Perjalanan Pembuktian Cinta #Part12

PERJALANAN PEMBUKTIAN CINTA
Part 12 : SEBUAH KABAR

Saat ada ayat Al-Qur'an yang begitu seringnya diulang-ulang tapi masih saja ada yang terlupa... Maka tidakkah kita curiga, akan suatu pesan yang sedang Allah ingin sampaikan lewat ayat yang salah dan terlupa tersebut?

Mungkin ada sesuatu yang Dia ingin kita kembali mendalaminya lebih baik lagi, kembali menyelami maknanya lebih dalam lagi, dan kembali menjadikannya akhlaq diri yang lebih indah lagi.

Maka alangkah lebih baiknya kita mencurigai diri. Mungkin ada yang salah dalam diri kita, maka ayat tersebut Allah buat kita lupa. Alangkah baiknya jika kita curiga. Lalu mencari tau... Apa kiranya yang ingin Allah sampaikan..

Dia hanya ingin kita kembali padaNya, secara utuh: jiwa dan raga. Tidak setengah-setengah. Full! Seratus persen.

Wallahua'lam.

Supaya utuh pemahamannya atas kisah ini, baca pun jangan setengah-setengah, bacalah dari awal. 😊👍

Part 1 : http://bit.ly/2sLFoml
Part 2 : http://bit.ly/2twRaOs
Part 3 : http://bit.ly/2szWAqS
Part 4 : http://bit.ly/2uVf8T0
Part 5 : http://bit.ly/2sVdvbN
Part 6 : http://bit.ly/2v9GW6B
Part 7 : http://bit.ly/2t65QYh
Part 8 : http://bit.ly/2tUZXKs
Part 9 : http://bit.ly/2tXvuLZ
Part 10 : http://bit.ly/2uMmXyt
Part 11 : http://bit.ly/2tN7XQP

*********

Kesungguhanmu akan selalu diuji!

Karena Allah tak cukup hanya kata, Dia butuh pembuktian dari diri kita atas kata yang telah kita ucapkan.

Maka seberapa besarkah kesungguhan itu? Akan terbukti saat ujian itu datang kepada kita.

Bersiaplah!

Ujiannya dadakan. Dan bisa dalam bentuk apapun.

Maka waspada harusnya setiap waktu.

Allah tau di mana titik terlemah masing-masing kita. Dan Dia akan menguji kita di sana.

*********

Aku tersetting sejak awal bukan sebagai orang yang senang berbisnis. Jadi kemampuanku untuk menghasilkan uang adalah nol.

Tapi situasi menaruhku pada kondisi yang tidak bisa aku tolak: tulang punggung keluarga.

Anak pertama, dari delapan bersaudara. Aku yang tidak punya keahlian apapun kecuali dalam hal hafalan Al-Qur'an. Umi dan Abi terhenti penghasilannya. Setelah keluar dari pesantren, tempat kami sebelumnya tinggal. Dan aku adalah ibu dari seorang anak perempuan.

Aku tidak bisa hanya tinggal diam dan menunggu makanan turun begitu saja dari langit. Aku harus bekerja. Pikirku saat itu. Tidak ada cara lain.

Allah pertemukan aku dengan sebuah lembaga training. Yang ternyata selanjutnya dari sanalah Allah berikan aku jalan untuk mengais rezeki. Aku diminta menjadi admin dalam komunitas training tersebut. Aku berterimakasih sekali Allah taruh aku dalam kondisi tersebut. Aku belajar cara berkomunitas, aku belajar cara berinteraksi bisnis, aku belajar cara survive di tengah kota besar. Kawan-kawanku yang baru dari kalangan entrepreuneur. Anak-anak muda yang punya mental sukses.

Allah taruh aku di sana, pasti karena Allah ingin aku belajar hal baru yang sebelumnya tidak aku ketahui.

Maka aku ucapkan terimakasih banyak kepada kawan-kawanku di sana. Yang memberikan aku kesempatan untuk belajar, bertumbuh, meski diawal hanya sebagai pengamat. Lalu menjadi admin, pengatur jadwal meeting dan koordinasi dengan lingkaran komunitas, mengenal banyak orang dengan banyak karakter.

Kerja sebagai admin tidak seberapa lelah. Tapi hati yang terus didera duka, ia yang kelelahan.

Gajiku tujuh ratus ribu sebulan. Buatku sendiri, mungkin itu lebih dari cukup, tapi untuk keluargaku? Alhamdulillah. Kadang kami masih harus menahan lapar, untuk mengutamakan membeli susu untuk anakku. Meski tak jarang juga dia aku berikan air putih diberi gula. Untuk sementara sebelum ada uang untuk membeli susu lagi.

Aku paham rasanya, pamit pergi kerja setiap pagi, memeluk anakku yang terkadang masih tertidur pulas, memandangi wajahnya dengan taburan doa dalam hati. Dan pulang saat dia sudah tidur lagi. Kembali memandangi wajahnya dan menggenggami telapak tangannya, menaburinya dengan doa-doa baik.

Saat memandangi wajahnya hati dan mataku kembali gerimis.

"Doakan Umi nak, semoga kelelahan Umi tidak sia-sia."

Dalam kondisi yang begitu lelah, sangat kelelahan lahir batin, aku justru menemukanNya kembali.

Dia seolah memelukku dalam duka yang semakin mengikat. Erat.

Aku menemukanNya, dan meski dalam kesadaran yang masih patah-patah. Lebih sering lupa dari pada ingat. Aku menyadari, pada akhirnya, bagaimana cara Dia mencintai. Dengan cara yang paling lembut, Dia mengaktifkan telingaku, untuk bisa mendengar lebih dari sekedar yang terdengar. Dengan cara yang paling kasat mata, Dia mengaktifkan mata dan hatiku, untuk bisa melihat lebih dari sekedar yang tampak. Tapi dalam, dan lebih dalam lagi. Yaitu menemukan sebuah makna bahagia, dalam kesempitan juga duka yang hadir dan masih memeluk erat aku dan hari-hariku.

Maka pagi itu, aku seperti diperlihatkan olehNya, bahwa bahagia, benar letaknya adalah di hati, kita yang memilihnya untuk hadir. Dan cara membangkitkannya adalah dengan kebersyukuran. Rasa cukup, rasa menerima, pada apapun kondisinya.

"Pagi ini, aku hanya ingin bersyukur. Bukankah semua luka itu yang pada akhirnya membawa aku ada di sini hari ini? Menemukan tempat yang baik. Bertemu teman yang baik. Maka bukankah ini anugerah?"

"Pagi ini, aku hanya ingin berterima kasih padaMu, atas semua takdirMu yang sampai saat ini aku masih belum mengerti mengapa Kau taruh aku di dalam sebuah kisah duka yang seperti ini. Tapi, bukankah semua duka itu yang akhirnya kini menghadirkan sesosok aku yang sekarang? Sesosok aku yang lebih bisa memaknai setiap apa yang tersirat dari setiap kejadian, dan sesosok aku yang semoga saja benar menjadi lebih baik dan bijak dari aku yang sebelumnya. Maka bukankah ini semua, rangkaian hari-hariku semuanya, sedih senang yang membawaku ke hari ini adalah anugerah? Lalu aku ke mana saja selama ini? Aku tenggelam dalam duka dan kesedihan sampai lupa dan luput dari mengenali kebahagiaan yang Kau rangkaian dengan begitu banyaknya bagiku. Izinkan aku berterimakasih atas semuanya yang Kau berikan. TakdirMu sempurna. Sangat sempurna. Dan aku meyakini, apapun yang Kau pilihkan adalah baik. Urusanku, biar Kau yang aturkan. Ceraikan, sambungkan lagi, atau digantungkan terus, apapun ya Allah, aku berterimakasih dan berbahagia, karena itu adalah pilihanMu untukku, dan Kau tidak pernah salah menakdirkan apapun sampai ke detilnya. Terima kasih ya Allah."

Doa setelah shalat dhuha hari itu, adalah perbincangan terindah yang aku rasakan dalam hidupku. Rasa lapang terasa sekali setelah itu.

Aku berjalan ke luar mushalla kantor, dengan hati yang  seperti dicubit-cubit rasa bahagia yang halus.

Senyum yang aku tampakkan di wajahku, aku rasakan telah bersepakat dengan senyum di hatiku. Ini bahagia yang sesungguhnya. Tanpa topeng, tanpa rekayasa.

Aku duduk di meja kantorku, mengeluarkan Al-Qur'an, bersiap tilawah, terdengar bunyi SMS masuk.. Kuambil HPku, sambil melafadzkan ta'awuzh dan basmalah bersiap tilawah. Pesan masuk itu kubaca, dari bu Santi (bukan sama sebenarnya), seorang guru tahfizh kenalanku, teman Umiku.

"Assalamu'alaikum Nusaibah. Saya boleh telfon? Ada yang ingin saya tanyakan ke kamu."

Hatiku agak berdegup, "Ada apa ini?" batinku.

Tilawah yang belum lagi kumulai, aku sudahi, aku balas SMS bu Santi.

"Wa'alaikumussalam bu Santi. Silahkan ibu. Ada info apa ya?"

Aku klik tombol 'send' dan SMS pun terkirim.

Tak berapa lama, ada panggilan masuk di HP-Ku. Kulihat display layar HP, oh, telfon masuk dari bu Santi.

Agak tergesa aku angkat telfon tersebut.

"Assalamua'alaikum Nusaibah, apa kabar? Udah lama ga ketemu ya." katanya membuka percakapan.

"Wa'alaikumussalam bu Santi. Alhamdulillah saya baik. Iya bu. Ada info apa bu?" aku ingat, bu Santi pernah bicara padaku tentang pengurusan akte bayiku. Dia yang memberitahuku, bahwa semua surat-surat yang belum sempat kuurus itu bisa berbahaya jika tidak lekas aku selesaikan. Aku menebak, dia menelfonku untuk mengabarkanku hal tersebut.

"Nusaibah sudah tau kabar terbaru tentang Mr. S?" tanyanya lagi.

"Ya bu, beliau sakit. Cuma itu aja yang saya tau. Ada apa  ya bu?" Hatiku mulai menangkap suatu maksud yang kurang enak.

"Oh Nusaibah ga dikabari ya? Ini saya dapat info dari teman suami saya. Yang kebetulan pernah satu komunitas dengan beliau." dia menggantungkan kata-katanya sejenak, menarik nafas.

Perasaanku semakin tidak enak. "Ada kabar apa bu?"

"Nusaibah dan anak semoga diberikan kesabaran ya. Saya baru dikasih kabar tadi jam sebelas. Beliau meninggal jam sepuluh tadi pagi."

Kalimat yang disampaikan dengan biasa saja oleh bu Santi, terdengar seperti halilintar yang menyambar telak di hatiku. Aku lemas seketika. Terduduk di sofa ruang kantor, seperti tulangku dilolosi satu per satu. Tapi tak ada air mata. Hanya hatiku seperti ditikam rasanya.

"Innalillahi wa inna ilaihi raji'uun. Kenapa bu? Ini beneran kan ya bu?" tanyaku masih tidak percaya.

"Iya, saya dapat infonya dari suami saya. Suami saya dari temannya."

Dia yang barusan diberitakan meninggal itu, bagaimanapun adalah suamiku. Jangan tanyakan kenapa aku masih saja lemas setelah mendapat kabar itu. Buatku itu mendadak sekali. Tidak masuk perhitunganku sama sekali.

Jam sepuluh tadi pagi itu, tepat saat aku berlari ke mushalla kantor, berwudhu dalam tangis, karena rasa syukur yang tidak bisa dijelaskan itu berdentuman dalam hatiku.

Jam sepuluh tadi pagi itu, tepat saat aku mendirikan shalat dhuha, memaknai arti sebenarnya dari bahagia, ikhlas, menerima dengan lapang kondisiku yang tertimbun duka.

Jam sepuluh tadi pagi itu, tepat saat aku sudah berhenti meminta Allah menceraikan aku dengan dia, suamiku, yang sepanjang kisahku dengannya hanya terisi duka dan luka. Aku menerima apapun yang Allah gariskan.

"Apakah ini caraMu bekerja ya Allah? Benar Kau berbuat sesukaMu saja ya Allah. Aku sudah berjanji padaMu, menerima apapun yang Kau berikan, karena itu pasti yang terbaik bagiku saat ini dan ke depannya."

Aku masih dalam lamunan dan perbincangan batinku.. Saat bu Santi kembali mengatakan,

"Saya sarankan kamu datang ke rumahnya sekarang. Mumpung belum dikuburkan. Bagaimanapun, kamu dan anakmu adalah keluarganya."

"Ya bu. Saya akan ke sana. Terimakasih atas beritanya." jawabku masib setengah sadar.

Setelah salam, telfon ditutup. Aku masih terduduk lemas di sofa. Memejamkan mata. Menelisik hati. Bertanya-tanya tanpa henti. "Ini apa ya Allah?"

Dalam mata yang terpejam, aku dengar teman kantorku duduk disampingku dan menepuk bahuku,

"Ada berita apa Ibah, kamu kayak yang shocking gitu?"

Aku masih memejamkan mata, menarik nafas dalam, berharap oksigen yang masuk ke tubuhku mampu sedikit menghilangkan rasa lemasku.

"Suami aku meninggal..."

Temanku terkejut dan berucap "Innalillahi.." dalam nada yang kaget campur tidak percaya.

Dia lantas mengambilkanku air minum. Menyodorkannya padaku.

"Minum dulu, biar kamu tenang."

Aku menerima gelas yang disodorkannya. Meneguk air dalam gelas, masih dengan tubuh yang lemas dan pikiran yang penuh.

Dia menepuk-nepuk punggungku. Teman sekantorku tau kondisiku dan pernikahanku, mungkin dia masih berusaha menenangkanku karena penasaran dengan apa yang aku rasakan. Mencoba berempati.

Aku sendiri, tidak mengerti apa yang aku rasakan. Aku memang kecewa padanya, tapi ternyata berita yang seperti ini tetap saja mengejutkanku bahkan sampi membuatku selemas ini.

Terlebih, berita tersebut datang tepat setelah aku kembali berbincang dengan Allah. Tepat setelah aku justru rela atas kepahitan yang aku rasakan. Aku hanya bertanya-tanya, apa yang sebenarnya ingin Allah rencanakan untukku dan hidupku? Mengapa alurnya harus semeliuk ini? Setidak terterbak ini?

Setelah rasa lemasku sedikit berkurang, aku segera menghubungi Umi, menginfokan hal tersebut. Umi terdengar masih tidak percaya dengan berita yang kusampaikan. Aku memintanya untuk segera ke Jakarta, janjian denganku bertemu di rumah saudaraku, untuk bersama takziyah ke rumah Mr.S.

Ya, buatku ini hal yang sama sekali tidak pernah terpikirkan. Hal yang tidak pernah ada bahkan dalam alam mimpiku.

Aku selemas dan selunglai itu setelah mendapat kabar meninggalnya pun tidak pernah aku bayangkan.

Dalam angkot sepanjang perjalananku menuju ke rumahnya, aku banyak beristighfar. Aku masih meraba-raba rasa hatiku sendiri. Semua terlalu tiba-tiba buatku. Otak dan hatiku masih belum sinkron sama sekali dengan apa yang barusan kudengar.

Aku sudah berjanji akan melewati semuanya sebaik mungkin. Jika ini takdirku, jika ini bagianku, jika ini yang harus menimpaku, maka aku akan melewatinya dan menjalaninya. Dengan berusaha terus berpegangan pada Allah. Sekuat mungkin.

Hatiku masih belum sepenuhnya percaya berita itu. Maka saat kendaraan yang kami gunakan sampai di pintu masuk komplek perumahannya, ada sebuah bendera kuning bertuliskan namanya yang berkibar ditiupkan angin sore, hatiku kembali seperti dipukul dengan palu raksasa. Ada yang sakit. Dan rupanya, rasa manusiawiku yang ada saat itu adalah rasa sakit. Yang entah harus aku terjemahkan dalam kata-kata yang seperti apa dan bagaimana. Ini terlalu rumit untuk disebut sebagai rasa kehilangan. Dan ini juga terlalu rumit untuk disebut sebagai rasa lega.

Melihat kibaran bendera kuning yang bertuliskan namanya, aku berbisik pada hatiku yang tetiba terasa oleng: "Apapun yang terjadi sebelumnya, apapun yang dia lakukan padaku, tak peduli luka, tak peduli kecewa, aku ikhlaskan, aku maafkan, aku lapangkan. Semoga Allah berikan tempat yang terbaik baginya. Menghapuskan dosa-dosa dan kesalahannya." Ada air mata yang masih aku tahan-tahan untuk keluar.

******

Jam empat sore.

Sepertinya kami sampai terlalu lama. Sebelum menuju ke rumah suamiku, aku masih harus menunggu Umi, adik lelakiku dan anakku yang baru berangkat dari Depok saat aku infokan berita tersebut.

Perjalanan terhambat karena jalanan yang macet.

Tampak sebuah tenda terpasang di halaman rumah besar tersebut. Ada beberapa karangan bunga besar tanda ucapan bela sungkawa yang entah dari mana saja, aku tidak terlalu mempedulikannya. Kursi-kursi telah kosong sebagian. Hanya beberapa kursi yang terisi oleh orang-orang yang sepertinya kerabat dan tetangga sekitaran rumah.

Ada rasa enggan yang tetiba hadir dalam lubuk hatiku. Enggan untuk ada di sana.

Batinku, "Buat apa? Buat apa kau ada di sini?"

"Setidaknya, terakhir kali, datanglah. Temui ia. Bagaimanapun kisahmu, ia tetap suamimu dan anak dalam gendonganmu ini adalah anaknya."

Kueratkan pelukanku pada anakku yang saat itu berusia satu tahun. Meminjam kekuatannya untukku pakai sejenak dalam kondisi yang paling enggan aku jalani.

"Memang apa yang akan berubah dengan kau ada di sini? Semua akan tetap sama saja. Baiknya kau pergi saja." rupanya hatiku pengecut sekali. Di saat-saat terpojok dia selalu membisikkan kata-kata 'lari' dalam bisik yang paling samar.

Tapi sisi lain hatiku berkata, "Tunggulah sebentar. Sebentar saja. Doakan dia, langsung, temui untuk terakhir kalinya."

Percakapan batin yang lagi-lagi hanya ada di dalam hati. Secara fisik, aku hanya diam, dengan wajah datar yang tanpa ekspresi apapun. Padahal sebenarnya tanpa ekspresi itu karena aku kebingungan dengan apa yang aku rasakan. Ini semua terlalu rumit buat hatiku.

Umi tampak mendatangi seseorang yang berdiri di dalam pagar rumah yang terbuka. Berbicara sepatah dua patah kata yang entah apa. Aku tidak sempat mendengarkan, pikiranku masih terlalu sibuk sendiri.

Kami dipersilahkan masuk, duduk di atas karpet yang tergelar di dalam ruangan, yang sepertinya memang disediakan untuk orang-orang yang datang takziyah.

Aku paham sekali, kondisi ini sangat buruk buatku. Tapi entah mengapa aku masih saja ada di sana.

Umi berbisik padaku, "Orang-orang lagi mengantar jenazah dikebumikan. Makanya di sini cuma ada sedikit orang."

Aku tidak menanggapi apapun. Hanya diam. Diam dalam duduk yang enggan. Aku ingin sekali lekas pergi dari sana. Menyudahi episode yang terasa sinetron sekali dalam hidupku ini.

Seseorang yang sepertinya salah satu anggota keluarga di sana, kata umi, itu adalah adik ipar dari Mr.S.

Dengan wajah yang memerah seperti menahan ledakan amarah, dia berkata kepada kami, "Sebaiknya mba semua pergi aja dari sini ya! Kondisi sedang tidak baik di sini. Mohon pengertiannya. Kalau tentang warisan, tenang saja, akan kami urus bagian kalian!"

Hatiku seperti dipalu lagi untuk yang kesekian kalinya, "Warisan?" kataku dalam hati...

Air mataku sudah tidak dapat aku tahan-tahan lagi. Pecah seketika saat itu juga. Semua rasa bingungku atas apa yang terjadi hanya tumpah dalam air mata yang menganak sungai dengan begitu derasnya.

"Apa aku sehina itu mata mereka? Di hari kematian seseorang, yang ini adalah suamiku sendiri, malah membicarakan warisan? Apa aku sejahat itu? Apa aku terlihat sebegitu kemaruknya dengan harta orang lain?" Batinku sungguh tidak terima sebuah pukulan yang ternyata telak mendarat dengan sukses di hati.

Pertahanan air mataku jebol sudah, aku bangkit dari dudukku, aku ambil anakku, keluar dari rumah itu. Aku memang tidak mau ada di situ. Tidak pernah mau sedikitpun. Dan soal warisan? Aku tidak pernah terpikirkan sedikitpun juga tentang itu. Aku tidak pernah mau mengambilnya sekecil apapun.
Buatku, sudah cukup penghinaan itu, aku tidak serendah yang mereka pikirkan.

Aku tinggalkan rumah besar dengan tenda juga karangan bunga itu di belakangku. Meninggalkan orang-orang yang dengan wajah bertanya-tanya melihatku keluar rumah dengan menggedong anakku dalam tangis yang diam.

Kalau aku disuruh tidak usah peduli, baiklah aku pergi. Dari dulu memang itu yang aku inginkan.

Biar aku tutup episode hidup rumah tanggaku di sana. Selesai. Mungkin memang Allah ingin hadirkan aku sampai di sana saja dalam episode itu. Sudah cukup buatku. Allah tau aku tidak akan sanggup menerima yang lebih dari itu.

*******

Saat aku membuka mata di keesokan harinya, aku seperti menghadapi hari baru. Ada beban yang seperti terlepas dari pundakku.

Allah dengan caraNya, selalulah misteri.

Satu tahun sepuluh bulan yang begitu berat buatku. Telah terlewati.

Dalam tangis yang sambung menyambung. Dalam makna juga hikmah yang diambil saat sadar, juga keluhan dan hati yang berontak saat lalai.

Aku jatuh bangun membaca pesan yang Allah persiapkan bagiku dalam rangkaian perjalanan kehidupanku.

Ternyata kata iman, konsekuensinya begitu besar.

Iman yang kokoh teruji adalah saat telah melewati berbagai ujian dan dia tetap menjelma sebagai iman setelah keluar darinya.

Ianya semakin dalam dan bermakna setelah melewati rangkaian tempaan pembuktiannya.

Pagi itu caraku memandang dunia menjadi berbeda. Ada lapang yang seperti tidak pernah pupus di dalam hatiku.

Dalam agama islam, aku masuk dalam masa iddah. Kondisi suami yang meninggal, maka masa iddahku adalah empat bulan sepuluh hari.

Tapi aku sudah sepuluh bulan tidak ada kontak dengannya. Sedang aku harus tetap bekerja. Nafkah keluargaku, masih aku yang harus menanggungnya.

Maka tiga hari aku rasa sudah cukup untukku berdiam diri di rumah. Dan aku melanjutkan bekerja seperti biasa.

Rute Depok-Jakarta-Depok kulalui setiap harinya. Dalam himpitan orang-orang di dalam kereta. Dalam angkot yang padat merayap di kemacetan ibu kota. Dalam metromini yang berdesakan.

Tapi dengan hati yang kembali tersambung pada Allah. Semua itu menjadi bahagia. Lelah pun bahagia. Semua hal terasa indah jika dijalani dalam kebersyukuran.

Al-Qur'an kecilku kembali menemani hari-hariku dengan menjadi prioritasku sebelum yang lainnya.

Aku mengulang ayat-ayatnya sambil menunggu kereta, saat berdesakan dalam angkot, saat berkendara di atas ojek motor.

Aku menemukan kembali ketenangan dan kebahagiaan sejatiku justru dari sesuatu yang lama aku buang ke belakang punggungku.

Aku pegang kembali ia erat-erat.

Damai bersama Allah.

Entah ujian semacam apa yang akan aku terima selanjutnya untuk membuktikan perkataanku sendiri. Aku selalu meyakinkan diriku, "Kalau kau bersama Allah, kau akan selalu mampu melewatinya. Tenanglah!"

Ada satu yang aku lupa, statusku sejak saat itu adalah 'janda'. Satu status yang aku pikir tidak akan berpengaruh begitu banyak dalam menjalani hari-hariku ke depannya. Karena aku sudah pernah melewati episode yang lebih mengerikan dari hal itu.

Dan ternyata, tidak seperti itu dalam pandangan kebanyakan orang. Istilah janda, aku lebih senang menyebutkan sebagai single mother, adalah istilah yang membuat banyak orang semakin takut padaku.

Aku yang sepolos ini, apa aku memang semengerikan yang mereka pikirkan?

Aku tidak cukup tau tentang hal itu, sampai episode kehidupanku melaju kembali, dalam goncangan yang ternyata belum juga mau berhenti.

"Demi kebaikan seseorang yang sudah meninggal, tolong jawab saya, kamu ini sebenarnya cerai mati atau cerai hidup? Tolong jawab dengan jujur! Kamu penjahat! Kamu ga punya hati! Kamu ga tau diri!

Sepotong SMS dari sebuah nomor tak dikenal, lagi.

Energi negatif tetiba menerpaku dengan begitu kuat. Saat itu aku sedang menunggu kereta. Dalam lemas yang tetiba mendera, aku bersandar di tiang penyangga peron stasiun tersebut.

"Apa semua ini belum selesai? Apa semua belum cukup ya Allah?"

Istighfar kembali kutabuh berulang-ulang dalam hatiku, untuk kembali mengumpulkan energi yang belum sepenuhnya terkumpul, tapi dipaksa pergi oleh sepotong SMS di sebuah senja dalam sebuah stasiun kereta api.

Lidahmu lebih tajam dari pisau.

Ia memang tidak mampu melukai secara fisik.. Tapi dia mampu menancapkan sebuah goresan luka yang sakitnya tidak terkira pada sebuah hati.

"Aku ga jahat ya Allah.. Kau tau itu.. Kau tau... Kau yang Maha Tahu..." lirihku dalam tangis yang ternyata masih belum lagi berhenti senja itu. Dan entah kapan ia akan bisa dihapuskan. Aku tidak tahu...

Menjalani status baruku, adalah menjalani hari baru yang ternyata adalah juga ujian yang baru... Air mata ternyata belum mau berhenti...

____________________
To... Be... Continue...
____________________

Minta masukan buat cover buku #PerjalananPembuktianCinta dong. Bagus yang mana ya?

#PERJALANANPEMBUKTIANCINTA
#PART12
#SEBUAHKABAR

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DARI ANAKMU YANG KINI DEWASA

Perjalanan Pembuktian Cinta #Part1

sampe sebesar ini?