangkan daunnya.. Aku hirup dalam-dalam udara, memenuhi ruang dadaku. Dan menghembuskannya pelan-pelan... Aku bicara pada diriku sendiri,

"Allah tidak akan meninggalkanmu. Allah tidak akan salah mengatur ceritamu. Allah akan selalu ada buat menguatkanmu. Jangan takut."

Aku memaksakan diriku untuk tersenyum dan melangkah masuk ke pesantrenku. Menyapa semua penghuninya. Bersikap biasa-biasa. Menyembunyikan berita yang hampir-hampir meledakkan hatiku sendiri.

Malam hari, aku dapat kabar buruk.
Abi kecelakaan. Jantungku seperti melorot ke perut.

"Kenapa?" tanyaku kaget dan gusar. Terburu-buru mengambil kaus kaki dan langsung pulang ke rumah mencari tahu kabar abi.

**********************

Aku selalu meyakini... Kejadian berat yang terjadi pada diri kita, entah itu berupa sakit, atau kecelakaan, atau apapun itu, adalah sebuah tanda. Bahwa Allah akan memberikan sebuah tanggung jawab baru. Amanah baru. Yang pastinya jauh lebih berat dari yang sebelumnya...

Maka kejadian yang menimpa abi membuatku berpikir...

Apakah ini juga merupakan sebuah tanda dan peringatan dari Allah untuk abi? Juga untukku?

Sejak kejadian itu aku semakin banyak beristighfar... Karena yang paling repot di dalam hidup adalah. Saat Allah ga ridha sama kita. Kita yang cuma manusia ini mau lari ke mana? Repot sekali urusannya kalau Allah marah. Sekedipan saja bisa Allah hancurkan kita sehancur-hancurnya...

Aku seorang perempuan yang semang sekali bercerita untuk melegakan hati. Maka perintah abi untuk jangan menceritakan hal ini ke orang lain sangat berat buatku. Sungguh.

Maka karena sangking tidak kuatnya.. Aku ceritakan kisahku ke salah seorang temanku. Meminta pendapat mereka. Meski tidak menyampaikan secara terbuka.. Lebih banyak kiasannya. Aku meminta nasihatnya...

Sedikit saja nasehatnya: "innallaaha ma'ana. Sesungguhnya Allah bersama kita."

Tapi sanggup membuatku merasakan ketenangan yang tidak terhingga.

Ah ya Allah... Aku punya Engkau... Buat apa aku risau? Kau Maha Segala.

************************

Di pesantrenku ada seorang kakek berjanggut putih, beliau salah satu orang yang sangat kami hormati  di pesantren kami. Sikapnya yang sangat kebapakan selalu mengayomi kami, anak-anak didiknya di tempat tahfizh.

Dia selalu menyapaku dengan wajah berbinar. Senyum yang membahagiakan. Aku masih sangat ingat raut wajahnya yang menyenangkan.

Jika beliau berpapasan denganku dia akan menyapaku dengan semangat, "Assalamu'alaikum Nusaibah.. Anak.. Sehat? Abi sehat?"

Semangat yang menular... "Wa'alaikumussalaam wa rahmatullah wa barakatuh. Alhamdulillah pak.. Kami sehat semua. Mohon doanya."

"Alhamdulillah.. Kalau Nusaibah ada perlu sampaikan ke saya ya."

"Insyaallah pak".

Dan sore itu beliau datang ke tempat tahfizhku. Mencariku. Beliau menyampaikan, bahwa beliau mengindang aku dan abi untuk silaturahim ke rumahnya. Ada yang mau beliau sampaikan.

Aku bertanya-tanya. Apa kiranya yang hendak disampaikan padaku..

Dan ternyata beliau ingin menjodohkanku dengan salah seorang kesayangannya. Aku dan abi hanya saling tengok. Abi lantas menyampaikan penolakannya... Aku hanya diam...

Aku tau... Penolakan abi tersebut mengecewakannya..

Setelah kejadian itu. Sikapnya tidak lagi ramah seperti sebelumnya.

Aku fikir dampaknya hanya sampai di sana saja.. Tapi ternyata itu berdampak sampai pada sebuah kisah pengusiran yang tidak pernah kuduga...

Ah hidup... Memang berjalan sesukaMu saja ya Allah...

****************************

-Jakarta, lantai 16, di suatu sore...

"Aku mau melanjutkan ini, jika syaratku dipenuhi. Satu saja syaratku. Pertemukan aku dengan istri pertama. Jika memang benar dia sudah ridha dan dia mengatakan langsung dihadapanku, barulah semua proses ini bisa berlanjut. Kalau tidak, aku mohon maaf harus aku sudahi prosesnya." bicaraku mantap dan tegas meski dengan sedikit gemetaran.

Aku menunduk melihat sepatuku.

Entah apa yang diperbincangkan bapak-bapak dengan abiku setelah aku sampaikan syarat tersebut.

Kami pulang kembali ke rumah. Abi menutupkan pintu mobilku dengan keras seperti melempar. Aku terbengong. Apa salahku?

Wajahnya merah padam. Mengemudikan mobil dengan dihentak-hentakkan. Aku tau, beliau marah. Tapi aku masih belum mengerti. Marah karena apa?

"Menikah itu ga perlu  izin istri pertama! Semua fiqh juga bilang seperti itu."

Oh... Hatiku menghubungkan perkataannya dengan syarat yang kuajukan tersebut...

Aku hanya diam. Aku takut sekali dengan kemarahannya yang seperti akan mencengkramku.

Semua terasa semakin gelap...

Benar aku memilih lanjut karena tanda-tanda dari Allah.. Tapi kalau seperti ini kelanjutannya.. Aku harus bagaimana? Aku harus apa?

Disitulah awal mula aku belajar tersenyum sambil menangis dan menangis sambil tersenyum...

Kabut di luar semakin pekat, akan turun hujan deras. Jarak pandang dari dalam mobil kian terbatas. Dan malam semakin gelap... Pekat.

Sepekat ketidakpastian jalan yang akan kutempuh selanjutnya. Hatiku berkabut. Mataku memanas.... Perih.

Aku butuh pegangan...

___________________________________
Entah kapan akan dilanjutkan lagi...
___________________________________

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DARI ANAKMU YANG KINI DEWASA

Perjalanan Pembuktian Cinta #Part1

sampe sebesar ini?