Perjalanan Pembuktian Cinta #Part11

PERJALANAN PEMBUKTIAN CINTA
Part 11 : SEBUAH KISAH DARI MASA LALU

Setiap kita punya keinginan, ada sebuah ego yang terkadang kita perturutkan dalam setiap doa yang tersampaikan padaNya, doa yang semula mungkin bernada perintah, mendikte. Kita lupa bahwa kita hanya hamba, hamba yang semestinya patuh, tapi seringnya kita tak mau diatur.

Maka sekali-kali berbincanglah dengan hati kecilmu, berbincanglah dengan Allah, bertanyalah padaNya, apakah maumu sudah sesuai dengan mauNya? Apakah kau mau jika mauNya jadi pula maumu?

Wahai Sang Penggenggam semua hati, kokohkanlah keimanan itu di dalam hati-hati kami. Agar kami ridha atas apa yang Kau ridha pula atasnya.. Agar tenang hati kami, dengan apa-apa yang Kau rencanakan bagi kami.. Agar kami hanya mencintai apa-apa yang Kau juga mencintainya...

Baca dulu 10 Part sebelumnya. Supaya kamu nyambung sama kisah ini... 😊🙏

Part 1 : http://bit.ly/2sLFoml
Part 2 : http://bit.ly/2twRaOs
Part 3 : http://bit.ly/2szWAqS
Part 4 : http://bit.ly/2uVf8T0
Part 5 : http://bit.ly/2sVdvbN
Part 6 : http://bit.ly/2v9GW6B
Part 7 : http://bit.ly/2t65QYh
Part 8 : http://bit.ly/2tUZXKs
Part 9 : http://bit.ly/2tXvuLZ
Part 10 : http://bit.ly/2uMmXyt

**********

Dalam duka demi duka yang bertubi menyelimutiku, ada seseorang dari masa lalu yang hadir. Hadirnya di saat orang yang kusebut suami itu pergi dari kehidupanku, saat bayiku berusia dua bulan.

Masa-masa saat aku mengiranya telah menceraikanku sepihak. Karena tanpa kabar. Tanpa nafkah sama sekali.

Ini adalah masa-masa di mana aku teralihkan fokus dari mengejar apa yang Allah mau, menjadi menjalani hari mengalir begitu saja tanpa makna. Saat hidup tidak lebih dari sekedar hidup. Tanpa makna.

Interaksi dengan Al-Qur'an menjadi yang paling akhir. Tidak masuk prioritas.. Dan baca Al-Qur'an pun hanya sekedar baca tanpa rasa.

Dan masalah-masalah hidup, jika fokus kita selalu ke sana, hanya menambah beban pikiran dan beban batin, tapi tidak akan menemukan pencerahan sedikitpun. Aku sangat merasakannya. Maka hadirnya masalah sebenarnya hanya salah satu caraNya menarik kita untuk kembali meminta padaNya. Mengadu dan menemukan kembali bahwa, HANYA DIA: ALLAH, jawaban dari setiap permasalahan dan pertanyaan kehidupan. Tapi seberapa banyak dari kita yang justru 'buta' justru saat masalah bertubi itu di hadirkan ke hadapan kita?

Seseorang ini, menawarkan aku mengikuti sebuah training. Katanya training ini training yang baik untuk mengendalikan emosi dan memperbaiki hubungan dengan orang lain, terutama hubungan keluarga.

Dan atas dorongan kakak sepupuku, akhirnya aku mengikuti training tersebut. Dan di mulai dari sanalah perjalananku bertemu kembali seseorang dari masa lalu. Yang membawa ingatanku atasnya terbang ke masa-masa itu. Itu dulu, dulu sekali.. Sebelum kehidupanku menjadi seperti sekarang ini.

Tapi sebelum kuceritakan kisah itu, izinkan aku menarik sebuah hikmah dari perjalananku.

Sejauh ini, setelah kuamati, cara terbaik untuk menyembuhkan luka, memang dengan menerimanya. Memperbesar cinta ke Allah. Latihan ridha pada apa yang menjadi ketetapanNya, adalah di setiap waktu.

Allah sudah berikan Al-Qur'an untuk menyembuhkan luka batinku, tapi aku membuangnya dan mencari solusi selain dari apa yang telah Dia sodorkan padaku.

Maka tamparan demi tamparan yang Dia berikan  padaku lewat orang-orang di sekitarku, hanyalah satu caraNya menarikku kembali untuk menjaga apa yang telah aku pilih untuk aku jaga: Al-Qur'an.

Tapi rencana Allah memang berjalan sesukaNya saja. SkenarioNya atasku di kisah hidupku sejak training itu, adalah mempertemukan aku kembali dengan seseorang ini.

Seseorang yang selanjutnya ternyata Allah jadikan sebagai guruku dan melalui dia, banyak pelajaran berharga bagiku di masa itu pun masa-masa setelahnya.

*********

-Sebuah kisah di masa lalu..

Saat itu aku masih usia SD. Ada seorang anak lelaki yang kurang lebih seusiaku, aku mengenalnya sebagai seorang anak tetangga di rumah Mbah ku di Jakarta. Di masa kecil, aku sering kali berkunjung ke sana. Betah sekali bermain dengan para sepupu. Saat itu, aku mengenalnya hanya sebatas nama. Dan sebatas teman main petak umpet sendal dan berbagai permainan masa kecil lainnya. Juga dia adalah sesosok anak sinis di mataku. Di mataku dia hanya nampak galak saja. Tidak ada baik-baiknya.

Saat aku masuk pesantren di usia SMP dan SMA, di daerah Kuningan, Jawa Barat, lama aku tidak berkunjung ke rumah Mbah.

Setelah sekitar delapan tahun tidak bertemu, kami sudah sama-sama bertumbuh menjadi remaja, ujung gang pertemuan antara rumah Mbah ku dan rumahnya, tempat dulu kami sering bermain semasa kecil, menjadi tempat reuni dadakan, sambil aku ikut mengerjakan mading RT, diajak oleh mba Icha, kakak sepupuku.

"Ini Ibah nih?" kata seseorang tampak bertanya-tanya tak percaya.

Aku menoleh. Oh.. Dia. Mungkin dia aneh dengan gayaku yang sekarang, bergamis lebar dan berkerudung panjang, khas anak pesantren sekali. "Iya. Kenapa? Ini Rendy ya?"

"Kok udah besar? Bukannya dulu kecil banget gitu? Pecicilan banget terus cerewet gitu ya?" katanya sambil menahan senyum.

Aku hanya tersenyum meringis, "Iyalah. Masa mau kecil terus?" ujarku menanggapi sekenanya saja.

"Kok beda banget sih? Sekarang kalem." sambungnya lagi.

"Kalem itu artinya kayak lembu." Sepupuku ikut nyamber mengolokku. Dan mereka tertawa.

Aku melongo, "Ih jahat!" sambil tetap sibuk menyiapkan bahan yang akan dipajang di mading RT tersebut.

Ada yang masih lirik-lirik dan curi-curi pandang padaku. Membuat aku risih. Sepenilaianku, sepertinya ini tipikal cowok luar pesantren begini kali ya?

Karena aku tidak pernah berinteraksi dengan laki-laki, aku menjadi kikuk luar biasa dan terkesan begitu jengah  dan tidak betah jika harus ada dalam satu lingkungan dan jarak berdekatan dengan laki-laki.

Dan laki-laki yang non pesantren yang pertama aku temui di masa aku beranjak remaja, adalah dia.

Maka itu sudah cukup mampu membuatku menerjemahkan, laki-laki ini mungkin sudah tidak asing bicara dengan perempuan. Santai aja. Seperti tidak ada rasa risih atau apapun. Dan sepertinya tipikal lelaki begini ini tipikal penggoda. Dan mohon maaf sekali aku kurang tertarik dengan lelaki begini. Aku memandang sebelah mata kepadanya. Tidak menganggap dia ada.

Tidak sepertiku yang begitu canggung dengan laki-laki. Aku selalu merasa aneh jika harus bicara dengan laki-laki. Karena sudah hampir enam tahun aku tinggal dan bicara hanya dengan perempuan saja.. Sekalinya bicara dengan laki-laki, itu hanya ustadzku, atau bicara sekenanya dan hanya terkait organisasi saja dengan santri ikhwan. Maka jangan tanya bagaimana risihnya aku jika harus berinteraksi dengan laki-laki. Aku akan terlihat kaku dan salah tingkah sekali.

Dan entah dari mana dia dapat nomor HPku, ada sebuah SMS masuk, "Assalamua'laikum. Ibah ya? Sebentar lagi mau ulang tahun yang ke-17 ya?"

"Wa'alaikumusalaam. Ini siapa ya?"

"Ih kan lupa. Yang tadi di depan."

"Oh kamu. Iya. Tau dari mana?"

"Ada deh. Biasanya ulang tahun ke 17 itu Allah mau kasih hadiah istimewa loh."

Semua SMS itu hanya membuatku semakin 'ilang feeling' padanya. Ini bukan tipe lelaki yang aku banget.

Tapi dia seperti tidak kehabisan ide untuk terus mendekatiku. Dan aku hanya semakin risih saja.

Setelah aku kembali ke pesantren, melanjutkan sisa masa aliyahku di sana setelah liburan itu, aku sampai mematahkan simcard nomor HPku, agar dia kehilangan jejakku dan aku menghilangkan jejak dari dia.

HP sudah tidak bisa dihubungi, ternyata dia bergerilya di akun media sosialku. Membaca tulisan-tulisanku di  akun blog  dan facebook-ku, meninggalkan komentar, yang  sebenarnya komentarnya biasa saja, tapi tetap saja  membuatku semakin ketakutan dan merasa diteror.

Entah metode pendekatan perempuan seperti apa yang dia pakai, yang pasti aku semakin takut saja padanya. 'Maniak' kalau kata seorang temanku.

Saudara sepupuku mengSMSku, dan menyampaikan kalau orang itu terus mencariku. Menanyakan kabar. Dan sepupuku itu bilang sepertinya orang itu suka padaku.

"Ini tipe ikhwan jadi-jadian mba. Bukan tipe aku banget."

"Jangan gitu Ibah. Dia baik kok."

Aku masih tidak mau mendengarkannya. Aku tidak tertarik dengan laki-laki seperti itu. Sama sekali.

Buatku, tipe ideal lelaki saat itu, yang paling utama adalah paham ilmu agama dengan baik dan benar. Ya minimal lulusan pesantren lah ya. Dan banyak lagi kriteria lainnya. Maka dia, teman kecilku itu, sudah langsung tercoret dari daftar lelaki yang aku sukai. Tidak masuk kriteria.

Temanku itu, ganteng sih.. Tapi ganteng aja ga cukup buatku. Ada banyak kriteria lainnya.

Aku sadari, saat itu aku begitu sombongnya. Sampai seenaknya menilai orang lain dengan penilaian 'lulusan pesantren atau bukan'. Seolah hanya orang lulusan pesantren saja yang baik, dan selainnya adalah buruk.

Maka aku terus menghindarinya. Sejauh mungkin.

Meski ternyata mulai ada sedikit perhatian dari hatiku, padanya. Hanya sedikit. Sedikit saja.

******** 

Dan aku sama sekali terlupa dengan dia. Seseorang yang berusaha sejak lama mencari perhatianku. Tapi selalu tidak pernah aku gubris. Aku tersibukkan dengan kegiatanku di Pesantren Tahfizh, selulusanya aku dari pesantren aliyahku tersebut.

Cita-cita terbesarku sejak lulus pesantren tahfizh dan mendekat dengan al-Qur'an masih sama: menjadi hamba yang mencintai dan dicintai Allah.

Ujian pemvalidasian kata-kataku sendiri ini begitu terasa dalam jejak kehidupanku.

Dimulai dengan saat aku merasakan sesuatu  yang berbeda pada seseorang, dia kakak kelasku di Pesantren tersebut.

Aku selalu berusaha lari dari memikirkannya. Tapi semakin lari aku semakin tidak bisa pergi.
Tak disangka, seseorang yang aku sukai ternyata juga menyukaiku... Meski akhirnya jarak  yang memang tidak pernah mendekat, karena terbatasi dinding pesantren, semakin jauh memisahkan. Dia kembali ke kampung halamannya nun jauh di sebrang pulau sana.

Dan ini semakin berat buatku.

"Kalau kau katakan, bagaimana dengan prinsipmu?"

"Tapi ini cinta. Cinta ini murni."

"Kalau dia serius mencintai, harusnya dia menikahi bukan? Bukannya malah pergi begitu saja tanpa kejelasan apapun? Dia hanya bohong saja."

"Hah! Kemurnian cinta tidak semudah itu bisa kau lihat dan kau nilai. Butuh waktu lama. Kasihan sekali kau ini."

Pertentangan batin itu lagi...

Tapi aku terus berusaha mematikannya.. Aku memang menolak kehadiran rasa cinta. Karena buatku, tidak ada kesejatian cinta sebelum pernikahan. TIDAK ADA! Maka aku pernah pula mengalami masa-masa berulang kali mematikan rasa. Meski bukannya habis justru rasa tersebut semakin dalam.

Maka pelarianku ke Allah. Syukurlah ke Allah, tidak kepada selainNya. Belajar untuk benar lebih mencintai Allah setelah kejadian itu. Benar-benar terus berusaha membuktikan kata-kataku sendiri, tentang keinginan mencintai dan dicintai Allah. Ternyata benar ujian itu ada. Begitu lulus dari yang satu maka akan datang lagi yang selanjutnya, dengan tingkatan yang lebih berat dari sebelumnya.

Dan di saat itulah tawaran dari Abi datang, tawaran yang telah aku ceritakan sebelumnya. Dan kini sudah menjadi takdir yang aku jalani.

Ada sesuatu yang belum aku ceritakan di awal, tentang sebuah cerita.. Aku menyebut ini percakapan teraneh sepanjang hidupku.

Di suatu malam, entah kenapa, aku teringat dia, teman kecil yang pernah menyampaikan sebuah niatan untuk serius denganku, dan  ternyata aku pun baru menyadari, ada rasa yang menyelinap masuk ke dalam hatiku sejak saat terakhir aku tak hiraukan semua komentar-komentar yang dia tinggalkan di medsos ku, dan aku tergerak untuk menginfokan kisahku pada dia, lewat sebuah chat BBM. Sebenarnya ini salah satu langkahku untuk menyampaikan padanya untuk menyelamatkanku yang sedang dalam kondisi ditawarkan menikah oleh abiku.  kita sebut saja ini sebuah 'kode'.

"Assalamu'alaikum." sapaku.

"Wa'alaikumussalaam wr. wb."

Setelah dia menjawab salamku, aku malah kebingungan bagaimana cara menyampaikan berita itu. Saat itu proses istikharahku, aku ingin tau bagaimana pendapatnya tentang kisahku. Aku akhirnya malah menyampaikan berita tersebut dengan analogi yang aku samakan dengan sebuah sebuah scene di dalam sebuah film. Kau pasti mengenal kisah itu: KCB 'Ketika Cinta Bertasbih'.

Malu sebenarnya ingin menanyakan itu, tapi kondisi memaksaku untuk menanyakannya. Maka dalam gemetar yang aku tahan-tahan, aku ketikkan pertanyaanku itu di layar HPku.

"Ada yang mau aku sampaikan, tapi aku bingung gimana cara nyampeinnya. Kamu jawab dulu deh pertanyaan aku ya.."

"Iya."

"Kamu tau film KCB?"

"Iya tau."

Aku menghela nafas, memberanikan diri menyampaikan pertanyaanku, "Di film itu kan ada kisah tentang Fadil dan Tiara. Kamu inget ga? Yang mau aku tanyain, kalau kamu jadi Fadil, saat Tiara minta Fadil dateng buat ngelamar dia, kan Fadil ga mau tuh karena merasa ga jauh lebih baik dari ustadz Zulkifli. Nah kalau... Ini kalau aja.. Kalau kamu jadi Fadil, apa yang bakal kamu lakuin?"

Lama ga ada jawaban dari teman kecilku itu. Aku menangkap, sepertinya dia tau maksud aku tanyakan pertanyaan tersebut. Analogi yang aku tanyakan, dia tau maksudnya. Kalau nggak, mungkin ga akan selama itu dia jawab pesanku.

Sampai akhirnya masuk sebuah pesan balasan darinya, "Kalau aku jadi Fadil, aku akan persilahkan  dan aku ikhlaskan orang yang jauh lebih siap itu untuk maju buat Tiara."

Aku ingat rasa hatiku saat itu, antara gregetan, ingin marah sekaligus malu dan tidak bisa apa-apa. Yang keluar hanya tangis.

Aku jawab lagi pesannya.

"Oh gitu... Ini pertanyaan kalau lagi ya.. Kalau... Kalau ternyata suatu saat Allah pertemukan lagi Fadil sama Tiara, kira-kira Fadil bakal mau datang ga ya buat Tiara?"

"Dengan semua kelebihan dan kekurangannya, kalau suatu saat Allah pertemukan lagi, aku rasa Fadil akan datang buat Tiara."

Aku tersentak dengan jawabannya. Lama aku tidak membalas pesannya. Dan masuk lagi sebuah pesan darinya, mungkin dengan maksud mencairkan suasana...

"Tapi sayangnya film KCB udah cuma sampai bagian dua aja. Kecuali ada KCB 3."

Aku tidak menjawab lagi. Hanya salam terakhir yang aku kirimkan.

Aku menangkap sesuatu yang berbeda dari dirinya, saat itu. Dia bukan lagi seorang anak lelaki yang sinis dan galak saat kecil dulu dan dia bukan pula seorang 'ikhwan jadi-jadian' yang suka mengejar sesuatu yang diinginkan dengan sangat menggebu. Ada kedewasaan yang tampak dalam kata-katanya, dalam pesan tersirat yang dia sampaikan lewat pesan terakhirnya di percakapan BBM tersebut.

Dan percakapan malam itu sudah cukup jadi jawabanku, bahwa dia mengikhlaskanku berproses dengan yang lain. Maka tidak perlu aku jelaskan analogiku tadi secara langsung padanya. Semua cukup sampai di situ saja.

Dan entah apa yang dia rasakan setelah aku bertanya hal aneh tersebut malam itu. Mungkin kecewa, mungkin biasa saja, mungkin juga ada harapan, entahlah... Aku tidak bisa menebaknya.

Kuputuskan, kisahku dengannya selesai di sana. Cukup.

Meski ada sedikit kecewa, tapi, aku menenangkan hatiku, Allah tak pernah salah menentukan takdir. Jodoh dan rizqi adalah hal yang telah Allah aturkan jauh sejak sebelum aku hadir di dunia ini. Maka aku kembali bertanya pada Allah tentang apa yang semestinya aku lakukan untuk hidupku selanjutnya.

Mungkin langit, malam itu, sedang memilin sebuah kisah yang tidak pernah kami tau satu sama lainnya. Sebuah kisah perjalanan cinta yang tidak pernah terpikirkan.
Bukan cinta yang tersandar pada dua hati yang saling mencintai dua arah. Tapi cinta yang tersandarkan dengan kokoh pada Pencipta Cinta. Menjadi lebih bijak dalam memaknai tiap getarannya, lewat tempaanNya di panggung kehidupan yang harus kami lakoni masing-masingnya.

Maka kisah istikharahku terus berlanjut sampai yang harus terjadi maka terjadilah.

Memilih apa yang Allah pilihkan, menikahi seseorang yang Allah pilihkan, maka berarti menghapus segala cinta yang tidak seharusnya. Itu yang aku rasakan. Semua cinta yang aku rasakan sebelum pernikahan hanya menjadi sebuah dongeng yang menggelikan diriku sendiri. Mengapa aku bisa sampai menangis-nangis dulu ya saat melewati itu semua? Kalau dulu aku tau bahwa kehidupan pernikahan itu serumit ini.. Apalagi pada kisah pernikahanku yang tidak terduga malah seperti ini, maka mungkin aku akan memilih untuk tidak pernah bermain-main dengan rasa.

Tapi begitulah, namanya rasa kita tidak bisa mengerti kapan awal mula ia hadir. Hanya tetiba saja terasa.. Dan tantangan selanjutnya adalah mengalahkannya, ah, atau pilihan kata yang lebih tepat adalah menerimanya, untuk dijadikan pembelajaran bagi hati, Allah menghadirkan rasa pasti karena Dia ingin kita belajar darinya bukan? Agar semakin bijak hati kita.

Menikah dan menjadi seorang istri nomor kesekian, sepanjang yang aku rasakan adalah: kebingungan untuk bisa memutuskan jatuh cinta pada suami sendiri.

Sebagai wanita, pernikahan semacam ini meski banyak lukanya, rasa itu memang hadir. Tapi setiap rasa itu hadir, hati selalu cepat-cepat meminta  rasa itu pergi, dan meminta dihapuskan saja rasa cinta itu karena rasa bersalah yang juga hadir setiap ingat dengan istri pertamanya. Aku tau diri. Sangat tau diri.

Maka cinta sebegitu cepat berubah. Kadang ia menjadi rasa bersalah. Kadang menjelma rasa benci. Ia berubah lagi menjadi tangis. Ia berubah-ubah sekehandak keadaan yang dilalui saja.

Kalau dalam kisahku, metamorfosa  rasa akhirnya adalah rasa tidak peduli. Kepergiannya yang tanpa kabar, sanggup mengubah segala macam rasa itu menjadi gumpalan rasa yang membingungkan. Berbulan-bulan tanpa kabar? Itu sanggup meledakkan gumpalan rasaku tersebut kapanpun ia disulut.

********

Sampai takdir kembali membawaku bertemu seseorang dari masa laluku, di suatu hari, saat aku hamil muda sesudah terjadi pengusiran dari pesantrenku.

"Assalamu'alaikum. Permisi." sapaku saat lewat depan rumahnya, dia sedang membaca sebuah buku tebal di halaman rumahnya, sekilas kulihat judulnya, itu adalah Kitab Al-Hikam. Aku tau buku itu. Sebuah karya dari Ibnu Atha'illah.

Seperti kaget, mendengar suaraku, dia mendadak terlihat begitu kaku dan salah tingkah. Entah apa yang ada dalam pikirannya.

"Wa'alaikumussalaam wa rahmatullah wa barakatuh" jawabnya pelan hampir tak terdengar. Dengan pandangan yang tertunduk. Tak mau melihatku.

Aku adalah istri dari seseorang. Fokusku bukan padanya. Sama sekali bukan. Dia masih tidak terlihat di mataku. Gerakan kakunya saat menjawab salamku tadi tidak masuk kamus terjemahan bahasa tubuh yang biasanya berfungsi dengan baik di hati dan pikiranku. Tidak diterjemahkan karena memang tidak dipikirkan.

Yang aku pikirkan saat itu hanya kemelut yang sedang memeluk erat hari-hariku. SMS-SMS teror yang belum juga mau berhenti menerorku yang dalam kondisi hamil begitu. Suami yang peranannya hampir tidak ada. Tatapan nyinyir orang-orang yang tidak tau kisahku.

Jika ditanya bagaimana rasanya ditinggal menikah oleh orang yang dicintai, lalu orang tersebut justru menderita karena pernikahannya, maka tanyalah teman kecilku itu.

Sedih yang ikut terasa menular, sekaligus pula rasa 'aku bukan siapa-siapa'. Ada rasa ingin membantu, tapi itu sudah bukan ranahnya lagi. Rasa yang campur aduk menjadi satu.. Dia paham rasanya.

Ok kembali pada aku dan kisahku..

SMS-SMS teror dan jahat yang rajin sekali masuk ke HPku, yang entah kapan akan berhentinya.

Ditambah kabar adik terkecilku yang sedang sakit di pesantrennya. Pikiranku semakin bercabang-cabang rasanya. Sulit sekali menghadirkan raga dan pikiranku di satu waktu yang sama saat itu.

Terlalu banyak pikiran. Terlalu beban.. Terlalu rumit.. Dan terlalu membingungkan.

***********

"Iya ka Aryani, adik aku sakit di Pesantren. Tapi aku sama keluarga lagi ga ada uang buat jemput dia ke sana. Gimana ya? Sekarang aja numpang di rumah saudara." Kataku sambil menahan mual sesudah menelan sesendok soto betawi yang ditraktir ka Aryani, kawan baruku di Jakarta.

"Kasihan dong adik kamu. Terus gimana dia?" balasnya sambil menyeruput es jeruk yang tinggal setengah gelas.

Aku menghela nafas, memainkan sendok makanku, "Ya sementara ini dia bakal tetap di Pesantrennya. Dirawat di sana aja."

"Sakit apa sih?"

"Cacar gitu deh ka. Udah parah kayaknya. Ka udah yuk, pulang. Aku mual nih. Ga bisa makan lagi. Lumayan udah tiga sendok tadi."

Kakak itu mengantarku pulang ke rumah saudaraku. Di masa-masa beratku, dia salah satu yang menguatkan. Saat aku kehilangan sahabat-sahabat di pesantren ku, ada dia. Aku bersyukur.

Dan rupanya saat malam, sekitar jam satu dini hari, dia menjemputku ke rumah, mengatakan bahwa mobil sudah siap untuk menjemput adikku yang sedang sakit di Pesantrennya.

Aku terbengong, "Loh kak? Kok tiba-tiba gini? Jadi ngerepotin. Aku kan cuma cerita aja. Ga ada niatan apa-apa."

Buatku ini agak aneh. Aku baru mengenalnya. Tapi mengapa dia sebaik itu padaku? Pesantren tempat adikku itu jauh dari Jakarta, butuh waktu yang tidak sebentar untuk ke sana. Pasti ongkosnya juga akan banyak. Kenapa dia sampai sebegitunya membantu aku yang baru di kenalnya ini?

"Gapapa, saudara aku punya mobil dan ga dipakai. Alhamdulillah dapat supir  yang bisa nyupirin bolak-balik ke Jakarta lagi. Gapapa kok. Yuk siap-siap jalan."

"Ih kak.. Aku ga punya ongkos sama sekali loh buat bensin dan bayar supirnya itu." aku masih enggan.

"Ga usah dipikirin, itu dari aku aja." Paksanya.

Aku masih berusaha menolak, dia langsung bicara pada Umi, karena akhirnya Umi mau, terpaksalah kami jalan malam itu juga menjemput adikku.

Sepulang dari sana, saat aku sudah kembali ke Jakarta, aku menemukan sebuah amplop berisi uang di dalam tas ku.. Jumlahnya  lumayan banyak.

Aku kaget, ini uang siapa ya? Aku kan lagi ga pegang uang sepeserpun.

"Kak, ini uang kakak bukan di dalam tas aku? Ada dalam amplop putih." segera aku menelfon kakak itu.

"Bukan. Itu titipan buat kamu. Dari Allah."

Lumer lah hati aku saat itu. Itu saat aku paling butuh pertolongan. Aku tidak sampaikan ke siapapun soal aku butuh pertolongan. Tapi Allah, memang paling sempurna rekayasaNya. Itu kejadian berkesan yang aku alami.

Buatku, kakak itu menjadi seperti malaikat. Meski bantuannya tidak seberapa banyak, tapi sangat tepat sekali. Tepat saat aku butuh. Tepat saat aku bingung. Tepat. Sangat tepat.

Maka doaku mengalir dalam tangis yang aku tahan-tahan. Untuk dia. Seorang kakak perempuan yang baru aku kenali. Semoga keberkahan selalu menaungi hidupnya.

"Terima kasih... Aku sampai ga tau harus ngomong apa lagi. Ini berharga banget buat aku kak.. Makasih."

Dan kisah tentang kebaikan hati ini ternyata mempunyai  sebuah rahasia besar yang baru terbuka di beberapa waktu kemudian...

**********

Kembali melangkah, dalam beban batin yang begitu beratnya, memang tidak mudah. Semua baik sangka yang coba ditanamkan diawal, perlahan terkikis saat melewatinya. Duri demi durinya sanggup sekali memotong perlahan tapi pasti semua akar baik sangka tersebut.

Dalam lelah yang semakin menggelayuti sendi, aku terus berusaha melangkah, dalam baik sangka pada orang lain, pada keadaan, dan pada Allah, yang telah koyak, hancur. Aku tidak percaya siapapun. Aku benci semua hal, termasuk diriku sendiri.

Maka saat ternyata aku menyadari aku mulai kembali terjebak nostalgia rasa masa lalu, aku malah semakin membenci diriku.

"Kau ini seorang istri! Kau tidak boleh bersikap seperti ini!" batinku berteriak.

"Tapi aku ini disakiti, aku ini dizhalimi, aku ini tidak dianggap, aku ini diterakhirkan. Apa aku tidak boleh merasakan bahagia? Apa aku memang tidak pantas untuk bahagia? Dia yang seharusnya menjadi suamiku telah meninggalkan aku pergi begitu saja. Dia sudah bawa aku dan keluarga aku terseret keluar dari tempat kami bertahan selama ini, sampai terseret-seret sekali langkah kami, kesempitan hidup ini, bukankah dia yang melakukannya? Bukankah dia penyebab utamanya? Saat semua kesulitan ini mendera kami, saat kami begitu sulit bahkan untuk sesuap nasipun tidak ada, DIA ADA DI MANA?"

Bolehkah aku membenci dia yang begitu jahat?

Dan berita kesakitannya lalu datang, tentang bahwa dia anfal, tidak sadarkan diri. Sampai berbulan lamanya.

Aku yang terjatuh hanya semakin terpuruk mendengarnya. Aku lebih suka memilih aku sudah sendiri daripada menganggap aku masih istri dari seseorang. Aku lebih senang jika dia pergi saja dari hidupku dan tidak usah kembali lagi. Tapi berita tentang sakitnya membuat egoku hatus pergi. Mau tak mau. Semua sakit itu harus pergi menjauh...

Biar aku yang mengalah lagi pada akhirnya. Aku akan mencarinya. Berbulan lamanya aku hubungi dia, meminta kejelasan statusku yang masih digantungnya seenak hati. Hpnya tidak pernah aktif. Sekalinya aktif, tidak ada balasan.

Selalu begitu.

Aku mencari tau alamat rumahnya. Dan seperti sebuah drama dalam sinetron yang menyedihkan, aku menggendong putriku yang saat itu berusia sekita enam bulan, mendatangi rumahnya. Bukan untuk meneror. Aku hanya ingin penyelesaian dari semua ini. Aku akan mundur dari pernikahan ini, dengan senang hati. Itu jauh lebih baik bagiku daripada statusku yang digantung.

Tapi saat aku datangi rumahnya, berdiri di depan gerbang rumah besarnya yang berdiri kokoh dan terkesan angkuh bagiku dan bayi kecilku... Bukan mudah sampai akhirnya aku berani ada di sana. Ini keputusanku sendiri. Jika dulu aku manut saja dengan apa yang Abi pilihkan, maka tidak saat ini, aku harus menyekesaikannya sendiri. Taburan dzikir meminta ditemani Allah aku tabuh dalam hatiku.

"Temani aku ya Allah.. Aku butuh kejelasan langsung dari istrinya. Dari dia. Aku siap dengan segala konsekuensinya. Apapun itu, akan aku hadapi. Kau tau aku takut, tapi tolong temani aku." gemetar rasa takut itu sedikit reda.

Gerbang hanya tertutup. Tidak terbuka. Aku dan bayiku yang di siang-siang panas berdiri di luar gerbang hanya mendapat kesia-siaan di sana.

"Setidaknya kau sudah berusaha memperbaiki keadaan. Kalau ternyata ga ada, biarkan.." Aku bicara pada diriku sendiri.

Aku tau Rumah Sakit tempat dia dirawat dari seorang temannya. Salah satu saksi nikah saat akad itu dilaksanakan.

Maka dalam gemetar yang tak kunjung berhenti. Dalam langkah yang terseret berat. Dalam rasa ingin kembali saja yang menarik-narik langkahku. Aku ditemani seorang temanku melangkah ke RS tersebut.

Dalam perjalanan sore. RS nya dekat dengan tempatku bekerja. Hanya bersebrangan sedikit. Bising kendaraan membuatku tenggelam dalam diam dan raut wajah yang tak menentu.

Temanku menepuk pundakku. Meyakinkanku untuk berani menghadapi apapun yang akan aku temui di RS nanti.

"Semua akan baik-baik aja. Ga seburuk yang kamu bayangkan." Katanya sambil tersenyum.

Hatiku masih belum baik-baik saja. Tapi kaki kami masih terus melangkah ke sana.

Dalam kemelut pikiranku, aku mengira-ngira apa yang akan terjadi jika aku harus bertemu dengannya di depan keluarganya. Aku membayangkan kemungkinan terburuk. Menghitung-hitung persiapan kemampuan diriku dan hatiku bertahan.

Ternyata RS sudah di depan mataku. Kakiku kembali kaku di depan sana. Diam saja. Enggan melangkah. Mempertimbangkan hatiku yang tak begitu berani masuk. Aku pengecut, aku akui itu. Tapi aku harus tau bagaimana kondisinya. Aku harus meminta keputusan atas statusku yang digantungnya berbulan-bulan. Menyadarkannya, bahwa aku ini manusia, maka perlakukanlah aku sebagai manusia. Jangan seenaknya seperti sekarang ini.

Bahuku didorong oleh temanku.

"Yuk masuk! Bismillah. Jangan mundur.. Sudah sampai sini."

Dan begitu aku masuk, bau rumah sakit menyergap hidungku. Kepalaku yang sudah penuh dengan segala macam pikiran tentang berbagai kemungkinan terasa semakin berat.

Kepalaku mulai berdenyut-denyut. Gemetaran di tubuhku semakin kentara. Panas dingin. Jangan tanya bagaimana rasanya..

"Tangan kamu dingin banget." kata temanku.

"Semoga aku ga pingsan mba."

Kami menuju ke loket penjaga. Aku bertanya pada salah satu staff di sana,
"Apakah Mr.S dirawat di RS ini? Ini keluarganya. Mau menjenguk."

"Sebentar, kami cek dulu ya datanya."

Sambil menunggu, aku dan temanku hanya saling lirik. Temanku memberi kode dengan dengan genggaman tangannya di tanganku. "Kuatlah!" kurang lebih seperti itu maksud genggamannya.

Aku memperhatikan sekeliling. Aroma rumah sakit masih kuat di hidungku. Wajah-wajah kuyu tampak di sana. Aku menyadari bahwa sehat ternyata adalah nikmat yang ssering sekali disia-siakan.

"Maaf bu, pasien atas nama Mr. S sudah pulang ke rumahnya. Baru sekitar satu jam yang lalu."

Nafasku yang semula tak menentu mulai terasa lega. Ah, aku menghembuskan nafas lega. Sendi yang semula lunglai mulai kembali bertenaga.

"Ah gitu ya mba. Ok. Terimakasih."

Dan kami langsung pergi meninggalkan rumah sakit itu. Episode drama kusudahi di sana.

Ternyata benar dia sakit. Meski entah sakitnya apa. Dia tidak pernah mengabariku sama sekali.

Jadi sekarang apa?

Aku hanya menunggu dan terus menunggu. Entah kapan waktu menunggu ini akan selesai. Aku sudah berusaha mencarinya, menghubunginya. Dan semua nihil.

Jadi kini, biarkan keputusan Allah yang akan berjalan untukku.

*********

Aku kembali menjalani hari. Masih dalam status yang digantung. Masih dalam semua ketidakjelasan. Meninggalkan anak di rumah. Dan aku bekerja tak kenal waktu. Berangkat pagi, pulang malam. Berangkat pagi, kadang sampai harus menginap di tempat teman karena sudah kemalaman.

Jika ada teman yang mengatakan "Bahaya, pulang malam sendirian. Kamu kan perempuan."

Aku hanya tersenyum kecut, kecut sekali. Yang aku alami sudah lebih berbahaya dari pada sekedar pulang malam sendirian. Ini tak seberapa bahayanya.

Dan hari terus saja berlalu seperti itu. Harapan untuk bisa bahagia masih begitu jauh dari kenyataan. Aku masih sering berpikir, "Mungkin aku diciptakan memang tidak pantas untuk merasakan bahagia ya.."

Aku masih menolak kembali dekat dengan Al-Qur'an. Aku masih menolak untuk berbaik sangka pada semua hal. Aku masih menolak diriku sendiri. Aku masih membenci semua hal.

Semakin aku keras kepala, aku sadari kehidupan semakin kuat mencengkramkan kuku-kuku tajamnya padaku dan hatiku. Menyebabkan luka hanya semakin luka. Tanpa obat. Tanpa penyembuh

Senyum yang kupasang di wajahku hanya senyum palsu.

Hubunganku dengan orang-orang di sekitarku, hanya sekedarnya, tidak sampai ke hati.

Aku kehilangan banyak makna di hari-hariku.

Aku mayat hidup yang masih berjalan dan bekerja.

Sampai suatu hari aku dilanda kelelahan yang sangat. Lelah lahir dan batin. Lelah yang begitu mendalam. Lelah yang memaksaku untuk menyerah.

Sekali waktu dalam hidupmu, cobalah singkirkan kekeraskepalaanmu dan menyerahlah. Menyerahlah, serahkan semua kesombonganmu yang bersikap seolah mampu padahal kau tak mampu apa-apa sedikitpun. Menyerahlah.. Pada suatu waktu di hidupmu, itu sesuatu yang paling kau butuhkan.

Dan pagi itu, ba'da subuh, aku menyerah. Aku lambaikan tanganku tanda menyerah, kalah. Aku tidak sanggup lagi bertahan jika harus selalu meniadakan Allah di tiap langkahku. Aku tidak sanggup lagi sok kuat sendiri dengan terus menyingkirkan Allah dalam hari-hariku.

"Pagi ini ya Allah... Kau tau aku lelah. Sangat kelelahan. Lahir batin. Atas semua kejadian yang menimpaku ini. Aku sempat menyingkirkan dan meniadakan perananMu dalam menjalani hari-hariku karena aku kecewa padaMu. Aku kecewa saat aku memilihMu justru aku malah Kau sakiti. Aku kecewa ya Allah."

"Tapi ternyata lebih mengecewakan lagi jika hidup yang aku jalani tanpaMu. Aku kehilangan arah. Aku tidak punya tenpat bersandar. Jika sebelumnya arahku adalah Kau, dan tempat bersandarku adalah Kau. Maka saat aku menyingkirkanmu dan lari dariMu...justru aku kehilangan arah dan tempat sandaranku. Benar ya Allah..ternyata arahku dan tempat bersandar juga bergantungku hanya Engkau ya Allah..hanya Engkau." tangisku meledak tak bisa lagi ditahan-tahan.

"Boleh aku kembali ya Allah? Kembali padaMu. Bersepakat denganMu sebelum apapun. Meminta arahanMu di setiap langkahku dan kesemuaan hidupku."

"Aku dan hidupku sekarang sudah kacau balau ya Allah. Aku berusaha memperbaikinya dengan kekuatanku sendiri. Ternyata aku tidak bisa. Semua hanya semakin kacau. Boleh aku bertanya padaMu ya Allah.. Sampai kapan semua ini? Sampai kapan harus begini? Aku ga kuat ya Allah. Ga sanggup lagi batin aku menahan semua hal yang Kau berikan ini. Sudah cukup ya Allah.. Aku ga kuat lagi."

Doa demi doa terlantun. Mewakili segala kata menyerah sepenuhnya padaNya. Ba'da subuh pagi itu,  aku berdoa menyerah padaNya. Dan luap  emosi itu keluar bersama muntah yang entah karena apa. Muntah teraneh sepanjang hidupku. Karena apa hubungannya beban batin yang kuserahkan pada Allah lalu aku malah muntah luar biasa setelahnya? Entahlah.. Aku tidak mengerti.

Yang kurasakan setelah berdoa habis-habisan dan menyerah pol-polan pada Allah, pagi itu terasa lebih lega dalan pandangan hati dan mataku. Aku kembali menemukan sesuatu yang hilang dari diriku.

Aku bisa kembali melihat dunia dengan lebih terang.

Percaya bahwa Allah adalah sumber mula segala sesuatu sekaligus akhir dari apapun, meski letaknya hanya di hati, begitu kepercayaan itu benar melekat dan kau jadikan sebuah keyakinan yang menjadi nyata.. Maka kau punya sumber energi yang tidak akan pernah terputus. Hidupmu tidak akan sama lagi.

Hidup yang lebih hidup, dengan apapun tantangan yang ada di dalamnya. Itu aku rasakan menjadi sumber kekuatanku melangkah bangkit lagi.

Bahagia adalah pilihan hatimu. Hati yang mengenal Allah, akan lebih bahagia dari yang lainnya.

Perjalanan ke kantor setelah doa tersebut menjadi lebih tenang dan lega, karena hati yang terasa lebih lapang dan luas dari biasanya. Melihat orang lain yang berpapasan denganku, bawaannya selalu ingin tersenyum dan mendoakan kebaikan. Aku seperti orang yang sedang jatuh cinta. Bahagia yang seperti mengaliri darahku pagi itu terasa asing, tapi menyenangkan.

Aku menemukan bahwa dalam kemelut hidupku yang sedemikian, ternyata aku hanya benar-benar butuh Allah saja untuk akhirnya bisa bahagia tanpa syarat.

Duduk di ruangan kantor itu, dengan cara melihat yang berbeda dari sebelumnya. Mendengar dengan cara yang berbeda. Dan merasa juga memaknai dengan cara yang berbeda.

Melihat orang yang berbicara. Saling menimpali. Memandang wajah-wajah teman kantorku. Membuat syukur dalam hatiku seperti mau meledak pagi itu.

Bukankah ini semua anugerah?

Bertemu dengan orang-orang yang baik. Semua sehat-sehat saja. Masih bisa bercengkrama dengan teman. Masih bisa tersenyum, bercerita, bernafas, berbagi. Bukankah ini semua juga adalah bahagia?

Aku ke mana saja selama ini?

Maka benar sebelumnya aku telah dibutakan oleh kesedihanku sendiri. Maka sungguh aku sebelumnya telah menjadi tuli karena emosi negatifku sendiri.

Semua karunia ini tidak terlihat, tidak terasa, tidak kudengar sebelumnya.

Air mata kembali mengambang di pelupuk mataku. Ada syukur yang semakin membesar di dalam hatiku. Syukur yang membuatku merinding luar biasa.

Kulihat jam tanganku, pukul 10 pagi kurang beberapa menit. Aku terburu dan bergegas menuju mushalla kantor. Masih sempat shalat dhuha.

Aku berwudhu dalam tangis. Setiap takbir kali itu terasa begitu berbeda. Air mata berderai-derai turun. Aku paham makna ikhlas pagi itu. Saat itu.

Dalam doa selepas shalat dhuha aku sampaikan pada Allah-ku "Pagi ini ya Allah, aku sungguh sangat bersyukur atas semua yang telah Kau berikan untukku. Pagi ini ya Allah, aku tidak akan meminta apapun padaMu. Pagi ini aku hanya ingin menyampaikan rasa syukur yang melapangkan dadaku. Yang membuat mataku, telingaku, hatiku semakin peka dengan semua karunia yang Kau berikan dalam hari-hariku tapi selalu aku ingkari. Sungguh ya Allah..pagi ini aku hanya ingin bersyukur. Kau sungguh Maha dan Kau lah yang terbaik yang aku punya."

"Setelah ini.. Mau kau jadikan seperti apapun hidupku, aku ikut ya Allah.. Karena apapun yang Kau takdirkan.. Meski itu terasa sakit dan mengecewakan di diriku.. Hakikatnya Kau hanya sedang mempersiapkan kebaikan yang masih belum kuketahui saat ini. Hari ini dan seterusnya aku milikMu ya Allah. Kau jadikan seperti apapun.. Aku ikut. Aku milikMu."

Lega... Lapang... Itu yang kurasakan dalam hatiku. Tidak pernah selega dan selapang itu sebelumnya.

Aku kembali ke ruangan kantorku, dan ada sebuah pesan masuk dari seorang guru tahfizh kenalan Umiku. Aku mengenalnya hanya sebentar. Tapi ada sebuah janji yang dia ucapkan padaku saat terakhir bertemu.

"Assalamu'alaikum Nusaibah. Saya boleh telfon? Ada yang ingin saya tanyakan ke kamu."

Aku tidak tau, ternyata telfon pagi itu adalah sebuah skenario baru dalam tahapan kehidupanku.. Membuatku terkaget-kaget dan kebingungan.. Hingga lemas dan lunglai kembali menguasai tubuhku. Dalam hati aku bertanya lagi padaNya..

"Apa lagi ini ya Allah?" tenggorokanku tercekat. Sakit...

_____________________
To... Be... Continue...
_____________________

#PERJALANANPEMBUKTIANCINTA
#PART11
#SEBUAHKISAHDARIMASALALU

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DARI ANAKMU YANG KINI DEWASA

Perjalanan Pembuktian Cinta #Part1

sampe sebesar ini?