Luka dan Pilihan
Apakah semua orang sedang bertahan dalam kemalangan hidupnya?
Luka-luka yang tak pernah diundang, mungkinkah itu sebabnya?
Tak diminta tapi hadir.
Sakit datang tanpa permisi.
Perih yang baru dirasakan oleh seorang anak yang bahkan belum tahu apa-apa…
Kadang aku ingin melihat manusia dengan mata kasih.
Dia keras karena jalan hidupnya memang keras.
Dia egois karena kisahnya terlalu berat.
Dia penuh obsesi karena masa kecilnya teramat tak mudah.
Bolehkah aku begitu?
Tapi aku juga tahu, mata kasih bukan berarti membenarkan yang salah.
Salah tetaplah salah.
Dan kebenaran hanya satu: apa yang ada di sisi Allah.
Meski begitu, aku berdoa semoga Allah menyembuhkan luka-luka mereka—sebagaimana Dia juga masih menyembuhkan lukaku.
Apakah itu pandangan yang kolot?
Jika keyakinanku tetap tak bisa menerima ada yang rela melepas hijab dengan alasan luka demi luka,
apakah aku terlalu tidak empati?
Tapi kalau aku membenarkan yang salah, bukankah itu juga bukan bentuk kasih sayang?
Aku lalu bercermin.
Mengingat sosok penulis cilik zaman dulu yang dulu kami berebut ingin mengenalnya.
Sekarang ia menanggalkan hijabnya.
Aku penasaran, kucari tahu sebabnya.
Dan ternyata: luka demi luka yang tak ada habisnya.
Aku sadar… aku pun bisa saja jadi dia, kalau bukan karena Allah menjaga lewat Al-Qur’an.
Aku tidak lebih baik; aku hanya sedang dijaga.
Ini murni sudut pandangku yang terwarnai kalamullah sepanjang usia sampai saat ini. Alhamdulillah.
Ya… dia bisa punya luka. Pun adikku. Pun kamu yang membaca ini.
Luka yang hadir sebab orang-orang terdekat.
Akupun punya lukaku.
Kisah sedikitnya mungkin kau tahu:
Pahit… iya.
Getir… iya.
Luka… sangat.
Sakit… ya, teramat dalam.
Membekas hingga kini.
Berimbas pada: kadang rendah diriku, kadang rasa tak pantasku, kadang rasa bodohku.
Dan aku masih akan terus berusaha berdamai dengannya sepanjang hidupku.
Lalu kenapa aku masih di sini, setelah dulu memutuskan pergi menjauh?
Al-Qur’an…
Aku rasa itulah sebab terbesarku.
Penawar bagi luka-luka menganga, yang tak membiarkannya busuk dan berbau.
Al-Qur’an…
Itulah yang menjagaku.
Berdentum dalam hatiku, hadir dalam sadar dan mimpi malamku.
Seperti diberi mampu melewati luka.
Seperti diberi kuat kala tak sanggup.
Energi saat tanpa daya.
Al-Qur’an…
Sepertinya itulah yang membuat aku masih di sini.
Kokoh dengan keyakinanku.
Yakin dengan hijabku.
Mantap dengan iman di hati, lisan, dan perbuatanku.
Meski aku tahu, ini belum final.
Perjalanan sedang dan akan terus berlanjut, entah kapan berhentinya waktuku.
Bagaimana akhirku?
Aku hanya sedang penasaran.
Dengan luka yang sama, aku bisa saja mengambil jalan yang berbeda dengan orang lain yang juga terluka.
Bagaimanakah kiranya Al-Qur’an yang terus kusahabati hingga jelang usia 34 ini akan mengantarku ke akhirku kelak?
Semoga baik.
Itu harapan standar semua orang, kan?
Aku punya satu keyakinan: Dia akan membawaku pada akhir yang baik dan kehidupan abadi yang baik juga kelak.
Entah apa yang membuatku bisa terlintas ini.
Aku hanya sedang mengeluarkan kata-kata dari hasil kontemplasi jiwa yang sedang hidup bersama ayat-ayat Al-Qur’an.
Janji Allah dan Rasul-Nya pasti benar. Itu saja.
Aku hanya sedang membaca kehidupan.
Hidupku, hidup orang-orang di sekitarku.
Mengaitkannya dengan bagaimana hidup seharusnya berjalan dalam pengaturan Allah.
Kalau semua ada dalam pengetahuan-Nya, maka luka-luka kita pun pasti dalam genggaman-Nya.
Itu pasti.
Dan mungkin… inilah yang perlu selalu kuingat:
Kita semua sama-sama punya luka, dan Qur’an datang untuk menuntun siapa pun yang mau berpegang erat padanya.
Komentar
Posting Komentar
Terimakasih sudah membaca blog ini dan bersedia meninggalkan jejak dalam komentar,semoga bermanfaat ya. ^_^