Postingan

Beranjak Dari Satu Kebaikan Kepada Kebaikan Lainnya

Dalam menapai jalan Al-Abraar.. Kau ingin kebaikanmu meluas seluas-luasnya. Tapi kau tidak akan bisa mencapainya, jika ibadah pribadimu pun masih terlalu banyak yang harus ditambal sulam agar layak, kan? Fokuslah perbaikan dari dalam itu. Beranjaklah dari satu kebaikan kepada kebaikan berikutnya. Bukan malah berhenti dan merasa puas dan cukup dengan satu kebaikan. Lalu berhenti melakukannya lagi dan lagi. Kau serius kan? Ayo kita seriusi ini menjadi projek perbaikan sebelum 40tahun ❤️

Aku Masih Belajar

Aku masih berada dalam proses belajar yang panjang—dan mungkin memang tak akan pernah benar-benar usai. Karena sejatinya, sepanjang hidup ini adalah ruang belajar yang tiada henti. Mengamalkan ilmu yang sudah kita ketahui—itulah yang paling penting! Aku menyadari bahwa orang-orang yang terus tumbuh adalah mereka yang tak lelah belajar. Maka jadilah pembelajar sejati. Serap setiap hikmah yang disodorkan oleh kehidupan. Bersikap baiklah. Bersabarlah. Sebab segalanya butuh waktu, tidak instan. Dan jika suatu saat, dalam peran yang sedang kau jalani terasa berat—hingga kau lupa ilmu mana yang seharusnya diterapkan—tenanglah terlebih dahulu. Amalkan apa yang sudah kau tahu. Tak perlu langsung mengurai teori-teori rumit. Mulailah dari yang paling sederhana. Perbaiki yang tak tampak—yakni hatimu. Sebab dari sanalah segala perbaikan bermula. Niscaya, apa yang tampak pun perlahan akan membaik. Jangan lupa memohon kepada Allah kekuatan dan kemampuan untuk mengamalkan ilmu—dari hal yang tamp...

Malam Ini, Aku Ingin Jujur

Aku mengenali proses ini. Inilah fase di mana segalanya terasa berat—namun justru sedang memperbaiki diriku. Kali ini, aku ingin bersikap lebih baik. Lebih bijak dari diriku yang dulu saat menghadapi hal serupa. Agar ketika semua ini usai, yang tertinggal hanya keindahan—tanpa luka. Apakah itu mungkin? Sebab dulu, setiap getar dalam jiwa menyisakan rasa tak pantas, tak layak, bahkan hina. Tapi kali ini… bolehkah aku berharap, bahwa semua getar ini cukup meninggalkan keindahan yang murni? Tanpa jejak rasa-rasa negatif yang semestinya tak perlu ada? Kenapa proses ini harus terasa seberat ini? Rasanya seperti bab dalam hidup yang ingin ku-skip saja. Kalau ini sebuah buku, ingin sekali aku lompat ke halaman terakhir. Kalau ini sebuah video, aku ingin cepat-cepat tekan tombol "percepat". Tapi ini bukan buku. Bukan pula video. Ini adalah hidup. Dan aku harus menjalaninya—meski hati enggan. Sempat terlintas tawaran menggoda dalam pikiranku: Bolehkah aku kabur dari semua ini? Padahal...

Tertawan

Tertawan. Memang begitulah mestinya kita hidup—dalam kewaspadaan penuh. Seperti seorang tawanan yang sadar sepenuhnya akan kondisinya: tak leluasa, tak bebas, dan tak berhak semena-mena. Kesadaran itulah yang melahirkan ketundukan. Bukan karena lemah, tapi karena tahu diri. Hingga saat pembebasan itu datang—oleh Dia yang Maha Berwenang.

Dari Aku yang Terus MencariMu

Di antara berbagai gemuruh yang hadir. Aku mencariMu. Menyebut namaNu. Berharap agar yang paling tinggi di atas segalanya tetaplah Engkau. Di antara banyaknya dentuman dalam hati. Aku merapalkan asmaMu. Berharap agar setiap harap, cemas, senang, sedih dan semua rasa itu selalu tersandar hanya padaMu saja. Karena padaMu, ada keabadian yang teramat aku inginkan. Yang jika segala hal tersambung pada taliMu itu maka semua hal akan menjadi baik dan selalu baik. Daya yang ada padaku, milikMu. Kemampuan yang ada padaku, atas kehendakMu. Maka kutitip apa yang ada di luar kendaliku ya Allah… Aku titip pula diriku.. semuaku.. Sampai Kau katakan “Ya” padaku, aku akan berusaha semaksimalku. aku ridha Engkau Tuhanku…maka ridhailah pula aku…

Syawal dan Janji yang Kita Simpan di Dalam Diri

Ramadan telah pergi. Ia tidak pamit. Tidak pula menoleh. Hanya meninggalkan jejak harumnya dalam ruh—jika kita benar-benar hadir saat ia datang. Kini Syawal menyapa. Bukan dengan gegap gempita pesta, melainkan dengan sebuah pertanyaan yang sunyi: “Masihkah kau ingat siapa dirimu saat Ramadan menyentuh hatimu?” Syawal bukan jeda. Bukan tempat kembali bersantai dari perjuangan ruhani. Ia justru pintu masuk, ke sebuah medan baru: konsistensi setelah intensitas. Tentang Ramadan: Mengapa Allah Memilihnya Allah menyebut Ramadan sebagai bulan yang mulia, karena: “ Di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia, penjelasan dari petunjuk itu, dan pembeda antara yang benar dan batil.” (QS. Al-Baqarah: 185) Ramadan bukan bulan lapar. Bukan sekadar puasa. Tapi bulan turunnya cahaya pertama dari langit ke dada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Ibnu Asyur menuliskan: turunnya Al-Qur’an adalah alasan mengapa waktu menjadi mulia. Bukan karena malamnya, bukan karena hari-harin...

Hari Raya, Luka Lama dan Doa

Aku pikir aku sudah sembuh. Ternyata belum… Aku pikir aku sudah bisa memaafkan. Ternyata belum sepenuhnya… Lalu aku menjadi teramat takut salah. Terlalu berusaha menjaga hati orang lain, hingga tanpa sadar menyakiti diriku sendiri. Aku takut dibenci. Padahal batinku sudah kurang—penuh luka. Dan bisa tiba-tiba ambruk begitu saja. Seringkali aku merasa lemas, lelah, sakit kepala. Kupikir yang sakit adalah tubuhku, ternyata… yang terluka adalah ruhku. Luka itu masih ada. Hancur. Berantakan. Dan aku tak menyadarinya sepenuhnya. Aku hanya mengalihkan duka, mengobatinya semampuku… meski belum kunjung sembuh. Maafkan aku, ya Allah… Dalam alam bawah sadarku, momen takbir menggema membesarkan nama-Mu di hari raya, adalah juga momen aku patah hati… pada banyak waktu, dan pada orang-orang yang semestinya dekat, yang seharusnya merangkulku. Tapi justru saat gema takbir itu terdengar, aku sadar: Tak ada sandaran lain bagiku selain Engkau. Tak bisa kubersandar pada dunia, pada manusia… Hanya pada-Mu...

30 Ramadhan 1446H

Lebaran sudah datang lebih dulu di Makkah. Indonesia baru sehari setelahnya akan berlebaran. Hari baru saja berganti 3 menit lalu. Jadi bagiku ini adalah hari ke 30 Ramadhan. Ditengah tidur lelap tetiba suami menelfon, mengabarkan bahwa di sana sudah masuk hitungan 1 Syawal. Pengalaman pertama kami Lebaran Idul Fitri terpisah. Wajahnya menunjukkan kesedihan saat video call tadi. Dia memang berhati lembut. Juga penuh kasih sayang. Aku ya rindu juga, sedih juga, tapi juga bahagia untuknya sekaligus, bisa dapat kehormatan Itikaf 10 terakhir Ramadhan di Masjidil Haram itu luar biasa kan. Dan dia yang Allah berikan kesempatan terhormat itu. Aku bahagia untuknya. Sebenarnya sedihnya lebih dari sekedar Lebaran tanpa keluarga, tapi karena Ramadhan yang sudah berlalu. Atau ya memang campur aduk perasaan antara keduanya itu. Dalam panggilan telfon ya dia juga sempat menceritakan tentang tadabburnya di Quran surat Al-Baqarah ayat 66. Dalam kondisi setengah sadar aku mendengarnya membahas sekilas ...

Agar Kau Tak Kecewa

Hubungan yang terjalin saat kau berusaha rutin membaca Al-Qur’an, itu adalah hadiah. Saat ia menjelma menjadi hati yang semakin indah dan akhlak yang semakin baik, pastikan bahwa muara akhirnya tetap untuk Allah, pada Allah dan karena Allah saja. Kalau niat niat itu mulai melenceng, pastikan kau kemudikan lagi kembali pada tujuan satu-satunya. Agar tidak ada harap, kecewa, tujuan, selainnya. Kita sudah sama-sama memahami ini. Mari bertahan dalam pembuktian kesungguhan ini ya. Yang sabar. Yang kuat.