Postingan

Sebuah Alasan tentang Kenapa Dilarang dan Kenapa Disuruh

(Refleksi tentang kasih sayang Allah di balik setiap perintah dan larangan-Nya) Hari ini Allah mengajarkanku sesuatu. Bukan lewat ayat yang kubaca, bukan pula dari ceramah atau buku yang kubuka—melainkan lewat keseharian sederhana bersama anak-anakku. Lewat satu peristiwa kecil di rumah, yang mungkin tampak sepele, tapi justru di sanalah Allah menyisipkan hikmah yang begitu dalam. 1. Sebuah Permainan yang Tak Biasa Sore itu, Raihan, anakku yang berusia sembilan tahun, sedang bermain dengan sebuah kardus besar. Ia tampak sangat antusias, seolah menemukan dunia baru dalam kardus itu. Tangannya memegang garpu besi, dan ia mulai menusuk-nusuk bagian permukaannya dengan semangat. Bagi anak-anak, mungkin itu hanyalah permainan yang seru. Tapi dari sudut pandangku sebagai seorang ibu, yang langsung bisa membayangkan segala risiko—itu berbahaya. Lebih-lebih lagi, adiknya yang baru dua tahun sedang memperhatikan dengan mata berbinar. Aku tahu sebentar lagi ia pasti akan meniru. Dan di situlah n...

Luka dan Pilihan

Apakah semua orang sedang bertahan dalam kemalangan hidupnya? Luka-luka yang tak pernah diundang, mungkinkah itu sebabnya? Tak diminta tapi hadir. Sakit datang tanpa permisi. Perih yang baru dirasakan oleh seorang anak yang bahkan belum tahu apa-apa… Kadang aku ingin melihat manusia dengan mata kasih. Dia keras karena jalan hidupnya memang keras. Dia egois karena kisahnya terlalu berat. Dia penuh obsesi karena masa kecilnya teramat tak mudah. Bolehkah aku begitu? Tapi aku juga tahu, mata kasih bukan berarti membenarkan yang salah. Salah tetaplah salah. Dan kebenaran hanya satu: apa yang ada di sisi Allah. Meski begitu, aku berdoa semoga Allah menyembuhkan luka-luka mereka—sebagaimana Dia juga masih menyembuhkan lukaku. Apakah itu pandangan yang kolot? Jika keyakinanku tetap tak bisa menerima ada yang rela melepas hijab dengan alasan luka demi luka, apakah aku terlalu tidak empati? Tapi kalau aku membenarkan yang salah, bukankah itu juga bukan bentuk kasih sayang? Aku ...

Terseret Derasnya Arus Informasi

Terseret Derasnya Informasi Pernah nggak sih, merasa kepala penuh banget? Rasanya setiap hari ada aja informasi baru yang datang. Dari medsos, dari orang sekitar, dari bacaan. Semuanya terdengar penting. Awalnya kita udah niat, “Aku mau perbaiki ini dalam diriku.” Tapi sebelum sempat mulai, muncul lagi info lain yang seakan lebih mendesak. Kita pun sibuk ngikutin yang itu. Lalu, belum selesai juga, datang lagi informasi lain. Begitu terus sampai akhirnya kita lupa sama tekad awal kita sendiri. Dan kalau dipikir-pikir, kita kayak orang yang jalan tapi muter-muter aja. Sibuk gerak, tapi nggak sampai ke tujuan. Lelah dengan Arus yang Nggak Pernah Berhenti Memang sih, gampang banget sekarang dapat info. Tapi gampangnya itu justru bisa jadi jebakan. Kalau nggak punya filter, semua info yang kita telan mentah-mentah malah bikin kita makin bingung. Bukannya tercerahkan, malah overthinking. Hati jadi capek. Kepala makin penuh. Kita merasa belajar banyak, tapi ternyata nggak ada yang benar-bena...

Tak Tahu Apapun

Makin kuselami, makin kudalami, makin lama kucari, makin lah aku tak tahu apapun. Pertanyaan malah semakin banyak. Tercerahkan sekaligus semakin penasaran. Bagaimana cara memahami keseluruhan? Batinku. Sepertinya memang tidak bisa. Maka terus kutempuh berbagai perjalanan. Kuterus cari ke mana-mana dan ke siapa-siapa. Barangkali akan makin mencerahkan. Barangkali akan semakin lengkap puzzle demi puzzle itu tersusun. Meski belum utuh, aku tetap tahu bahwa akhirnya ini semua akan ke mana dan menjadi apa. Tapi, pasti akan berbeda saat bisa mengenali keutuhannya dengan paham setiap bagian mesti ada di mana kan? Begitulah. Apapun.. aku bahagia dengan semua proses ini. Tanda aku belajar. Tanda aku berusaha. Tanda aku ada dalam perjuangan ini. Terimakasih atas kesempatan ini..

Beranjak Dari Satu Kebaikan Kepada Kebaikan Lainnya

Dalam menapai jalan Al-Abraar.. Kau ingin kebaikanmu meluas seluas-luasnya. Tapi kau tidak akan bisa mencapainya, jika ibadah pribadimu pun masih terlalu banyak yang harus ditambal sulam agar layak, kan? Fokuslah perbaikan dari dalam itu. Beranjaklah dari satu kebaikan kepada kebaikan berikutnya. Bukan malah berhenti dan merasa puas dan cukup dengan satu kebaikan. Lalu berhenti melakukannya lagi dan lagi. Kau serius kan? Ayo kita seriusi ini menjadi projek perbaikan sebelum 40tahun ❤️

Aku Masih Belajar

Aku masih berada dalam proses belajar yang panjang—dan mungkin memang tak akan pernah benar-benar usai. Karena sejatinya, sepanjang hidup ini adalah ruang belajar yang tiada henti. Mengamalkan ilmu yang sudah kita ketahui—itulah yang paling penting! Aku menyadari bahwa orang-orang yang terus tumbuh adalah mereka yang tak lelah belajar. Maka jadilah pembelajar sejati. Serap setiap hikmah yang disodorkan oleh kehidupan. Bersikap baiklah. Bersabarlah. Sebab segalanya butuh waktu, tidak instan. Dan jika suatu saat, dalam peran yang sedang kau jalani terasa berat—hingga kau lupa ilmu mana yang seharusnya diterapkan—tenanglah terlebih dahulu. Amalkan apa yang sudah kau tahu. Tak perlu langsung mengurai teori-teori rumit. Mulailah dari yang paling sederhana. Perbaiki yang tak tampak—yakni hatimu. Sebab dari sanalah segala perbaikan bermula. Niscaya, apa yang tampak pun perlahan akan membaik. Jangan lupa memohon kepada Allah kekuatan dan kemampuan untuk mengamalkan ilmu—dari hal yang tamp...

Malam Ini, Aku Ingin Jujur

Aku mengenali proses ini. Inilah fase di mana segalanya terasa berat—namun justru sedang memperbaiki diriku. Kali ini, aku ingin bersikap lebih baik. Lebih bijak dari diriku yang dulu saat menghadapi hal serupa. Agar ketika semua ini usai, yang tertinggal hanya keindahan—tanpa luka. Apakah itu mungkin? Sebab dulu, setiap getar dalam jiwa menyisakan rasa tak pantas, tak layak, bahkan hina. Tapi kali ini… bolehkah aku berharap, bahwa semua getar ini cukup meninggalkan keindahan yang murni? Tanpa jejak rasa-rasa negatif yang semestinya tak perlu ada? Kenapa proses ini harus terasa seberat ini? Rasanya seperti bab dalam hidup yang ingin ku-skip saja. Kalau ini sebuah buku, ingin sekali aku lompat ke halaman terakhir. Kalau ini sebuah video, aku ingin cepat-cepat tekan tombol "percepat". Tapi ini bukan buku. Bukan pula video. Ini adalah hidup. Dan aku harus menjalaninya—meski hati enggan. Sempat terlintas tawaran menggoda dalam pikiranku: Bolehkah aku kabur dari semua ini? Padahal...

Tertawan

Tertawan. Memang begitulah mestinya kita hidup—dalam kewaspadaan penuh. Seperti seorang tawanan yang sadar sepenuhnya akan kondisinya: tak leluasa, tak bebas, dan tak berhak semena-mena. Kesadaran itulah yang melahirkan ketundukan. Bukan karena lemah, tapi karena tahu diri. Hingga saat pembebasan itu datang—oleh Dia yang Maha Berwenang.