Perjalanan Pembuktian Cinta #Part8

#PERJALANANPEMBUKTIANCINTA

#PART8  : SEBUAH MIMPI

Kalau kau cinta, dan benar cinta, kau akan tetap bertahan untuk membuktikan cintamu. Meski keadaan begitu pahit mendesak dan melukaimu. Benar begitu? Maka kisah yang panjang ini adalah kisah perjalananku. Perjalanan pembuktian sebuah cita.

"MENJADI HAMBA YANG MENCINTAI DAN DICINTAI ALLAH."

Baca dulu 7 part yang sebelumnya. Supaya kamu nyambung dengan kisah part 8 ini ya. 😊

Part 1 : http://bit.ly/2sLFoml
Part 2 : http://bit.ly/2twRaOs
Part 3 : http://bit.ly/2szWAqS
Part 4 : http://bit.ly/2uVf8T0
Part 5 : http://bit.ly/2sVdvbN
Part 6 : http://bit.ly/2v9GW6B
Part 7 : http://bit.ly/2t65QYh

********

Aku gelisah setiap hari. Bertanya-tanya tentang banyak hal,  tentang hari-hari yang kulalui.

Tanyalah padaku bagaimana caraku menghilangkan gelisah yang setiap hari?

Tanyalah padaku bagaimana caraku meredakan sesak yang setiap waktu?

Maka aku akan menjawab, tidak ada cara lain selain mendekatiNya. Dia menggenggam hati-hati kita. Gelisah dan sesak mungkin adalah caranya meminta kita untuk mendekatiNya. Karena saat bahagia, nafas lancar, seringnya kita menyingkirkanNya ke pojokan. MenggeserNya jauh entah ke mana.

Ku maknai semua rasa tak nyaman yang kurasakan di masa itu mulanya seperti itu.

Maka sujud-sujud semakin dalam... Istighfar semakin panjang...

Semua salah ku. Jika memang ada yang perlu dicari seseorang yang salah, biarlah aku yang menanggung beban kesalahan itu. Sejatinya aku sebagai manusia biasa pastilah penuh salah,  lupa,  dan lalai. Maka dalam kasus ku, jika ada orang yang menyalahkan ku, aku terima tanpa penolakan, "Ya,  aku salah." Jika ada yang menyalahkan abiku,  maka aku katakan,  "Tidak, aku yang salah." bahkan jika ada yang menyalahkan suamiku maka akan kukatakan,  "Tidak,  aku yang salah." dengan senyuman lemah dan pasrah yang sangat.

Biar aku yang mengambil tanggung jawab ini. Tekadku.

Tapi waktu, mulai menggerogoti setiap keyakinan diriku menjadi sebuah kepesimisan, perlahan saja,  tapi sangat pasti, aku menjadi semakin hilang percaya.

Apalagi saat aku mulai menerima terus SMS dengan kata-kata negatif yang hampir setiap hari.

"Kamu penghafal Al-Qur'an yang tidak punya hati."

Air mulai menggenangi mataku.

"Kamu bodoh. Kenapa kamu mau saja melakukan sesuatu yang membuat kamu dibenci orang? Kamu perusak rumah tangga orang lain."

Satu tetes air mataku turun,  membuat aliran panjang anak sungai di pipiku.

"Kamu segitunya ingin harta suami orang lain? Sampai rela dijadikan nomor dua?  Hebat!"

Dan air mataku terus mengalir tiada putus. Meresapi tiap hinaan jahat yang bahkan terpikirkan oleh hatiku selintas pun tidak.

Dan SMS teror yang setiap hari itu,  yang kata demi katanya selalu negatif itu mulai membuatku menjadi pribadi yang negatif. Menganggap semua fitnahan jahat itu benar adanya bahwa aku seperti itu. Maka berhati-hatilah mengulang kata-kata negatif dalam hari-harimu,  itu sangat berpengaruh pada keterjatuhan mentalmu,  kelemahan fisikmu, bahkan perpengarih pada turunnya semangat ibadahmu.

Aku mengalaminya.

Dan itu rasa yang tidak akan pernah aku lupakan. Seperti aku dimasukkan ke dalam sebuah penggorengan besar berisi minyak panas yang mendidih bergejolak. Kau bertanya-tanya setiap hari,  kapan semua akan berakhir?  Kapan semua akan selesai?  Apa semua akan selesai saat aku sudah mati? Kalau seperti ini terus aku jadi paham kenapa bisa sampai ada orang yang terpikirkan untuk bunuh diri,  karena ternyata, ada suatu fase dalam hidup yang akan membuat kita begitu tertekannya. Kalau ketertekanan itu tidak disertai dengan pegangan yang kuat, maka yang terpikirkan setiap hari, hanya mati,  mati dan mati saja.

Aku bersyukur, sebelum aku mendapatkan takdirku mengalami hal yang paling menekan dalam hidupku, Allah membuatku bersama Al-Qur'an dalam hari-hariku. Aku sangat mengakui, kekuatan Al-Qur'an dalam menyembuhkan sakit mental karena tertekan yang kualami. Semakin gelisah,  semakin sesak,  maka semakin aku mendalami Al-Qur'an. Membacanya berulang kali.  Memaknainya setiap waktu. Dan efeknya sangat besar dalam meredakan gelisah dan melonggarkan sesak batin yang aku alami.

Ah Allah... Aku tidak akan lupa bagaimana rasa sesaknya saat itu. Terimakasih masih mau memegangiku di saat-saat terburukku.

Aku benar tertatih-tatih untuk percaya padaMu...

*******

Ketidakjelasan tempat tinggalku saat itu, membawaku ke tempat saudaraku di sebuah daerah di Jakarta.

Saat itu kehamilan ku sedang melalui masa-masa sulitnya. Trimester pertama. Muntah-muntah tak kenal waktu. Dan dia, lelaki yang berstatus sebagai suamiku, tapi peranannya sama sekali tidak ada itu masih belum menghubungiku. Sama sekali. Bahkan sepotong pesan lewat SMS pun tidak. Berbulan lamanya.

Tak butuh waktu lama untuk saudaraku akhirnya tau,  dan mulai bertanya banyak hal tentang kenapa,  siapa,  apa,  kapan,  bagaimana, itu semua bisa terjadi.

Setelah cerita disampaikan,  ada air mata, ada kemarahan, ada rasa tidak terima.

Lagi-lagi kukatakan, "Ini keputusanku,  jika mau ada yang perlu disalahkan,  salahkan aku."

Ramai pendapat, ramai emosi,  ramai rasa,  ramai seruan. Tapi sebagai saudara,  rasa yang paling besar aku tangkap dari mereka adalah rasa empati. Semarah apapun,  mereka masih mau menerima ku, menerima kami. Setidak setuju apapun,  mereka masih mau menampungku sementara di rumahnya,  sambil menunggu waktu membaik. Yang entah kapan.

Dalam kondisi beratku,  penerimaan sekecil apapun dari orang lain,  adalah anugerah. Pasti Allah yang menggerakkan hati mereka. Maka keberkahan,  aku doakan setiap waktu,  setiap saat,  bagi mereka. Saudaraku. Yang aku cintai. Terima kasih...

********

Pernah suatu hari aku bersilaturahmi ke tempat ustadzah yang aku jadikan tempat konsultasi ku selama proses istikharahku berlangsung.

Melihat kondisiku. Mendengar kisah ku. Aku yakin beliau menangkap rasa 'tidak mau menerima' takdir yang seperti ini dari dalam diriku lewat kata-kataku. Meskipun tersirat.

Beliau menepuk bahuku,  menguatkan, "Nusaibah tau?  Saat kita memilih apa yang Allah inginkan bagi diri kita,  maka jalan sesudahnya bukan berarti akan mulus-mulus saja. Malah bisa jadi akan berat,  sangat berat bahkan. Tapi.. Sesuatu yang kita pilih lewat hasil istikharah, adalah sesuatu yang menurut Allah adalah apa yang terbaik bagi kita untuk semakin mendekatkan diri kita pada Allah."

Dalam hatiku,  ada sedikit rasa sinis pada beliau. Rasanya aku ingin berbicara dengan nada tinggi padanya,  "Ustadzah ga tau gimana rasanya jadi aku!  Ustadzah ga tau gimana sakitnya dan lukanya hati aku saat menerima hal seperti ini dalam hidupku!  Ustadzah ga tau,  ga usah nasehatin aku lah!" tapi itu hanya jadi suara-suara di dalam hati.

Ah.. Egoku... Ia mulai berontak. Suara-suara negatif makin sering terdengar dari dalam diriku.

Saat sadar,  aku akan langsung beristighfar panjang.

Kalau boleh mengecek hari-hariku saat itu. Jika aku mulai uring-uringan dan sedih berkepanjangan. Apalagi sampai keluar banyak suara negatif di dalam hati,  itu adalah saat aku tidak membaca Al-Qur'an. Baik muroja'ah ataupun tilawah, tadabbur, dan segala macam interaksi lainnya.

Maka aku yang tidak lagi berada di pesantren tahfizh, mendapatkan sebuah tantangan besar untuk bisa tetap berinteraksi maksimal dengan Al-Qur'an dalam kesendirianku itu.

Aku paham jatuh bangunnya hari-hariku bersama Al-Qur'an, dalam banyak perbincangan satu arah yang terus aku sampaikan pada Allah.

Aku kira Allah meninggalkanku saat itu.. Karena waktu begitu panjangnya berlalu. Dan kondisiku tetap saja seperti itu. Dengan tekanan batin yang luar biasa dahsyatnya. Jangankan berkarya.. Percaya pada diriku sendiri saja tidak bisa. Aku hilang kepercayaan pada semua hal... Hanya pada Allah kepercayaanku tersisa. Kadang tipis, kadang kuat, kadang lemah, kadang samar, kadang jatuh, kadang bangun..

Aku ingin terus berpegangan padaNya ditengah amukan badai yang sedang mengiringi hariku itu.

Aku mulai menengoki satu per satu yang masih baik-baik saja dalam hidupku, aku sehat, meski batinku lelah. Alhamdulillah. Umi abi sehat. Alhamdulillah. Masih ada tempat bernaung meski menumpang, alhamdulillah. Masih bisa makan. Alhamdulillah.

Bersyukur akan hal yang masih baik-baik saja. Itu lumayan melegakan hati yang sempit.

Aku sudah mencobanya.

Meski memang tidak menyembuhkan luka. Tapi setidaknya, syukur atas hal kecil yang masih baik-baik saja, itu tidak menambahkan luka.

*******

Muntahku semakin sering. Kepala terasa berat. Perutku seperti berputar-putar tidak karuan. Sakit.

Kata orang, itu adalah apa yang dirasakan seorang ibu hamil di trimester pertama.

Dalam kondisi yang seperti itu, aku dan orangtuaku juga dua orang adik terkecilku, tinggal di sebuah rumah di bilangan Bogor. Rumah saudaraku yang kosong dan dipinjamkan sementara.

Rumah yang lama tidak ditempati. Airnya tidak bagus. Berbau. Membuat mualku semakin menjadi-jadi.maka setiap kebutuhan air, kami alirkan lewat selang dari rumah tetangga. Kalau aku lebih memilih menggunakan air yang ada di masjid. Mandi di sana. Wudhu di sana. Diam di masjid setiap jeda waktu shalat.

Dengan kondisi air yang buruk, aku rasa Allah memang ingin membawaku ke masjid, rumahNya. Agar aku semakin mendekat padaNya. Kecenderungan hatiku selalu untuk ke masjid. Ada ketenangan yang aku temukan di sana.

Umi dana abi tidak lagi berpenghasilan. Aku pun tidak. Kami mulai berpikir, dari mana sumber keuangan kami kedepannya? Aku tidak pernah berpikir untuk meminta nafkah pada orang yang sudah menjadi suamiku, harusnya aku sudah menjadi tanggungannya. Meski pada kenyataannya, dia tidak memnafkahiku berbulan-bulan. Dia memberikan hak pakai sebuah CR-V hitam. Tapi buat apa mobil ada jika makan pun kami susah?

Aku bertekad tidak akan meminta sepeserpun uang padanya.. Meskipun itu sudah hak ku. Pikirku, biar sadarnya dia saja.

Dalam kondisi yang sulit itu, aku pernah sampai mengalami lapar dan tidak ada makanan. Maka uang recehan dua ribuan, adalah anugerah yang sangat luar biasa. Kami belikan mie instant yang kami bagi sekeluarga.

Aku dalam kondisi hamil. Dan aku kelaparan. Baiklah... Doa di saat seperti itu adalah makbul bukan? Aku berdoa meminta makanan. Aku ingat baris doa yang kutuliskan dalam dyariku.

"Ya Allah, aku lapar. Boleh aku minta sedikit rizqiMu? Jika aku tidak pantas atas rizqi tersebut, tapi mohon lihatlah bayi yang sedang aku kandung ini.. Ini tititpanMu padaku. Berilah rizqiMu untuknya."

Ah getir sekali rasanya.

Dan seperti keajaiban. Tetiba masuk sebuah SMS dari ayahnya sang jabang bayi. Yang telah lama tak ada kabar dan menghilang. Mengabarkan telah mentransfer sejumlah uang untukku. Maka terselamatkanlah kami sekeluarga dari kelaparan yang berkepanjangan.

Apa aku bahagia saat itu? Ya. Seperti ada secercah harapan untuk kembali menjalani sebuah kehidupan yang lebih cerah dan keluar dari kegelapan.

Aku mulai mempercayai orang yang kusebut suami. Tapi kepercayaanku yang mulai tumbuh seperti langsung Allah patahkan lagi. Seolah aku tidak boleh percaya selain hanya kepadaNya saja.

Dan itu berulang kali terjadi.

Pertemuanku selanjutnya dengan suamiku itu, di sebuah hotel. Selalu di hotel. Dalam rentang waktu sebulan sekali atau dua kali.

Ada keluargaku yang mengatakan, aku seperti pelacur.

Biarkan. Aku pelacur? Aku melakukannya hanya untuk suamiku. Aku datang kalau aku dipanggil. Peduli apa dengan yang dikatakan orang lain?

Seburuk apapun keadaannya. Seburuk apapun dia perlakukan aku. Dia tetap suami yang harus aku taati perkataannya selama tidak menentang Allah bukan?

Maka niatkan saja setiap pertemuan itu sebagai ibadah.

Saat beretemu di hotel pun.. Jangan berharap dia bermalam. Sebentar saja. Lalu dia pulang. Ke rumah istri pertamanya.

Apa aku menuntut lebih? Tidak.

Apa aku meminta dia harusnya lebih adil padaku? Tidak.

Sesukanya saja. Aku berbaik sangka. Yang dia lakukan adalah yang terbaik yang bisa dia berikan.

Selesai urusan.

Tapi setiap hotel yang kukunjungi, selalu dalam kesendirian, beberapa kali pernah kulalui dalam tangis sepanjang malam. Beberapa kali pernah kulalui dalam sujud-sujud panjang rakaat malam. Beberapa kali pernah kulalui dalam tidu panjang yang seperti tidak ingin bangun-bangun lagi.

Kehidupan rumah tangga macam apa itu?

Ditambahi dengan tingkah sang peneror yang tidak kenal waktu. Terlebih di malam hari, dia mengirimkan lebih banyak SMS-SMS jahat. Aku menelan ludah setiap terdengar bunyi HP. Aku sempat sampai trauma setiap mendengar suara dering HP. Maka HPku selalu dalam keadaan sunyi tanpa suara, kuaktifkan mode silent. Karena tidak kuat membaca segala macam pesan jahat itu.

SMSnya sanggup membuatku down seketika.

Entah hidup macam apa yang sedang Allah persiapkan bagiku saat itu. Aku hanya menjalaninya. Dengan keterbatasanku membaca pesanNya yang tersembunyi.

*****

Ditengah semua hal yang memojokkanku saat itu.. Pernah ada satu hari yang sangat membahagiakanku.

Saat itu malam. Langit gelap. Langit Jakarta tidak berbintang. Ia tertutup polusi yang tebal.

Ramadhan tahun 2012.

Entah di hari yang keberapa. Seingatku itu terjadi di sekitaran 10 malam terakhir.

Aku menonton sebuah tayangan live shalat tarawih di Makkah dalam televisi. Saat itu sekitar jam 2 pagi waktu Indonesia barat.

Sang imam membacakan quran  permulaansurat  Al-Ankabut dalam rakaat shalatnya.

Ada air mata yang mulai menetes lagi saat mendengar lantunan ayat Al-Qur'qn tersebut.

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ الم

Alif Lam Mim

-Surat Al-Ankabut, Ayat 1

أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ

Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, “Kami telah beriman,” dan mereka tidak diuji?

-Surat Al-Ankabut, Ayat 2

وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ

Dan sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta.

-Surat Al-Ankabut, Ayat 3

Ya.. Aku pernah mengatakan bahwa aku percaya, aku beriman padaNya, Allah, yang Maha Esa. Maka semua hal berat yang terjadi padaku ini sejatinya hanyalan sebuah ujian perkataanku sendiri. Dia hanya ingin menguji apa benar aku masih bisa percaya padaNya ditengah kondisi buruk yang kualami justru saat aku putuskan memilih apa yang Allah inginkan bagiku?

Dia hanya ingin menguji apa benar perkataanku bisa aku buktikan dalam laku perbuatanku?

Semoga air mata yang menetes dini hari itu adalah air mata bukti bahwa masih ada sebiji kecil keimanan di dalam hatiku.

Maka aku bersegera mengambil wudhu dan segera mendirikan shalat malam. Mengisi doanya hanya dengan tiga kalimat pertanyaan tanda kelemahanku. Yang kuulang berkali-kali.

"Sampai kapan? Seberapa lama lagi? Seberapa sakit lagi?"

Doa setelah shalat malam yang teriringi tangis yang menderas lagi melelahkan. Sampai aku tertidur masih dalam posisi setengah duduk setengah sujud.. Dengan mukena yang masih kukenakan. Dalam air mata yang menderas membasahi wajahku dan juga sebuah pertanyaan untuk Allah..  "Sampai kapan? Seberapa lama lagi? Seberapa sakit lagi?"

Dalam tidur aku bermimpi. Sebuah mimpi yang tidak akan pernah aku lupakan dalam hidupku seterusnya.

******

Aku menaiki sebuah perahu kecil, yang hanya muat untuk menampung 3 orang. Ada dua orang lain bersamaku, seorang laki-laki dan perempuan yang lanjut usia yang ada di dalam perahu, aku tidak mengenalnya.

Perahu yang kutumpangi itu berjalan dengan kayuhan kami, melewati sungai kecil yang sangat kotor, lalu menabrak sebuah tebing. Apa yang biasanya terjadi saat sebuah perahu kecil menabrak sebuah tebing, cadas raksasa yang begitu keras, terjal, dengan posisi 90° dari tanah datar, tegak sempurna, berdiri kokoh dan angkuh? Harusnya perahu kecil yang kunaiki itu berhenti, atau separahnya mungkin terbalik dan aku terjatuh pada sungai yang sangat kotor itu kan?

Tapi ternyata tidak..

Perahu kecil itu bergerak semakin kencang menaiki tebing terjal itu. Ya, sangat cepat sekali. Tapi tebing itu tidak semulus yang kau kira, ia begitu tinggi. Sangat tinggi. Dengan permukaan yang jauh dari rata dan mulus. Kau pernah naik sebuah wahana permainan roller coster? Pada saat melewati jalan turun biasanya ia bergerak dengan sangat cepat sampai memacu adrenalin bukan? Ya.. Kurang lebih begitulah keadaan perahu kecil yang kunaiki itu. Melaju dengan kecepatan yang sangat mengerikan. Di atas tebing yang curam. Berulang kali perahu ini hampir terjatuh. Aku di dalamnya pun hampir terjatuh, tapi kembali dapat berpegangan lagi, saling membahu dengan dua orang penumpang lainnya.

Perahu masih terus melaju dengan sangat cepatnya. Dengan hentakan pada badan perahu yang sangat keras. Tapi lagi-lagi dapat terus bertahan. Meski payah.

Aku rasakan ketakutan dan harapan untuk segera sampai dan menyudahi perahu tersebut. Tapi nyatanya perjalanan masih sangat panjang, masih terus saja melaju kencang, dengan goncangan yang membuat perahu bahkan hampir terjungkal dan kami hampir terlempar jatuh. Tapi dapat kembali lagi, dan terus melaju lagi.

Aku lupa, apa aku menangis saat itu atau tidak. Tapi aku rasakan detakan jantungku yang menyamai irama hentakan keras lagi berguncang-guncang dalam kecepatan tinggi itu. Ngeri..

Setelah perjalanan yang begitu panjang dan melelahkan itu. Perahu tibalah diatas tebing.. Aku merasa seperti ada di langit. Awan-awan putih berarak disekitarku dan aku dapat menyentuhnya dengan jemari tanganku. Biru langit yang sangat indah sempurna. Aku melihat kakiku, ternyata ia menjejak di atas hamparan rumput hijau yang sangat luaaaas sekali. Rasanya semua lelah dan perjuangan bertahan dalam perahu tadi tergantikan dengan hati yang terasa begitu lapang seperti lapangnya padang rumput dan langit biru luas yang begitu mendamaikan.

Ini di mana? Hatiku bertanya.

Lalu lewatlah dihadapanku arak-arakan awan putih yang sangat indah sekali. Membentuk sebuah peta dunia. Awan-awan yang indah. Saking indahnya, aku sampai merasakan haru yang begitu mendalam. Hatiku sesak dengan rasa bahagia yang sangat. Air mataku mengalir tak tertahankan. Hatiku berbisik lagi.. "Subhanallah... Ini karunia! Ini karunia!"

Tapi, ini di mana?

Aku melihat lagi ke sekelilingku. Ternyata ada beberapa gazebo indah di atas hamparan rumput itu. Ada yang memanggilku. Dan aku melihat beberapa orang yang aku kenal..

Mereka, teman-temanku, para penghafal al-Qur'an. Menyambutku dengan senyuman manis nan ramah, memelukku dengan hangat dan sepenuh hati.

Aku masih belum paham, tempat yang begitu indah ini apa? Di mana?

Kami semua yang hadir di sana, dipersilahkan duduk dua shaf berhadap-hadapan di atas sebuah permadani... Senyum-senyum bahagia tampak jelas di wajah kami. Bahagia yang tidak terlukiskan.

Lalu dihadapan kami ada begitu banyak hidangan tersaji...

Aku masih ingat jelas sensasi rasa hatiku saat tetiba aku terbangun dari mimpiku..

Saat itu aku sedang hamil dengan usia kandunganku enam bulan.

Doa yang aku panjatkan saat itu dengan sepenuh kesedihan, dan berbagai pertanyaan batin atas kesemuaan yang aku alami di kehidupanku. Satu pertanyaan batinku saat itu yang aku ingat; "Sampai kapan? Seberapa lama lagi? Seberapa sakit lagi?"

Aku terbangun, mataku terbuka, tapi aku tidak ingin beranjak. Masih ingin merasai mimpi yang terasa begitu nyata...

Aku lihat jam. Rupanya itu tepat di sekitar waktu sepertiga  akhir malam  terakhir. Menjelang waktu subuh.

Mungkin saat itu, Allah ingin menghiburku dengan mimpi itu. Tepatnya maksud dari mimpi itu, hanya Allah yang tau. Tapi aku bangun dengan rasa hati yang berbeda.

Ada tekad baru yang tertanam kuat.

Kesakitan, ketakutan..

Harapan, kebahagiaan..

Semua itu akan silih berganti hadir dalam hidup kita sebagai manusia yang ingin bisa melalui hidup ini dengan sebaik-baiknya.

Mendekati Allah... Mencintai Allah...

Adalah sebuah perjalanan panjang, mendaki, penuh liku, tidak mulus.

Berulang kali mungkin kita akan terjatuh, atau hampir terjatuh.

Tapi selama kita terus berpegangan, saling membahu memegangi untuk tetap kembali pada jalan lurus yang sangat tidak nyaman itu, kita akan tetap sampai.

Perjalanan yang penuh tantangan itu pada akhirnya akan berakhir...

Jika kita ingin merasakan bahagia pada akhirnya, lewatilah jalan yang lurus, mendaki, terjal, lalu bertahanlah... Itulah jalan menujuNya.

Tidak mudah.. Tapi akan indah pada akhirnya.

Itu hikmah yang tertanam setelah aku mimpi malam itu.

Semoga kita bisa istiqomah, dan terus kembali pada Allah, kembali lagi pada Allah dan terus mengembalikan kesemuaan kita dan apapun yang kita punya kepadaNya...

Jangan sendiri. Kemungkinan kau selamat jika sendirian tanpa yang mengingatkan, memegangi dan menarikmu kembali ke jalan lurus dan terjal ini akan berat.

Sahabatilah orang-orang yang sedang memperjuangkan hal yang sama dengan yang kau perjuangkan: meraih ridha dan kecintaan Allah.

Kembalilah pada Allah. Ia selalu menunggu kita kembali. Dan akan sangat bahagia dengan kembalinya kita yang sering terlupa padaNya ini...

Itu hal membahagiakan yang kualami dalam sebegitu banyak kesedihan yang sedang merundungku.. Sebuah pesan cintaNya.

____________________________________________
Akan dilanjutkan lagi, insyaallah biidznillah...
____________________________________________

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DARI ANAKMU YANG KINI DEWASA

Perjalanan Pembuktian Cinta #Part1

sampe sebesar ini?