Saat Hati Belajar Pulang dari Hiruk Pikuk Layar

Saat Hati Belajar Pulang dari Hiruk Pikuk Layar

Ada masa di mana aku begitu tenggelam dalam dunia yang terang oleh layar, tapi gelap oleh makna. Jemariku bergerak cepat, berpindah dari satu konten ke konten lain, tanpa pernah benar-benar hadir di dalam hidupku sendiri.

Aku menyebutnya “hiburan”, padahal mungkin itu pelarian yang dibungkus dopamine.

Sampai suatu hari, aku berhenti.

Bukan karena bosan, tapi karena ingin tahu: seperti apa rasanya kalau aku tak lagi mencari tenang di luar, melainkan di dalam?

Lalu aku mulai menata kembali hari-hariku dengan Al-Qur’an.

Hening yang Tak Kosong

Awalnya aneh.

Waktu-waktu yang dulu penuh notifikasi kini lengang.

Tak ada yang memanggil selain adzan, tak ada suara selain lantunan ayat.

Tapi di keheningan itu, aku justru menemukan sesuatu yang jauh lebih hidup: rasa teduh yang tidak menuntut perhatian, hanya kehadiran.

اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُّتَشَابِهًا

Allah menurunkan perkataan yang paling baik, yaitu Al-Qur’an

QS. Az-Zumar [39]: 23

Aku sadar, ternyata ketenangan itu bukan karena aku menyingkir dari dunia, tapi karena aku akhirnya bertemu dengan diriku sendiri di hadapan Kalam Allah.

Dan benar, sebagaimana hadits Qudsi itu mengajarkan:

“Keutamaan kalam Allah atas kalam selain-Nya, adalah seperti keutamaan Allah atas makhluk-Nya.”

Tak berbanding. Sedikit pun.

Rewiring Ruhani: menyambung ulang “kabel-kabel” jiwa

Kini aku paham: yang berubah bukan sekadar aktivitas, tapi sistem dalam diriku.

Scrolling di media sosial menyalakan dopamin: cepat, tapi dangkal.

Membaca Qur’an menyalakan makna: pelan, tapi dalam.

Mungkin aku tidak kehilangan dopamin, aku hanya memindahkan pusat kendalinya: dari impuls yang refleks kepada kesadaran utuh.

Kini, setiap kali rasa ingin membuka media sosial datang, aku tak lagi menegur diriku, tapi menanyakan dengan lembut:

“Kamu butuh pelarian, atau ketenangan?”

Pertanyaan itu cukup membuatku memilih Qur’an lebih sering daripada notifikasi.

Kembali ke Dunia, Tapi Tak Lagi Sama

Aku tahu, dunia digital tak mungkin kutinggalkan selamanya.

Aku akan kembali, karena ada amanah, ada dakwah, ada hubungan yang perlu dijaga.

Tapi kini aku tahu caranya pulang.

Qur’an telah menjadi rumah, bukan sekadar bacaan.

Jadi saat hiruk pikuk dunia maya mulai bising lagi, aku tahu di mana bisa beristirahat.

Mungkin ini bukan tentang meninggalkan media sosial, tapi tentang menyusun ulang sistem kehidupan yang saling terhubung dan saling mempengaruhi ini dan mengerti ke mana harus memfokuskan perhatian.

Bahwa hati punya ruang terbatas, dan kita harus bijak memilih siapa yang diundang masuk.

Ketika hati sudah kenyang dengan Kalam Allah, semua notifikasi dunia terdengar pelan.

Dan aku ingin hidup seperti itu,

bukan untuk menolak dunia,

tapi agar dunia tak lagi menenggelamkanku.

Karena ternyata,

rasa nikmat paling tinggi bukan saat kita terkoneksi dengan semua orang,

tapi saat kita benar-benar terhubung dengan Dia yang menciptakan semua orang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Musibah: Balasan, Kasih, atau Teguran?

Sebuah Alasan tentang Kenapa Dilarang dan Kenapa Disuruh

Syawal dan Janji yang Kita Simpan di Dalam Diri