Malam Ini, Aku Ingin Jujur



Aku mengenali proses ini.

Inilah fase di mana segalanya terasa berat—namun justru sedang memperbaiki diriku.


Kali ini, aku ingin bersikap lebih baik.

Lebih bijak dari diriku yang dulu saat menghadapi hal serupa.

Agar ketika semua ini usai, yang tertinggal hanya keindahan—tanpa luka.


Apakah itu mungkin?

Sebab dulu, setiap getar dalam jiwa menyisakan rasa tak pantas, tak layak, bahkan hina.

Tapi kali ini… bolehkah aku berharap, bahwa semua getar ini cukup meninggalkan keindahan yang murni?

Tanpa jejak rasa-rasa negatif yang semestinya tak perlu ada?


Kenapa proses ini harus terasa seberat ini?

Rasanya seperti bab dalam hidup yang ingin ku-skip saja.

Kalau ini sebuah buku, ingin sekali aku lompat ke halaman terakhir.

Kalau ini sebuah video, aku ingin cepat-cepat tekan tombol "percepat".


Tapi ini bukan buku. Bukan pula video.

Ini adalah hidup.

Dan aku harus menjalaninya—meski hati enggan.


Sempat terlintas tawaran menggoda dalam pikiranku:

Bolehkah aku kabur dari semua ini?


Padahal aku tahu jawabannya.

Aku tidak sedang mencari izin untuk lari.

Aku hanya ingin mengaku:

Malam ini, aku sedang terluka.

Dan ini... sungguh berat untukku.


Apa salah jika malam ini aku sejenak berlemah-lemah?

Bukan untuk menyerah—tapi untuk bernapas.


Karena aku tahu, besok aku harus bangkit lagi.

Maka malam ini, izinkan aku beristirahat dengan tenang.

Izinkan aku mencurahkan isi hati,

tentang rasa yang menggangguku... dengan teramat sangat.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Syawal dan Janji yang Kita Simpan di Dalam Diri

Perjalanan Pembuktian Cinta #Part1

Getaran Sepotong Hatiku di ayat ke 52 dan 53 Surat Al-A'raf