Perjalanan Pembuktian Cinta #Part3

#PERJALANANPEMBUKTIANCINTA

#PART3  : SAAT TANGIS MENJADI SAHABATMU

Alhamdulillah... Masih Allah kasih kemampuan buat nulis ini. Aslinya.. Sebelumnya... Ini hal yang ga akan pernah saya share.. Tapi, dorongan dari dalam diri untuk menuliskan ini menguat. Sambil terus membaca tanda-tandaNya, maka aku tuliskan ini.

Untuk membesarkan asmaNya di hati-hati yang rindu kembali...

Bisa baca dulu 2 part sebelumnya. Supaya nyambung dengan part 3 ini.
Part 1 : http://bit.ly/2sLFoml
Part 2 : http://bit.ly/2twRaOs

*************

Aku ingat saat aku istikharah pertama kali, selesai membaca doa istikharah tersebut, aku melanjutkannya dengan obrolan satu arahku padaNya, kau sebut saja ini curhat. Tapi curhat dalam doa. Hanya aku dan Allah. Tapi kini, aku coba bagi cerita ini pada yang sedang membaca kisah ini.

Aku sampaikan, "Ya Allah, aku ditawarin menikah dengan seseorang yang bukan tipe aku banget. Bukan selera aku banget. Tapi kata abi, dia adalah seseorang yang punya kontribusi besar dalam dakwah. Dia adalah orang yang tidak terlalaikan dengan bisnisnya dari mengingatMu. Dia seseorang yang mencintaiMu.. Tapi lagi ya Allah, dari semua pemaparannya abi. Rasa-rasanya ga mungkin orang dengan sepak terjang dakwah yang demikian, masih sendiri. Sepertinya dia sudah berkeluarga. Ini yang bikin aku ga sreg ya Allah. Memang Kau menghalalkan hal itu. Tapi aku cuma manusia akhir zaman, pandangan orang lain akan sangat negatif terhadap orang-orang yang ada di posisi tersebut. Aku ga mau ya Allah. Tapi lagi.. Aku ga tau apa yang terbaik buat aku, aku ga tau apa yang Kau ridhai untuk aku jalani. Aku pilih Engkau aja ya Allah. Apapun yang Kau pilihkan pasti yang terbaik. Aku percaya itu ya Allah."

Maka... Sedetik setelah istikharah, aku membuka Al-Qur'an, dengan niat melanjutkan tilawah harianku...
Yang saat itu sedang ada di Surat An-Nur ayat 35. Ayat cahaya.

"Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya, seperti sebuah lubang yang tidak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam tabung kaca (dan) tabung kaca itu bagaikan bintang yang berkilauan, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkahi, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di timur dan tidak pula di barat, yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah memberi petunjuk kepada cahaya-Nya bagi orang yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."

Ayat tersebut menenangkan hatiku. Sungguh. Seperti Allah ingin menyampaikan, "Aku ada di sini, kamu ga perlu khawatir, akulah Cahaya di atas Cahaya." maka air mataku menetes seketika.

Ayat tersebut berlanjut ke ayat ke 36. Ayat ini adalah firman Allah tentang cahaya yang ada di rumah-rumah yang didalamnya nama Allah dimuliakan dan disebut..
Aku saat itu sedang berada di sebuah pesantren tahfizh yang otomatis hampir 24 jam kecuali saat tidur pastinya, bersama Al-Qur'an.. Maka semoga tempat tahfizhku itu termasuk rumah-rumah yang Allah berikan cahaya yang dimaskud di ayat tersebut... Karena di dalamnya, kami memuliakan firman-firman Allah, didalamnya kami menyebut dan meninggikan namaNya.. Hampir di setiap waktu..

Berlanjut ke ayat selanjutnya di ayat ke 37 dan 38. Ayat ini berbunyi:
"orang yang tidak dilalaikan dari perdagangan dan jual beli dari mengingat Allah, melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut kepada hari ketika hati dan penglihatan menjadi guncang (hari kiamat)."
"(mereka melakukan itu) agar Allah memberi balasan kepada mereka dengan yang lebih baik daripada apa yang telah mereka kerjakan, dan agar Dia menambah karunua-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezeki kepada siapa saja yang dia kehendaku tanpa batas."

Sampai di ayat ini, aku tertegun. Bukannya ini sama persis dengan apa yang disampaikan abi tentang seseorang yang datang ini?

Aku takut sekali dengan hatiku yang menerka-nerka. Maka aku segera beristighfar lagi dan menyudahi tilawahku. Lantas aku berbicara pada diriku sendiri: "Ah... Ini hanya kebetulan saja."

Bayang-bayang 'ular' itu menghantuiku. Maka aku semakin banyak bicara pada Allah. Meminta perlindungan dari rasa rakutku sendiri. Meminta perlindungan dari rasa sedih yang seketika hadir setiap mengingat wajah abi yang begitu yakin dan mantap menyampaikan hal tersebut padaku...

Allah... Aku cuma mau apa yang Kau mau. Ini tentang hal sakral dalam hidupku. Aku ga mau salah langkah. Aku ga mau mengedepankan ego. Aku cuma mau jalani apa yang Kau pilihkan aja.

Hari-hariku terus berlanjut.

Aku diminta tidak menceritakan hal ini kepada siapapun saat itu. Maka aku hanya bisa bicara dan curhat tentang hal ini ke Allah saja.

Istikharah masih terus berlanjut.

Aku sedang dibonceng abi, mengendari motor berkunjung ke pesantren tempatku menghabiskan masa-masa SMP dan SMA. Cukup lama aku menimba ilmu di sana. 6 tahun. Sambil di atas motor yang melaju, aku mengulang-ngulang hafalan Al-Qur'anku, berdzikir pagi dan petang. Perjalanan dengan jarak tempuh yang tidak sebentar. Sekitar 3 jam kalau ga salah. Saat selesai muroja'ah tersebut. Masih di atas motor. Aku merenung dan kembali berbicara lagi pada Allah dalam hatiku. Bertanya-tanya lagi tentang apa yang harus aku pilih. Tentang apa yang Allah ridhai untuk aku jalani. Perjalanan yang bertaburan doa.

Seketika aku teringat sebuah mimpi. Yang ingatanku atas mimpi tersebut membuatku menggigil gemetaran di atas motor.

Aku terbata-bata bertanya pada abi: "Abi.." kataku sambil menahan gemeretak gigiku tersebab gigil yang tiba-tiba hadir. "Abi banyak bercerita tentang orang ini. Abi sampaikan tentang semua sepak terjangnya. Tapi abi belum pernah sampaikan ke aku siapa namanya. Memang siapa namanya bi?"

Abi terdiam. Tidak menjawab. Entah karena fokus dengan motor yang sedang dikendarainya. Atau karena memang tak mau menjawab pertanyaanku.

Aku kembali melanjutkan pertanyaanku.. "Abi.. Apa orang ini berinisial nama S"

Abi seperti tersentak kaget. "Kamu kenapa bisa nebak begitu? Kamu cuma nebak asal-asalan atau gimana?"

Jawaban abi, sudah cukup membuatku tau... Bahwa benar. Inisial nama orang tersebut adalah S. Air mataku mulai berjatuh satu-satu. Sungguh, aku sebenarnya inginnya abi menjawab hanya bukan dan tidak. Inginnya aku ga usah percaya bahwa ini saling kait mengait..

Dan asal kau tau.. Wahai orang yang sedang membaca tulisan ini.. Saat ini, aku sedang  menuliskan kembali hal ini dan  merasakan gemeletar itu di sekujuran tubuhku. Gigil. Gigil yang entah bersebab apa. Ini hal yang selalu terjadi.. Setiap aku menceritakan bagian yang ini kepada orang yang bertanya tentang kisahku.

Ok, kembali lagi ke kisahku.

Perjalanan sore itu, dengan langit mendung yang mengiringi. Aku menangis tergugu dan terguncang-guncang di atas motor yang sedang melaju. Tersebab hal nyata yang kutemui.. Ternyata berhubungan dengan mimpi yang kualami tiga bulan sebelum hari itu.

Aku bermimpi tentang: aku bergaun pengantin warna putih... Ada dua pelaminan di dalam sebuah masjid yang luas sekali. Satu pelaminan di sebelah kanan mihrab. Dan satu pelaminan lagi berada di sebelah kirinya mihrab.
Di pelaminan yang satu, sudah ada sepasang pengantin yang duduk di atasnya. Bergaun dengan nuansa ungu.
Dan pelaminan yang satunya, yang berada di sebelah kanan mihrab, masih kosong. Hanya kursi pelaminan.
Aku melihat dua buah undangan pernikahan. Satu berwana ungu dan satu berwarna putih gading.
Aku menerka, yang ungu pasti milik pasangan pengantin yang sudah berada di pelaminan sebelah kiri masjid. Maka pasti yang putih milik sepasang pengantin yang akan duduk di pelaminan yang satunya.
Aku akan menikah hari itu, aku bergaun pengantin, tapi aku tidak melihat calon pengantin lelakiku.
Undangan warna putih gading bertulisakan dua nama inisial pengantin. I dan S.
I adalah nama panggilanku, Ibah. Dan S adalah nama pengantin lelakiku.
Aku mencari-cari sosok lelaki berbaju pengantin.
Aku tidak menemukannya.
Di sana hanya ada 1 orang lelaki bergaun pengantin warna ungu dengan pasangannya yang juga bergaun ungu, dan aku yang juga bergaun.
Aku bergaun warna putih gading, duduk di karpet masjid, seperti baru akan melaksanakan akad.
Tapi aku tidak menemukan lelaki yang akan menjadi pengantinku.

Mimpiku terhenti di sana.
Aku terbangun dalam degupan rasa yang aneh. Mimpi macam apa itu ya. Aku terlupa akan mimpi tersebut. Dan kembali mengingatnya hari itu.. Aku mendapatkan jawabannya di atas sebuah motor, 3 bulan kemudian.

Dalam tangis yang mulai mereda, di atas motor yang melaju, aku bercerita pada abi tentang mimpiku 3 bulan yang lalu tersebut.

Abi terdiam. Hanya diam.

Dan aku yang mulai berhenti menangis menyisakan senggukan kecil sesekali, terus berdzikir memohon bimbingan Allah.

Di saat kedua jawaban istikharah itu..

Aku masih berusaha memungkiri, bahwa itu adalah sebuah jawaban dari Allah.
Aku masih berusaha meyakini, bahwa mimpi yang kualami 3 bulan lalu yang ternyata berhubungan dengan apa yang kualami hari ini.
Ini hanyalah sebuah kebetulan.

Tapi hatiku mulai terasa goyah... Apa mungkin masih bisa disebut sebuah kebetulan jika terjadi berkali-kali?
Apa mungkin benar ini adalah maksud Allah dan jawaban Allah atas pertanyaan-pertanyaanku tentang 'ular'ku ini?

Perjalanan kembali ke pesantren tahfizhku sore itu berakhir dalam diam dan carut-marut pikiran juga hati, akan kemungkinan demi kemungkinan yang entah apa yang akan terjadi selanjutnya...

*****

Umi belum tau soal ini. Maka sepertinya abi sudah mulai membuka obrolan dengan umi tentang hal tersebut.

Aku tanya, mana ada di dunia ini seorang ibu yang rela anak wanita pertamanya dijadikan istri nomor sekian, jika tidak karena terpaksa atau karena sebuah alasan yang kuat?

Maka umi, menjadi seorang penentang yang paling depan tentang hal ini.

Aku ingat, saat itu, aku sedang menjadi panitia pernikahan seorang teman pengajianku. Saat aku mendapat SMS dari umi, tepat setelah aku melaksanakan shalat dhuha dan istikharah tentang 'ular'ku. Memohon sebuah petunjuk yang jelas dariNya...

SMS tersebut berisi cacian, makian, sekaligus curahan  hati seorang ibu yang terlukai.

Ini ibu kandungku sendiri, mengatakan hal-hal buruk tentangku. Tentang betapa rendahnya harga diriku. Tentang mengapa aku sebodoh itu mau dinikahkan menjadi seorang istri nomor kesekian.

Tangisku lagi-lagi pecah saat itu juga. Tamu undangan yang hadir terbengong mungkin melihat seorang penjaga prasmanan tetiba menangis deras sekali. Wajah-wajah mereka bertanya-tanya.. Kenapa?

Enggan menangkap ekspresi mereka, aku izin kembali ke kamar yang memang disediakan untuk panitia pernikahan tersebut.

Di kamar.. Meledaklah tangisan yang semula kutahan-tahan.

Kumulai lagi curhatanku ke Allah.

"ya Allah.. Aku sempat percaya dari dua pentunjuk yang Kau berikan bahwa melanjutkan ini adalah apa yang Kau ridhai.. Apa yang Kau inginkan.. Tapi ya Allah.. Ini ibuku sendiri. Ibu kandungku. Sampai membenciku sedemikian, karena keputusan yang bahkan belum final aku ambil. Ini masih proses, aku belum menjawab. Pun abi sampaikan padaku bahwa keluarga orang itu telah mengizinkan. Tapi... Ini ibuku sendiri, yang mencaci makiku sedemikian karena hal ini. Maka ya Allah, tidak akan mungkin hal ini adalah hal yang Kau ridhai.. Karena ibuku..orang tuaku.. Tidaklah ridha atas hal ini. Aku mau sudahi ini aja ya Allah. Ga akan aku lanjut lagi prosesnya." tangis masih menderas. Dadaku sakit. Sakit sekali. Menahan sesak yang tiba-tiba hadir itu.

Di tengah uraian tangis dan gemetar tubuhku.. Aku buka kembali Al-Qur'anku.. Aku butuh jawabanMu segera ya Allah. Aku butuh ketenangan segera ya Allah. Aku tidak mungkin bisa bertahan dari kesedihan kalau bukan karenaMu ya Allah. Tenangkan aku...

Maka ayat yang kubaca malah semakin membuatku menangis...

Tapi tangis dengan intonasi yang semakin tenang.

Ayat tersebut adalah qur'an surat Hud. Ayat ke 28.

Yang bunyinya adalah:
" Dia (Nuh) berkata, "Wahai kaumku! Apa pendapatmu jika aku mempunyai bukti nyata dari Tuhanku, dan aku diberi rahmat dari sisiNya, sedangkan (rahmat itu) di samarkan bagimu. Apa kami akan memaksa kamu untuk menerimanya, padahal kamu tidak menyukainya?"

Maka ayat tersebut, saat dibaca dalam konteks masalahku saat itu, seolah menjawab apa yang aku tanyakan.

Inilah dialog yang bukan lagi dialog satu arah seperti yang aku kira... Allah sedang berbicara padaku lewat Al-Qur'an yang aku baca....

Seolah Dia sampaikan padaku.. Aku tidak akan memaksamu untuk menerima apa yang tidak kamu sukai... Tapi ada rahmat yang Aku sembunyikan di dalamnya dan rahmat itu samar bagimu... Aku tidak memaksamu.

Tangis masih berlanjut.

Wajahku sudah tidak karuan.

Aku masih mau menganggap ini lagi-lagi hanya kebetulan yang terjadi (lagi). Dan ternyata... Kebetulan-kebetulan yang berirama itu...terus terjadi kedepannya...
Membuatku ketakutan dan merasakan ketenangan yang sekaligus dalam satu waktu.

SkenarioNya masih berjalan atasku.
Berliku... Sungguh.. Buatku, itu sangat berliku.

Aku sering membatin.. Ya Allah..apakah mencintaiMu dan mengharapkan cintaMu harus sedemikian ini konsekuensinya?

Namun ternyata semua itu salah...

******

Dilanjut lagi.. Nanti ya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DARI ANAKMU YANG KINI DEWASA

Perjalanan Pembuktian Cinta #Part1

sampe sebesar ini?