Perjalanan Pembuktian Cinta #Part14

#PERJALANANPEMBUKTIANCINTA
#PART14 : Konsekuensi Janji

Supaya utuh pemahamannya atas kisah ini, baca pun jangan setengah-setengah, bacalah dari awal. 😊👍

Part 1 : http://bit.ly/2sLFoml
Part 2 : http://bit.ly/2twRaOs
Part 3 : http://bit.ly/2szWAqS
Part 4 : http://bit.ly/2uVf8T0
Part 5 : http://bit.ly/2sVdvbN
Part 6 : http://bit.ly/2v9GW6B
Part 7 : http://bit.ly/2t65QYh
Part 8 : http://bit.ly/2tUZXKs
Part 9 : http://bit.ly/2tXvuLZ
Part 10 : http://bit.ly/2uMmXyt
Part 11 : http://bit.ly/2tN7XQP
Part 12 : http://bit.ly/2uE7DzF
Part 13 : http://bit.ly/2xAAuax

*******

"Hidupmu mau dibawa ke mana setelah ini?"

Batinku masih ramai dengan berbagai pertanyaan. Lamunanku disadarkan goyangan bis yang sedang melaju kencang, melewati perbatasan Sadang menuju Jakarta. Lalu lalang kendaraan, suara kondektur bis lintas daerah, nyanyian pengamen yang berebut dengan pedagang makanan keliling, semua keramaian itu membuatku semakin terhanyut  dalam dialog batin dan pikiranku sendiri.

"Apa kiranya tujuan hidup mereka ini?"

"Apa mereka mengerti ke mana mereka menuju? Ataukah sama sepertiku yang terus bertanya-tanya, ke mana  akhir sebenarnya hari demi hari ini berlalu?"

Aku memejamkan mata. Berdialog lagi di dalam hati.

"Aku pikir kita sama-sama telah sepakat, semua perjalanan ini adalah menuju Allah. Bukankah begitu? Orang yang banyak ini, semuanya pada akhirnya akan menuju dan menghadap Allah."

Hatiku menyergah gerah "Kalau memang semua ini menuju ke Allah, kenapa perjalananku menujuNya perlu seperti ini? Luka ini apa? Pengusiran ini apa? Kekecewaan ini apa?" Terkait pengusiran terakhirku. Ini benar meninggalkan luka yang lumayan dalam buatku.

"Apa menurutmu menjadi pribadi yang semakin baik tidak akan diuji? Kau lihat, semua yang namanya besar sekarang, pasti pernah melewati kumpulan drama dalam kehidupannya. Dan dia berhasil melewatinya dengan baik. Tiap kita punya kisahnya masing-masing."

Hatiku manggut-manggut, tanda setuju.

"Sudahlah, tersenyum saja, nikmati saja, kejadian-kejadian seperti ini perlu dinikmati dalam kesadaran yang utuh. Agar bisa selalu kau ambil pelajaran bagi dirimu sendiri."

Lalu hatiku tersenyum. "Ya, ini bukan akhirku. Meski aku tidak diterima di tempat itu, aku masih bisa melanjutkan perjuanganku menjaga Al-Qur'an ini di manapun."

Bis masih melaju dalam goyangan yang kian berirama, membawa aku dan hatiku juga anakku kembali ke rumah kami di Depok.

*****

Ada yang membuatku terusik. Pengusiran itu bukan hal besar jika dibandingkan hal yang akan kuceritakan ini.

Waktu ternyata mampu merubah keadaan dengan cepatnya.

Jika dulu teman kecilku yang seperti tanpa lelah mendekatiku dan aku enggan menggubrisnya, kini kondisinya terbalik. Aku yang merasakan harapan-harapan yang aneh padanya.

Hubungan kami setelah semua drama kehidupanku, hanya sebatas teman kerja, dan dia masih tetanggaku di rumah mbahku.

Mungkin aku belum ceritakan bagian yang ini. Setelah aku mengikuti training untuk menyembuhkan psikisku yang tertekan, aku aktif di komunitas training tersebut dan akhirnya  disana aku dipilih menjadi admin komunitas. Dan di tempat yang sama, teman kecilku pun aktif berbisnis disana.

Mulanya semua biasa saja. Aku dan hidupku saja sudah terlalu rumit untuk ditambahi lagi kejadian dan perasaan rumit lainnya. Aku tau, ternyata muncul harapan yang merambati hatiku perlahan, pada teman kecilku ini. Mungkin ini yang dimaksud dengan cinta yang datang karena terbiasa..

Saat itu adalah saat di mana aku menolak jauh-jauh Allah ikut campur dalam hidupku. Saat itu, aku pikir kebahagiaanku harus aku yang perjuangkan. Buat apa menyerahkan hidupku pada Allah kalau ujungnya aku hanya di kasih sakit dan kecewa?

Meski dalam diam, tapi setiap bahasa tubuh kami sepertinya mampu menyatakan dengan terang kepada orang-orang yang melihat kami, bahwa ada sesuatu di antara kami.

Meski tidak ternyatakan secara langsung. Meski tidak menjalin tali kasih seperti kebanyakan orang.

Rupanya hati mampu berbicara begitu kerasnya.

Aku melihatnya masih menyimpan rasa padaku. Lewat pandangan yang ditundukkannya dalam senyum yang tidak bisa disembunyikan di wajahnya, wajah kami. Namun kulihat ia mencoba tetap menjaga jarak denganku.

Aku merasa setiap berpapasan maka ada yang bergejolak aneh di hatiku.

"Ah,, rasa apa ini? Kenapa harus ada rasa ini?" gumamku dalam hati.

Saat ini, aku menyadari, aku menyimpan rasa juga padanya. Akhirnya dia menyampaikan padaku tentang keinginannya menikahiku.

"Aku ingin lebih serius dengan kamu insyaallah.." ujarnya.

Tapi kondisi tidak lagi semudah dulu. Aku yang sekarang berstatus janda beranak satu. Keluarga mana yang akan mau menikahkan anaknya dengan aku yang punya latar belakang kisah kurang menyenangkan dan buruk di mata orang?

Dan yang lucunya, semakin aku berharap padanya, semakin dia menjauh. Aku selalu mengira dia masih main-main, dan dunia pernikahan, dia masih belum siap memasukinya.

Dia seperti mengulur-ngulur waktu. Tarik ulur perasaan, aku jadi paham rasanya kecewa karena berharap pada manusia.

Dan Allah masih ingin aku hanya bergantung padaNya saja, bukan kepada selainNya. Maka hatiku dipatahkanNya lagi. Saat aku dapati, ternyata keseriusannya masih dipertanyakan. Berulang kali aku mempertegasnya, dan dia berulang kali pula dia bicara "Aku sedang memperjuangkan kamu."

Sisi lain hatiku berkata dalam diam, memperjuangkan yang seperti apa dan bagaimana? Apa dia tau rasa hati yang digantungkan keputusannya?

Buatku masih sama, tidak ada hubungan sejati antara perempuan dan laki-laki sebelum pernikahan itu terjadi.

Maka semua perkataannya, hanya menjadi mentah selama dia belum membuktikannya.

Dalam dyari-dyariku, aku menuliskan kekecewaan padanya yang tidak juga tegas mengambil langkah. Aku juga menuliskan tentang mengapa aku bisa sampai jatuh terlalu dalam pada hal bernama cinta ini.

Ini ujian berat buatku.

Manjaga hati, menjaga batas, mengkondisikan rasa agar tetap sewajarnya.

Karena pada kenyataannya, cinta sanggup membuatku berilusi dan merebut semua kesadaranku.

Timbul tenggelam aku berusaha terus berpegangan pada Allah. Bersandar dan menyandarkan harapan dan cinta terbesar tetap kepadaNya di atas segala rasa kepada selainNya. Menjaga kesadaranku.

"Hai kau, tidak ada yang boleh lebih besar di hatimu kecuali kecintaanmu kepada Allah." itu yang terus aku tanamkan kepada diriku sendiri jika semua perasaan cinta itu mulai terasa menyergapku dalam kondisi hati yang aneh. Meski berkali-kali pula kalah argumen dengan rasa yang membutakan hati.

Aku harus terus menjaga Al-Qur'anku, agar aku teralihkan dari memikirkan perasaanku yang entah akan kemana ujungnya.

Saat perlahan aku mulai menjauhi teman kecilku, kembali berpegangan erat pada Al-Qur'an. Dia selalu kembali berbalik lagi padaku. Menyatakan keseriusannya.

Ada yang aku pelajari dari sini. Saat aku fokuskan hidupku memperbaiki apa yang memang sepatutnya aku perbaiki, yaitu akhiratku, maka dunia dan isinya yang berupa harta, tahta, cinta, datang padaku. Dan begitupun sebaliknya.

*****

Mengulang hafalan Qur'an di tengah dentuman cinta kepada makhluk, sungguh membuat konsentrasi berantakan ke mana-mana.

Berulang kali aku mengulang ayat demi ayat, malah semakin bubar jalan memoriku pada ayat tersebut.

"Apa yang salah?" frustasi aku benamkan wajahku di qur'an yang terbuka.

Aku harus segera mencari solusi sebelum hafalanku semakin  menghilang entah kemana.

Kubuka HPku, jemariku naik turun menggeser layar sentuhnya. Membuka facebook, membaca-baca status orang lain dan artikel-artikel yang banyak di share. Sampai mataku tertuju pada satu postingan: Karantina 30 Hari Hafal Qur'an 30 Juz. Aku baca ketentuannya.

"Wah ini dia yang aku cari." Hatiku kegirangan, menemukan solusi untuk kembali menjaga hafalan Qur'anku. Sampai aku lihat biaya untuk acara tersebut. Lima juta rupiah. Semangatku kendor seketika. Uang dari mana?

Berhari lamanya aku terus membatinkan acara tersebut. Berkali pula aku menuliskan niatku mengikuti event itu di dalam catatan harianku.

"Ah... Aku punya Allah. Niat baik ini, akan Allah berikan jalan. Entah bagaimanapun caranya. Semoga Allah berkenan mengizinkanku mengikutinya." Tulisku optimis di lembaran dyari.

Aktifitas harianku masih sama, bolak-balik Depok-Jakarta, menjalani pekerjaanku.

Belajar menjalankan bisnis, memperhatikan cara orang-orang bekerja: presentasi produk, canvasing, dealing. Berulang menjadi pengamat. Menjalankan bisnis yang sama dalam keterbatasan ilmu. Satu dua teman mulai menyatakan keinginan bergabung dan aku belajar pula membina tim bisnisku.

Oh mungkin seperti inilah kehidupan di luar pesantren, beginilah dunia entrepreneur. Aku banyak belajar dari teman-teman yang baru aku kenali.

Dan aku banyak pula belajar mengendalikan perasaan sendiri. Orang ekspresif sepertiku, sangat sulit menyembunyikan perasaan di mimik wajah. Apa yang ada di hatiku akan tampak sempurna pada bahasa tubuh dan perilakuku. Dan di sanalah aku belajar mengontrolnya. Belajar bersikap sewajarnya atas setrum-setrum yang terjadi pada hatiku setiap harus berinteraksi dengan teman kecilku itu. Aku merasa bodoh sekali kalau hal seperti itu terjadi.

Saat aku tau dia ternyata mendekati juga salah satu temanku di tempat kerjaku, aku tidak paham harus digambarkan seperti apa rasa hatiku saat itu. Berkeping. Pecah. Hancur dan entah bagaimana cara menyatukannya lagi.

Aku sepenuhnya sadar diri, aku dengan statusku, aku dengan kondisiku, saat itu memang hanya akan menjadi pilihan terakhir bagi orang yang tidak tau kisahku.

Mungkin dia melakukannya karena masih berusaha mencari opsi lain. Opsi yang lebih baik. Perempuan dengan latar belakang yang tidak mengerikan seperti aku. Perempuan yang kondisinya jauh lebih baik dari aku. Perempuan yang tidak akan terlalu sulit untuk diperjuangakan dan diperkenalkan ke orang tuanya.

Tapi kalau hatiku patah-patah saat tau berita tersebut, apa aku salah?

"Kenapa aku bisa suka sama orang kayak kamu sih? Kamu itu ga pantas buat diperjuangkan. Kalau ini yang kamu mau, aku pergi. Terimakasih atas semua pelajaran yang sudah kamu kasih ke aku." Aku menelfonnya saat menunggu kereta yang membawaku kembali ke Depok sepulang kerja.

Dia hanya diam. Mungkin dia merasa bersalah. Aku tidak tau.

Aku rasanya ingin berteriak kencang sekali, "Iya! Kamu bersikap kayak gini. Padahal aku nunggu kamu. Jadi buat apa ini dilanjutin lagi? Sia-sia. Ini cuma satu arah. Cuma aku aja. Kamu cuma main-main."

Aku matikan panggilan telfon setelah mengatakan hal itu.

Air mata masih aku tahan untuk keluar.

Keretaku datang. Orang-orang berlarian mengejarnya. Aku turut serta masuk ke dalamnya. Bergelayut lemas pada pegangan kereta. Pintu tertutup. Kereta melaju. Wajahku entah terlihat seperti apa. Aku menutup mulutku. Sudah tidak tertahan lagi. Air mata keluar. Seorang ibu memergokiku  menangis  tanpa suara di kerumunan orang dalam kereta, dia menatapku iba. Aku berusaha menutupinya.

Ya, aku harus mulai melaju lagi. Seperti kereta ini. Perjalananku lama terhenti, padanya. Dan aku hanya mendapat kesia-siaan diujungnya. Sejak saat itu, mimpi-mimpiku selalu tentang kereta yang melaju cepat, dan seorang lelaki menunggangi kuda putih berusaha mengejarku menyamai laju kereta.

Dalam mimpiku, aku sedang berkereta, melaju dengan begitu cepatnya. Ada seseorang dengan begitu keras kepalanya mengejar kereta yang sedang melaju cepat itu dengan menaiki seekor kuda putih.

Seseorang yang aku lihat sampai berdarah-darah memperjuangkan. Menjemput. Mengulurkan tangan. Mengajak berpindah dari kereta yang melaju menaiki kuda putih yang ditungganginya.

Silahkan katakan ini hal gila. Memang begitu pula yang aku pikirkan.

Buat apa mengejar kereta yang sudah berlalu begitu cepat? Sia-sia bukan?

Mungkin ada niatan tersendiri dari seseorang berkuda putih. Yang berjuang begitu kerasnya. Yang sanggup membuatnya bertahan menahan segala luka yang diderita. Meski aku tidak pernah tahu jelas apa niatannya.

Akan banyak yang berkata, buat apa dikejar? Semua sudah terlambat bukan? Sudahlah… hentikan saja.
Tapi dia yang penuh luka masih saja berkeras kepala.

Aku yang melaju dalam kereta yang begitu cepat berlari, hanya beruraian air mata memandangi dia yang mengulurkan tangan dari atas kuda putih berpayah menyejajari laju kereta.

Berulang kali aku berkata: "Sudahlah, berhenti saja. Mungkin memang bukan aku." tangis menderas.

Masih dengan kekeraskepalaannya, dia berulang mengulurkan tangan, seolah ingin menyelamatkan.

"Kereta ini terus melaju, dan ini sudah kereta yang tepat. Tujuannya tepat. Tidak usah diselamatkan. Ini yang benar. "

Selanjutnya mungkin aku akan berharap hanya pada keajaiban. Entah berupa kereta yang terhenti, atau dia yang ikut menaiki kereta yang sama. Atau mungkin juga aku yang ikut menaiki kuda putihnya.

Kalau hidup tentang pilihan,  jujur aku katakan.. Aku benci diberi pilihan. Karena aku bukan pemilih yang baik.

Akhirnya,  kereta hanya terus melaju, dengan seseorang yang menunggangi kuda putih,  berpayah menyejajarinya. Entah apa maksudnya, aku hanya terdiam dan menyadari,  aku bermimpi sambil menangis.

*****

Suatu hari temanku semasa sekolah dulu mengirimiku pesan, "Yumi, aku kehamilan sekarang ini berat sekali. Aku diteluh sama orang yang ga suka sama aku. Aku harus gimana ya Yumi? Aku pengen sedekah. Mungkin bisa mengurangi beban sakit yang nimpa aku ini. Kamu tau ga tempat buat nyalurin sedekah yang bener itu ke mana baiknya?"

Aku tertegun membaca pesannya. "Semoga Allah jagain kamu ya. Kalau sedekah itu diperuntukkan buat orang yang membutuhkan.
Kalau boleh aku kasih saran, aku ada rencana mau mengulang hafalan Qur'an aku, supaya kembali terjaga, ada program sebulan hafal Qur'an.. Tapi ternyata biayanya lumayan sekali. Sekitar lima juta. Kalau kamu mau sedekahkan buat kegiatan itu bisa juga.
Gimana menurut kamu?"

"Masyaallah pas banget ya. Aku dengan senang hati Yumi. Semoga ini bisa meringankan beratnya kehamilan aku ini ya. Aku minta nomor rekening Yumi ya."

Aku tau Allah Maha Mengabulkan doa. Dan keinginanku, doa-doaku untuk bisa mengikuti acara itu akhirnya dikabulkanNya lewat cara seperti ini.

Pikiranku mengembara lagi ke hari saat aku dan anakku diusir pergi saat sedang mengulang hafalan di pesantrenku, aku berdoa saat itu semoga Allah berikan aku tempat mengulang hafalan yang lebih baik dari ini.

Setiap terjadi kesulitan dalam hari-hariku, aku bisa mengerti bahwa Allah menyertakan di setiap kesulitan tersebut kemudahannya.. Termasuk saat aku diusir itu, tetiba ada SMS masuk yang mengabarkan telah ditransfer ke rekeningku sejumlah uang, untuk kebutuhanku dan keluarga. Dari nomor yang tidak aku kenali. Dia hanya mengaku sebagai hamba Allah.

Dan hari ini terjadi lagi. Temanku, yang tetiba mengirimiku pesan yang menjadi jawaban dari doaku.

Cara Allah memang tidak bisa aku pahami. Tapi aku tau, Dia tidak akan pernah menyia-nyiakan aku, sedikitpun.

Villa tempatku mengulang hafalan selama sebulan itu tegak di kelilingi barisan bukit. Di daerah Ciparay, Bandung. Dua tingkat, di tingkat 2 untuk tidur semua peserta, akhwat semua. Karena ikhwan ada di villa yang lainnya. Dan di bawah tempat kami menyetorkan hafalan kami.

Pekarangan villa lumayan luas, ditumbuhi rumput hijau yang menghampar dan bunga-bunga yang mermekaran di sekelilingnya.

Kalau boleh kuakui, ini tempat terbaik yang pernah kusinggahi selama masa jatuh-bangunku. Buatku ini menjadi obat yang mujarab untuk mengobati luka. Apalagi yang lebih baik selain dari terus bersama Al-Qur'an di hari-harimu dan tempatnya pun sangat kondusif untukmu mengobati dirimu lahir batin?

Karantina terbaik buatku.

Jika malam datang, dan cuaca sedang dingin-dinginnya, kabut yang bermula tipis dan beranjak tebal, mulai hadir, dinginnya sanggup menggigilkan kulit kami. Tapi kami terus berusaha memaksimalkan waktu untuk terus bersama Al-Qur'an.

Dalam tidurku saat di sana, aku bermimpi berlarian di sebuah lapangan yang sangat luas, berlarian dengan dada yang juga lapang. Bahagia.

Entah apa maksud dari mimpi itu. Tapi yang jelas aku rasakan adalah, hatiku semakin kokoh saat aku mendekati Al-Qur'an. Kesedihan itu perlahan sirna, luka-luka batinku terobati.
Tekadku sejak saat itu, tidak akan ada lagi yang mampu menyakiti aku dan hatiku, selama aku terus berpegangan kuat pada Allah melalui Al-Qur'an yang terus kusahabati di keseharianku.

*****

Sepulang dari karantina tahfizh, aku memutuskan untuk fokus menjadi pengajar Al-Qur'an.

Aku berhenti bekerja sebagai admin, selain karena memang ada beberapa perubahan sistem di tempatku bekerja, aku juga merasa jauh lebih baik jika terus bersama Al-Qur'an.

Mengajar privat Al-Qur'an seorang anak dari temanku, ka Husna namanya. Dia begitu baik padaku.

Memfasilitasiku sebuah tempat aku tinggal berdua dengan anakku di sebuah kontrakan di Bekasi. Rumah kontrakan sederhana dan isinya dia yang menyediakan untukku.

Aku belajar hidup hanya berdua saja dengan anakku. Yang saat itu baru saja beranjak 2 tahun lebih usianya.

Aku merasa tidak punya masalah dengan tetangga. Tapi rupanya ada saja suara miring yang mengatakan hal-hal yang tidak baik tentang aku.

Ternyata menjadi berstatus janda pun bukan predikat yang mudah untuk diemban. Harus punya hati yang lapang untuk tidak terusik bisik-bisik tetangga yang aneh-aneh sekali bunyinya.

Teman kecilku, menghubungiku kembali. Dengan aku yang masih saja mengingat saat terakhir aku menangis di kereta karena ulahnya.

Aku bertanya padanya, "Apa yang bisa buat aku percaya lagi setelah kejadian terakhir kemarin? Apa yang bikin aku yakin kamu ga lagi main-main?" tanyaku tegas padanya.

Dia menyatakan bahwa dia ingin menseriusi hubungan kami. Dia meminta izin kepadaku untuk datang menemui kedua orang tuaku. Menyatakan kesungguhannya.

"Kalau sampai akhir tahun ini belum ada kemajuan lagi, aku mundur dari proses ini. Aku ga bisa lanjutin lagi."

Sebenarnya saat mengatakan hal itu, aku hanya ingin dia berusaha lebih keras lagi dan berjuang lebih sungguh-sungguh lagi.

Menjelang akhir tahun dia menemui Umi dan Abi di tempat yang terpisah. Abi di masjid, dan Umi di rumah kontrakan barunya.

Tanpa perlu berpanjang kata, Abi yang sudah lama tidak aku temui, menyetujui niatan teman kecilku itu.

Saat melihatnya berbicara dengan Abi, ada haru yang melintasi hati, "Dia sudah berubah." Kesungguhannya nampak di setiap kata yang keluar dari mulutnya.

Dan aku pun melihat Abi mengusap sudut matanya. Nampak kilatan-kilatan  Air di bola matanya.

"Terimakasih atas niat baik Nak Rendy, mungkin Nak Rendy sekarang tahu bagaimana kondisi Nusaibah dan keluarganya. Semoga bisa memakluminya. Terkadang ada hal-hal di dalam hidup yang tidak selamanya sesuai dengan keinginan kita. Abi titip Nusaibah."

Aku meraba hatiku, hari-hariku setelah ini sepertinya akan menjadi lebih cerah dari sebelumnya. Ya, ada secercah harapan untuk hari depanku.

Umi pun dengan mata berkaca mengiyakan dengan syarat temanku mengkondisikan keluarganya, terutama orang tuanya untuk melanjutkan proses kami.

Beberapa minggu kemudian, dia mengajakku bertemu ibunya. Dengan gugup aku berbincang dengan beliau. Orangnya ramah. Dan tampak menyetujui kalau proses ini akan dilanjutkan.

Tapi, rupanya harapan hari depan cerahku harus sirna di beberapa hari terakhir sebelum tahun tersebut habis.

"Kayaknya kita belum bisa lanjutkan proses ke pelaminan. Bapak aku belum setuju."

Kata-katanya terdengar seperti gelegar halilintar di telingaku. Hatiku sudah bekeping lagi. Tenggorokanku tercekat.. Aku tau, kalau aku bicara, air mataku akan segera keluar.

Aku paham, ini akan menjadi kendala terbesar bagi kami. Apa alasan kuat buat bapaknya mengiyakan anak sulung lelakinya menikah dengan perempuan berstatus janda beranak satu dan dengan latar belakang kisah hidup yang mengerikan? Tidak ada.

Tapi aku melihat kesungguhan itu, perjuangan itu di sirat wajah teman kecilku. Memperjuangkan aku sampai dibatas inipun sudah luar biasa baginya. Pasti tidak mudah. Sangat tidak mudah.

"Kamu gapapa kan?" Tanyanya padaku, menunggu respon.

Aku hanya berusaha mensenyum-senyumkan wajahku padahal hatiku sempurna patah tak berbentuk.

Setelah beberapa waktu, aku mencoba bicara. Sambil berharap air mataku masih sanggup aku tahan.

Dengan tenggorokan yang masih tercekat aku sampaikan padanya, "Kita sudah terlalu lama berproses. Tanpa kejelasan. Tarik ulur perasaan. Lelah. Kalau ujungnya begini, ya kembali lagi ke perkataanku sebelumnya, kalau sampai akhir tahun ini tidak ada kemajuan dalam proses kita, aku mundur. Itu sudah ga bisa ditawar lagi."

"Ada batas yang tidak bisa kita lewati. Ada batas yang harus di jaga. Kalau aku ada di sekitaran kamu, aku ga akan pernah bisa. Kayaknya aku harus pergi." Padahal aku sendiri tidak yakin dengan kata-kataku, apa aku benar bisa pergi dalam artian yang sebenarnya?

Aku meliriknya, tampak wajahnya sedih mendengar perkataanku.

Kita bisa apa, selain patuh pada Yang Merencanakan Takdir?

Mungkin dia adalah salah satu pintu yang harus segera aku tutup dalam episode hidupku. Mungkin memang kami tidak ditakdirkan bersama sejak awal kisah ini.

Tentang rasa yang tidak juga berlabuh, ah, kita sama-sama paham, bahwa tidak semua cinta harus berujung pada bersatunya dua insan bukan?

Allah punya takdir bagi masing-masing kami.

*****

Ada sebuah broadcast masuk di whatsapp ku, info tentang dibutuhkannya seorang tenaga pengajar tahfizh Al-Qur'an di daerah Tanjungpinang. Kepulauan Riau.

Aku merenung. Apa ini salah satu jalan yang Allah berikan untukku? Aku memang berniat untuk pergi. Pergi hijrah. Menghijrahkan hati sudah aku lakukan. Lalu menghijrahkan diriku ke tempat dan lingkungan Qur'ani, ini yang sangat aku butuhkan. Minimal sekali ini untuk kebaikan aku dan anakku. Dia butuh teladan baik, tempat yang baik.

Maka aku ajukan lah CV lamaran ke alamat email yang tercantum di pesan broadcast tersebut.

Dalam suasana hatiku yang masih melankolis, aku diterima tanpa banyak pertimbangan, dan harus berangkat ke sana dalam kurun waktu tiga hari ke depan.

"Apa ini tidak terlalu cepat?"

"Kau yakin dengan keputusanmu?"

"Kau tidak kenal siapapun di sana. Apa kau akan sanggup bertahan sampai minimal kontrak satu tahun itu berjalan?"

Belum lagi aku berangkat, tapi kepengecutanku mulai bersuara lagi. Dalam hati saja. Tapi dia sanggup membolak-balikkan keputusanku berkali-kali.

Aku buka dyariku. Menulis. Aku butuh segera menulis. Bertanya dengan terang pada diriku sendiri. Tentang keputusan apa yang harus aku ambil.

Meski sebenarnya sudah jelas mana yang baik dan semestinya aku ambil.. Tapi aku masih butuh dikuatkan.

"Bukankah bumi Allah ini luas? Maka berhijrahlah." tetiba sebuah ayat menggema dalam sanubariku. Ya... Aku akan pergi.

*****

'Ada dua hal yang akan membawa seseorang pergi jauh dari tanah kelahirannya. Ia bisa jadi karena cinta yang keterlaluan atau karena benci yang keterlaluan.'

Novel 'Rindu' karya Tere Liye, menemani perjalananku, menamparku dalam sebuah bait di dalamnya.

Lalu aku? Karena apa aku pergi? Dalam perjalanan ke bandara, aku terdiam merenung di dalam mobil.

Kau boleh katakan aku pergi karena cinta yang sudah keterlaluan. Aku ingin menjaga batasan yang telah Allah tetapkan. Untuk membuktikan kesungguhan bahwa aku benar lebih memilih cinta Allah dari cinta kepada selainNya. Meski berat. Meski enggan. Meski terasa begitu sesak. Aku tau kenapa aku memilih.

"Kamu diantar Kholil kan? Kamu bolehkan ataupun nggak, aku akan anter kamu sampai bandara." Paksanya dalam sebuah pesan di whatsapp.

Saat tiba di bandara, ada orang yang begitu keras kepalanya menghampiriku dan anakku yang diantar oleh adik lelakiku.

Dia, teman kecilku. Lagi.

Dalam hati aku merutuki kekeraskepalaannya. "Hai kau bodoh, buat apa datang ke sini. Memutuskan buat pergi saja sudah cukup sulit buatku. Kenapa kamu ada di sini? Buat apa? Ini hanya membuat semua semakin berat."

Dalam wajah kuyu kelelahan setelah perjalanannya ke luar kota, dan berkeras mengantarku ke bandara, masih dengan mengenakan setelan jas dan menenteng tas koper perjalanan, dia menatapku dalam pandangan yang dicuri-curi.

"Semoga kamu dan dede Zahrah sehat selalu. Jangan lupa kabari ya." Ada nada sedih pada intonasi suaranya.

"Ya." Aku menjawab sekenanya, sambil berbicara dalam hati, "Entahlah.."

Hanya begitu saja. Kisahnya dalam hidupku aku cukupi sampai di sana. Cukup.

Aku melangkah masuk ke dalam bandara. Meninggalkannya di belakang punggungku. Entah dia menatap atau tidak, aku berkeras tak akan menengokkan wajahku kembali ke belakang.

"Bismillah... Ini saatnya maju. Hidupmu harus terus melaju." Aku menegar-negarkan hatiku yang mulai terasa menciut begitu semakin mendekat pada pesawat yang akan membawaku pergi ke daerah yang begitu entah buatku.

Di dalam pesawat, perasaan itu buncah sudah dalam air mata yang berlinangan.

"Aku ada di sini ya Allah. MemilihMu. Memilih berhijrah ke tempat yang entah, untukMu, agar aku bisa menyempurnakan ketaatanku padaMu. Menjaga batasan yang telah Kau tetapkan. Kau melihat aku ya Allah? Kau tau aku takut. Aku hanya berdua dengan puteri kecilku ini. Mohon temani dan bimbing selalu langkahku ini. Biarkan ketakutanku ini sirna dibawah titahMu atas hidupku."

Pesawat lepas landas meninggalkan daratan. Membawaku semakin menjauh dari tempat kelahiranku.

Sambil memeluk puteriku, lagi-lagi aku gemakan asma Allah di dalam hatiku.

Allah... Allah... Allah...

Entah hidup macam apa yang menungguku di sana dan bagaimana akhir dari perjalananku ini, mohon terus pegangi aku.

________________________________________________
To be continue to Novel *Perjalanan Pembuktian Cinta*

Alhamdulillah part 14 ini adalah part terakhir yang akan aku share di Facebook ini.. Selanjutnya akan dirampungkan dalam buku novel yang sedang digarap. Mohon doa dari semuanya.

Versi Novel dan versi seri FB akan berbeda. Karena akan lebih detail penggambarannya dan dari dua sudut pandang.

Untuk open pre order buku ini, dibuka  tanggal, 16 September 2017, bertepatan dengan ulang tahun kakak Zahrah 😊

Ditunggu ya open PO nya!

Semoga bermanfaat.

Komentar

  1. masyallah teteh. nangis bacanyaaaaaaa

    BalasHapus
  2. saya RM berkomentar
    22/06/2022 pukul 20:45
    Saya telah selesai membaca buku ini dan saya kagum atas isinya bukan hanya isi buku ini menarik akan tetapi di dalamnya terdapat banyak sekali inspirasi" kehidupan...

    BalasHapus

Posting Komentar

Terimakasih sudah membaca blog ini dan bersedia meninggalkan jejak dalam komentar,semoga bermanfaat ya. ^_^

Postingan populer dari blog ini

DARI ANAKMU YANG KINI DEWASA

Perjalanan Pembuktian Cinta #Part1

Hmm..ukhti, istiqomahlah..