Perjalanan Pembuktian Cinta #Part13

#PERJALANANPEMBUKTIANCINTA
#PART13 : LUKA BARU

Supaya utuh pemahamannya atas kisah ini, baca pun jangan setengah-setengah, bacalah dari awal. 😊👍

Part 1 : http://bit.ly/2sLFoml
Part 2 : http://bit.ly/2twRaOs
Part 3 : http://bit.ly/2szWAqS
Part 4 : http://bit.ly/2uVf8T0
Part 5 : http://bit.ly/2sVdvbN
Part 6 : http://bit.ly/2v9GW6B
Part 7 : http://bit.ly/2t65QYh
Part 8 : http://bit.ly/2tUZXKs
Part 9 : http://bit.ly/2tXvuLZ
Part 10 : http://bit.ly/2uMmXyt
Part 11 : http://bit.ly/2tN7XQP
Part 12 : http://bit.ly/2uE7DzF

**********

Meminta untuk selalu dituntun Allah. Adalah siap dengan segala konsekuensinya.

Belajar bersabar dalam kesempitan. Belajar bersyukur atas semua hal, di mulai dari hal terkecil.

Daun-daun bergoyangan di atas pohon, dibelai-belai angin yang belakangan sedang kencang. Sore yang sejuk dengan udara yang tidak panas dan tidak juga dingin. Langit sedikit mendung tertutupi kabut tipis. Hujan mulai turun satu-satu. Membuat aroma tanah menyebar di udara. Petrichor. Aroma khas yang akan selalu mampu membangkitkan kenangan.

Mataku memandangi rintik hujan yang semakin menderas. Percikannya sudah mulai membasahi lantai depan rumahku.

Bersama rintik hujan kali itu ada sebuah wajah yang bayangannya rupanya bertandang mampir ke hati.

Jengah, aku gelengkan kepalaku beberapa kali. Berusaha menghilangkan bayangan itu.

"Tidak boleh! Ini tidak benar." batinku.

Petrichor membawaku pada ingatan saat aku akan melahirkan Zahrah. Anakku.

Sore itu, sebelum malamnya aku mulai mengalami mulas menjelang persalinan, ada sebuah pesan messenger masuk. Dari teman kecilku. Yang pernah aku ceritakan sebelumnya.

"Assalamu'alaikum. Mohon maaf sebelumnya sudah lama tidak menyapa. Bukan berniat memutuskan silaturahim, bukan pula berniat mengganggu kehidupan kamu sekarang. Selama ini, masalahnya ada di saya sendiri. Ternyata belajar ikhlas itu butuh waktu. Sangat butuh waktu. Semoga dimaafkan ya. Sekalian mau buat pengakuan. Sebenarnya, waktu itu yang bantu siapkan mobil dan sebagainya buat menjemput adik kamu yang sakit dari pesantrennya itu saya. Mohon maaf kalau kurang berkenan. Cuma rasanya ga tega sekali dengar kabar itu. Ingin sekali bantu. Akhirnya pakai cara itu.
Nanti kalau sudah melahirkan, tolong kabari saya ya. Jangan sampai ga dikabari kayak pas pernikahan kemarin.
Semoga anak yang ada dalam kandungan kamu jadi anak yang membawa banyak keberkahan buat kamu dan keluarga."

Setelah membaca pesan aku hanya tertegun. Pantas saja. Berarti benar perkiraanku waktu itu bahwa ada yang aneh.

Itu satu hal pertama.

Itu hal baik pertama yang aku terima darinya. Kau tau, kebaikan hati yang tulus selalu punya cara untuk merebut hati. Minimal itu akan mampu membuatmu merasa istimewa.

Aku menjawab pesannya.

"Waalaikumussalam. Terimakasih. Alhamdulillah, bantuannya sangat berarti. Waktu itu memang sempat merasa ada yang aneh. Dan akhirnya terjawab sekarang.
Mohon maaf juga waktu pas pernikahan ga ngabarin. Complicated sekali. Insyaallah nanti pas udah lahiran dikabarin.
Sekali lagi terimakasih bantuannya dan doanya ya. Allah yang balas dengan kebaikan yang lebih banyak lagi."

Pesan di sore itu menyelesaikan semua yang terasa menggangguku. Sekarang aku paham kenapa dia terlihat begitu kaku dan salah tingkah saat aku lewat di depan rumahnya.

Ya.. Dia sedang belajar kata ikhlas dalam kehidupannya.

Aku terlalu sibuk dengan kehidupanku dan perasaanku sendiri, tidak sempat memikirkan perasaan orang lain. Apalah lagi orang yang bukan siapa-siapa.

Percikan air hujan mengenai wajahku. Menyadarkanku dari ingatanku.

Hujan kali ini, rasa hatiku ingin sekali berdoa panjang. Menyampaikan getaran aneh yang aku rasakan. Sambil kupandangi wajah anakku, aku mengelus kepalanya dan membatinkan percakapan dan doa batinku lagi..

"Perjalanan hidup kita setelah ini, entah akan jadi seperti apa dan bagaimana Nak. Tapi semoga Allah selalu menuntun kita melalui hari-hari kedepannya."

Hujan mulai mereda. Langit mulai mengelam. Adzan maghrib berkumandang.

Sambil menghela nafas panjang, aku bangun dari dudukku dan bergegas mengambil wudhu.

*******

Musibah yang bertubi. Perlu membuatmu sadar, ada yang perlu kau perbaiki dalam dirimu. Ada yang salah dan perlu segera kau muhasabahi dan membuatmu segera kembali.

Menjadi admin di lembaga training. Membuatku harus berangkat ke kantor di pagi hari dan pulang lagi ke rumah di sore atau bahkan malam hari.

Aku kehilangan banyak waktu dengan anakku. Tidak tau kapan pertama dia mulai merangkak. Tidak tau kapan pertama dia mulai duduk. Tidak tahu kapan pertama dia mulai berjalan.

Aku sudah mulai kembali menjaga Al-Qur'anku. Berusaha berinteraksi sebaik mungkin. Tapi tetap terasa ada yang kurang.

Rumah yang aku tempati di Depok sudah terjual. Kami sekeluarga harus pindah lagi. Dan entahlah, kami menempati sebuah rumah di pinggir kebun yang lebih pantas disebut hutan. Pohon-pohonnya tinggi. Kalau malam datang, jalan menuju rumah sempurna gelap tanpa penerangan. Menerabas ilalang dan tanah yang liat di alas kaki.

Penampakan rumah itu seperti akan segera rubuh. Aku sempat curiga, apa benar ini masih di sekitaran Depok. Terlihat sangat pelosok sekali dan agak kurang layak huni.

Entah kenapa Abi mengiyakan kami sekeluarga untuk tinggal di sana. Awal pindahan agak sulit beradaptasi. Langit-langit rumah seperti akan roboh. Tapi sebenarnya cukup kuat untuk bertahan sementara waktu sepertinya.

Tapi Umi memang ibu rumah tangga yang hebat. Rumah yang hampir roboh itu ditatanya sedemikian rupa menjadi nyaman untuk ditinggali. Tidak mewah, sederhana saja, tapi membuat kami betah di sana.

Aku masih harus bekerja. Bolak-balik Depok-Jakarta. Setiap berangkat sambil mencium tangan Umi selalu kusampaikan padanya, "Doain aku ya Mi, aku kerja, aku titip anak aku. Doakan semoga rizqinya berkah. Aku mau berangkatin Umi umroh." Aku mengatakannya sambil menahan gelegak hati. Menyembunyikan air mata yang hampir-hampir saja tumpah.

Dan Umi selalu menjawab dalam senyum yang meneduhkan, "Iya, Umi doain."

Sepanjang perjalanan, sambil mengulang hafalan Al-Qur'an kadang sambil merenung, berdoa seandainya suatu saat bisa membelikan Umi rumah yang layak huni. Semua doa-doa yang disampaikan meski kadang hanya selintas, aku yakin sekali, suatu saat yang entah kapan, akan mewujud, akan Allah kabulkan.

Sampai di suatu sore aku pulang ke rumah dan ternyata aku mendapati Umi sedang menangis. Saat aku tanya kenapa, Umi menceritakan sebuah kisah yang membuatku banyak berpikir. Ini tentang Abi.

Sebenarnya aku masih saja bingung dengan hal ini. Sering kali aku berdebat di dalam hatiku sendiri. Kekecewaan banyak mengajarkan hal baru. Tapi menerimanya benar butuh waktu. Sangat butuh waktu.

Apa yang membuat pernikahan yang lama dibina, seperempat abad, lalu bubar begitu saja? Akan sangat banyak faktor. Banyak sekali.

Aku di posisi anak tertua hanya mencoba memandang dari sisiku. Buatku, mungkin istilah broken home tidak akan terlalu banyak menggangguku. Aku sudah bisa berdiri sendiri. Aku hanya berpikir, bagaimana dengan adik-adikku yang masih kecil? Bagaimana Umi yang sudah mengabdikan dirinya pada keluarganya di sisa hidupnya sejak akad nikahnya dahulu kala sebelum aku ada?

Penat sekali. Otakku terlalu banyak berpikir. Sampai sakit typus kembali kambuh.

Mungkin Allah sedang memintaku istirahat sejenak. Merenungkan lagi perjalanan hidupku. Dan mengambil hikmah dari kejadian-kejadian yang tak habis-habis menderaku.

Saat sakit aku jadi lebih bisa tenang berpikir dan membangun komunikasi kembali dengan adik-adikku.

Dua orang adikku melanjutkan sekolah ke sebuah pesantren di Cianjur. Dan ini kabar gembiranya. Mereka berdua ini yang bertekad menjadi penjaga Al-Qur'an. Aku punya teman. Dan aku melihat benih-benih kebaikan dalam diri mereka. Aqidah yang mulai mengokoh di dalam hati mereka memancar. Aku senang. Dalam terpaan derita ini, mereka menjadi semakin dewasa.

Kami semua mendewasa, dalam rentetan kesedihan ini. Kisah yang menderaku, menjadi pelajaran bagi orang-orang disekitarku.

Tapi hikmah baik memang sesuka Allah saja ingin diberikanNya kepada siapa. Ada yang mampu menangkap hikmah dan menjadikannya sebagai akhlak diri. Ada pula yang sama sekali tidak mampu menangkapnya. Hikmah dari tiap kejadian terlepas dan terlewat begitu saja.

"Menurut kamu gimana?" tanyaku kepada adikku, Kholil.

"Ya gimana ya... Kalau emang sudah jadi pilihan mereka kita bisa apa? Mereka sudah dewasa. Pasti punya pertimbangan buat kebaikan diri mereka sendiri "

"Tapi apa harus ngorbanin anak? Aku ga habis pikir, Bro."

"Udahlah, kita yang paling besar, bantu kondisikan adik-adik. Bantu sebisa kita buat mereka bisa berdiri di kaki sendiri."

"Ya, ini ga boleh bikin kita jatuh. Bismillah, semoga Allah jagain terus."

Begitu sembuh dari sakit, aku memutuskan untuk mengulang muroja'ah hafalan Al-Qur'an ke Pesantren Tahfizhku. Meski aku pernah diusir dari sana. Aku berusaha tetap menjaga silaturahimku, dengan teman-teman yang masih ada di sana.

Aku kontak temanku yang bekerja di sana meminta izin untuk dibolehkan menjadi santri selama sebulan di sana. Mengulang hafalanku yang lama terbengkalai.

Setelah mendapat izin, aku berangkat dengan membawa serta Zahrah. Yang saat itu berusia satu setengah tahun.

Di dalam bis yang membawaku. Sambil memandangi wajah anakku yang tertidur dipangkuanku, aku kembali terbayang banyak hal.

Memutuskan off sebulan dari pekerjaanku, berarti tanpa pemasukan apapun. Sebelum berangkat aku menitipkan begitu banyak hal ke Allah, menitipkan rizqi untukku, anakku, keluargaku. Sebenarnya aku agak gentar melangkah. Tapi hati yang terpanggil kembali tidak bisa aku abaikan. Mungkin ini hal yang selalu terasa kurang di dalam diriku. Aku perlu kembali ke barisan penjaga Al-Qur'an. Aku perlu menjaga Al-Qur'an yang telah aku hafalkan. Ini amanahku yang lama aku lalaikan. Maka niat baik ini semoga Allah ridhai.

Semakin bis membawa kami mendekat dengan tujuan, semakin rasa ragu menguat. Panas dingin mulai terasa lagi.

"Bagaimana kalau kamu dan anakmu diusir lagi dari sana?"

"Kamu yakin kamu mau lanjutkan perjalanan kamu ke sana? Kamu ga takut sama apa yang akan orang lain pikirkan tentang kamu?"

Gelisah semakin menjadi-jadi. Kueratkan pelukanku ke Zahrah yang di dalam gendonganku. Aku mencoba mengatur nafas, berharap bisa membuatku lebih tenang. Kepalaku terasa pening lagi. Tepat sesampainya di gang masuk pesantren, kami turun. Saat itu hari sudah malam. Tempat yang pernah begitu akrab di hari-hariku. Tempat yang aku rindukan. Sekaligus kini menjadi tempat yang menakutkan.

Begitu turun dari bis, aku muntah di pinggir jalan. Bisa jadi karena sakit. Bisa jadi karena ketakutan. Setelah muntah semua terasa lebih lega. Aku langkahkan kakiku satu-satu menuju ke sana.

Gerbang depan, ada satpam yang membukakan portal saat aku katakan tujuanku.

Koperasi sudah tutup. Jalanan tampak lengang. Hanya suara jangkrik dan serangga-serangga malam yang menghuni sawah dan kebun yang mengelilingi jalan, menemaniku, menuju tempatku menghafal Al-Qur'an selulus SMA dulu.

Tempat ini tidak banyak berubah. Asri dan nyaman ditempati. Setidaknya, datang di malam hari ini membuatku tidak harus berpapasan dengan banyak orang. Ini sudah cukup membuatku lebih mantap melangkah.

*******

Mengulang hafalan, disimak adik-adik tingkatku yang sedang mengabdi di sana. Tertatih. Menghafal sambil menjaga anak, butuh perjuangan. Tapi tidak boleh jadi halangan.

Duduk di pinggir sawah, mengulang hafalan Qur'an. Berjalan bolak-balik di pelataran mushalla, untukku yang kinestetik memang cara cepat hafalnya dengan banyak membuat gerakan.

Bersama para penjaga Al-Qur'an, santri yang sedang berjuang menyelesaikan hafalannya. Melihat aktifitas harian mereka membuatku banyak terkenang masa-masa aku dan teman-teman seangkatanku saat menjadi santri di sini.

Bertemu dengan ustadzah-ustadzah yang lama mengabdikan diri di sana. Melihat wajah yang bertanya-tanya, mungkin mereka aneh melihatku ada di sana.

Rencanaku sebulan di sana tidak tercapai.

Karena tepat di hari ke tujuh ada sebuah kejadian yang tidak pernah aku sangka.

Seorang muhafizhah yang menerima setoran hafalan muroja'ahku menghampiriku dengan wajah yang pias. Pucat.

"Teh Ibah.. Punten." Terlihat takut-takut dia mencoba bicara padaku.

Aku bertanya padanya, "Kenapa?" Aku melihatnya menahan air mata. Membuat kilatan-kilatan air menggenang di matanya.

"Aduh saya ga enak banget teh ngomongnya. Tadi ada santri yang gendong-gendongin dede Zahrah. Terus... Ada yang datang. Dan bilang, katanya teteh sama anak teteh ga boleh ada di sini." mengalirlah panjang cerita darinya. Dalam air mata yang akhirnya berlinangan.

Aku menyimak dengan dada yang berdegup. Apa ini harus terjadi lagi? Batinku mulai berkata-kata lagi. Aku perintahkan air mata untuk jangan keluar saat itu juga.

"Maafin ana teh. Ini salah ana. Kalau teteh sama anak teteh ga pergi dari sini, ana yang akan dikeluarkan dari sini" Dalan rasa panik sekaligus enggan yang begitu kentara, dia menghapus air matanya yang berjatuhan.

Aku harus jawab apa? Kalau sudah tidak diperbolehkan di sini apa lagi yang bisa dilakukan tamu yang tidak diinginkan ini selain pergi? Pergi bergegas secepat mungkin. Tapi ini sudah menjelang malam.. Pikiranku berputar cepat. Baik. Aku akan pergi besok.. Sepagi mungkin.

"Ih bukan salah kamu kok. Ini mah wajar. Di sini kan sebenarnya memang ga boleh ada anak kecil. Apalagi ini anak aku, aku punya riwayat cerita yang pastinya susah dimengerti orang yang ga tau jalan kisahnya. Aku paham kondisinya pasti sulit buat teteh. Aku maklum. Besok pagi banget aku langsung pergi dari sini. Soalnya ini udah sore, takut kehabisan bis. Gapapa ya?"

Dia hanya menangis..

Sambil menepuk pundaknya aku berkata lagi, "Justru jadi aku yang ga enak sama teteh. Kalau sampai teteh yang diancam dikeluarkan dari sini cuma gara-gara hal ini. Maafin aku ya." di sudut hatiku, aku tau, aku sedang pura-pura tegar. Pura-pura tidak apa-apa. Pura-pura bersikap 'i'm okay'. Aslinya hatiku terluka. Lagi.

Aku di sini karena ingin kembali mendekat dengan Al-Qur'an yang ingin kembali aku sahabati. Tapi kenapa harus begini ujungnya?

Saat muhafizhah itu pergi. Aku bersegera menuju kamar mandi. Menangis agak lama di sana. Membuka kran air besar-besar, agar suara tangisku teredam suara percikan air di bak.

"Apa aku sehina itu? Sampai aku harus selalu diusir jauh-jauh dari tempat baik. Apa aku tidak pantas menjadi bagian dari penjaga Al-Qur'an sampai aku harus terpaksa pergi saat aku justru begitu ingin kembali bersama Al-Qur'an di keseharianku?"

"Ini anakku. Aku ibunya. Dan dia anak yatim. Apa orang yang meminta kami pergi itu tau ini? Apa dia bertanya? Tidak."

"Dia ga tau. Dia ga tau. Makanya dia berbuat begitu. Maafkanlah." sisi lain hatiku menasehati.

"Niat kamu, Allah yang tau. Jangan pernah berhenti berjuang untuk bersama Al-Qur'an entah bagaimanapun sulitnya. Tidak apa kamu pergi dari sini. Semoga Allah gantikan dengan tempat yang lebih baik."

Setiap masalah hadir. Terjadi perang di hatiku. Dua sisi yang saling berbicara. Mengeluh dan menasehati dalam hati.

Dengan mata bengkak. Aku keluar kamar mandi dengan wajah yang disenyum-senyumkan dan hati yang ditegar-tegarkan. Mengambil wudhu. Berharap basuhan air wudhu turut membawa hanyut rasa hati negatif yang sempat hadir.

Malam itu aku tidak bisa tidur dengan tenang. Berada di tempat yang tidak menginginkan keberadaanmu di sana itu rasanya sangat tidak nyaman.

Begitu pagi tiba, aku segera bersiap pergi.
Saat pamit dengan semua muhafizhah, aku memeluk mereka erat.

"Doakan aku ya. Sungguh doakan semoga bisa terus jagain Al-Qur'an ini entah gimanapun keadaannya dan entah gimanapun sulitnya. Sangat mohon doakan aku."

Mereka melepaskan aku pergi dengan wajah sedih.

Duduk kembali dalam bis yang membawaku kembali ke rumahku di Depok.

Ada sebuah SMS masuk dari nomor yang tidak aku kenali. Ke nomor Hp yang baru saja kubeli. Tidak banyak yang tau nomor baruku itu.

Aku terbengong kaget. "Wa'alaikumussalaam wa rahmatullah wa barakatuh ini siapa ya? Kok tiba-tiba? Kok tau nomor ini?"

"Saya hamba Allah."

Semua ini terlalu aneh buatku. Pengusiran ini, pesan masuk dari orang yang tidak aku kenali. Nomornya berusaha aku hubungi tetapi sudah tidak aktif lagi. Dia mengSMSkan sesuatu hal yang sangat tidak terduga.

Hatiku sudah terlalu lelah menerjemahkan keanehan-keanehan ini.

"Ya Allah... SkenarioMu sedang berlangsung. Kau pilihkan aku menjalani kisah ini. Mohon kuatkan aku."

_________________
To..be..continue..
_________________

Setelah part ini akan ada 1 part lagi last  but not least. Tapi setelahnya akan disambung ke dalam buku dan yg sudah ditulis akan ditambahkan cerita detilnya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DARI ANAKMU YANG KINI DEWASA

Perjalanan Pembuktian Cinta #Part1

sampe sebesar ini?