Lembaran Semangatku
Bisa kau bayangkan, jika saat itu tidak ada buku yang tergeletak disampingku yang dengan bahasanya sendiri ia ‘memanggil-manggilku’
“Baca aku! Baca aku!”
Entah akan jadi apa aku ini. Seorang pecundang yang senang kabur dari masalah mungkin. Atau serang pemalas yang selalu pintar mencari alasan dan menutup diri dari semua jalan keluar. Aku sangat bersyukur dapat dipertemukan dengan buku yang menjadi awal aku sangat-sangat mencintai dunia membaca. Karena aku baru tahu saat itu, membaca membuka wawasan agar tidak hanya terbelenggu dengan pikiran-pikiran pribadi kita tanpa adanya masukan nutrisi dari buku-buku yang bermanfaat.
Oh ya, dan berawal dari buku itu pula aku mempunyai sebuah motto hidup: NEVER GIVE UP, tidak akan pernah menyerah!
Dari sana aku menjadi seorang predator buku. Buku apapun yang sedang dibaca oleh temanku, aku akan langsung mengeluarkan jurus rayuanku agar aku bisa meminjam buku yang sedang dibacanya itu. Tak jarang aku malah membacanya saat orang-orang sudah terlelap, sampai terdengar adzan subuh bersahut-sahutan, aku baru tersadar, aku tidak tidur sepanjang malam.
Aku pernah membaca karya kedua Andrea Hirata, dari tetralogi Laskar Pelangi, yang berjudul Sang Pemimpi. Aku membacanya di kelas, saat menunggu guru yang belum datang. Saat itu sudah sampai pada bab terakhirnya. Aku menangis sesenggukan saat Arai dan Ikal diceritakan berhasil mendapatkan beasiswa di luar negeri seperti yang mereka impi-impikan selama ini. Aku benar-benar tidak bisa menahan air mataku dan rasa haru yang membuatku tak sanggup mempertahankan isak yang mencekat ditenggorokanku. Teman-teman sekelasku di XI IPA langsung mengerumuniku dengan heran.
“Kamu kenapa? Kok nangis sesenggukan gitu?” Seorang temanku bertanya.
Aku tidak sanggup bicara, hanya bisa menunjuk-nunjuk buku yang baru saja selesai aku tamatkan.
Aku sangat malu dengan kondisiku saat itu yang malah tekesan belajar setengah hati. Padahal mereka sampai harus rela bekerja jadi kuli panggul ikan untuk bisa bersekolah dengan nyaman seperti aku sekarang. Kembali, tekad yang dulu tepancang seperti kembali tersiram bensin dan tersulut api, aku harus bersyukur dengan kondisiku sekarang. Aku akan belajar dengan sungguh-sungguh.
Itu adalah sekelumit cerita masa mudaku. Karena sekarang aku sudah berajak tua di usiaku yang menjelang kepala dua. Jika memang itu sudah bisa dikatakan tua. Setelah menamatkan pendidikanku di madrasah aliyah, aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah di fakultas kedokteran. Dan aku berhasil diterima di sebuh universitas swasta. Tapi karena berbagai hal terkait biaya kuliah, orang tuaku tidak sanggup membiayai kuliah kedokteran yang terkenal biayanya selangit itu. Akhirnya terdamparlah aku di sebuah pesantren, hm, bias kau bayangkan bukan? Sebosan apa aku hidup di pesantren? Setelah enam tahun masa MTs dan MA kuhabiskan di pesantren, masih harus ditambah lagi dua tahun di pesanren tahfidzul qur’an. Awalnya, aku sangat terpaksa, tapi kehidupan mengajarkanku banyak hal. Aku menjadi sangat betah di pesantren tahfidzku yang sekarang. Tahun ini adalah tahun terakhirku di pesantren ini. Dan yang aku bingungkan setelah lulus dari sini aku akan melanjutkan kemana? Akan menjadi apa?
Lelah pikiran dan lelah fisik setelah kegiatan praktek kerja lapangan dari pesantrenku, aku jatuh sakit. Salmonella typhi menyerang ususku, yang menyebabkan aku terkena tifus dan perlu istirahat satu bulan lebih. Aku sudah katakan bukan? Ini bukan hanya karena lelah fisik, tapi juga lelah pikiran. Aku menjadi begitu takut menghadapi hari, kepesimisan kembali menerjangku dengan bayang-bayang menyeramkan. Ah, benar-benar mengerikan keadaanku saat terjangkit tifus itu. Sampai datang salah seorang adikku membawakan ‘santapan’ tebal yang begitu menggiurkan, Ranah Tiga Warna karya Ahmad Fuadi. Kau bisa menebak kelanjutan hari-hari tifusku setelah itu? Bertumpuk buku-bukuku saat masa aliyah mengelilingiku. Jika Alif Fikri, tokoh utama dalam trilogi Negeri Lima Menara itu sampai dikelilingi tiga bukit buku untuk mengejar semua cita-citanya sampai harus belajar seperti kesetanan dan berhasil mendapatkan mimpinya, kenapa aku tidak? Bukankah kondisiku sekarang tidak jauh berbeda dengannya? Aku juga baru akan lulus dari sebuah pesantren, tapi cita-citaku ada di kedokteran. Bahkan kondisiku jauh lebih baik darinya, aku masih mengalami masa-masa di sekolah aliyah selama tiga tahun untuk dijadikan modal nekat menuju kedokteran, walau pelajarannya sudah tidak pernah kuulang lagi hampir selama dua tahun ini. Semangat itu kembali hadir, apalagi saat aku membaca sederet kalimat di buku yang sangat-sangat memotivasi belajar itu, MIMPIMU SANGAT PATUT UNTUK DIPERJUANGKAN!
Aku membaca buku Ranah Tiga Warna itu dalam kurun waktu sembilan jam tanpa sedetikpun kulepaskan dari dari pandangan mataku. Sungguh, sebuah buku luar biasa yang dapat memainkan perasaanku. Aku memang sangat mencintai ilmu. Jadi aku akan terus berusaha menstabilkan bahkan membarakan semangatku untuk terus menuntut ilmu, sesulit apapun jalannya.
Lagi, aku bertanya, bisa kau bayangkan apa yang akan terjadi seandainya aku tidak dipertemukan dengan buku di saat-saat kepesimisanku itu? Aku benar-benar merasa kembali terarahkan. Aku merasa kembali ditunjukkan jalan. Luar biasa!
Dan satu buku yang juga tidak akan pernah lepas dari memberikan segenap semangat dan kepercayaaan diri untukku, Al-Qur’an. Ia lebih dari sekedar buku. Ia lebih dari hanya lembaran-lembaran tanpa makna. Setiap aku mulai merasa kehilangan tujuan hidup, aku akan bisa selalu menemukannya di dalam lembaran-lembaran yang aku geluti, mencoba menjejalkannya dalam memori hafalan di otakku, juga mencintainya dengan seluruh hatiku selama kurun waktu dua tahun di pesantren tahfidzku.
Banyak hal yang aku dapatkan dari buku. Dan sekali lagi aku katakan, aku cinta buku, dengan semua hal yang berkaitan dengan buku dan kepenulisan. Kaena buku dan tulisan adalah lembaran-lembaran semangatku!
Subhanallah...
BalasHapusPerjuangan adalah pelaksanaan katakata, begitu ungkap sang penyair.
Maka, mengejawantahkan "Kaena buku dan tulisan adalah lembaran-lembaran semangatku!" adalah dengan istiqamah ngempi ^^
"Buku bukanlah guru yang terbaik"Fathi yakan...tpi memang terkadang buku mempunyai nuansanya sendiri..krn hidup adalah nuansa
BalasHapus@priyayimuslim
BalasHapushehe. iya nih, mencoba istiqamah ngempi.
kmrn2 mau post tulisan di mp susah bgt.
@iqharokah
hm.. jika memang bukan guru yg baik, stidaknya bisa diambil sisi positifnya..
semua hal bisa menjadi guru bagi kita. asal bisa memilah-milih yg baiknya.
itu pendapat saya. ^_^
yo wes siiiiiiiiiiiiiiiiiiiip
BalasHapusIbaaah susah bacanyaaa :p
BalasHapusitu yang keliatan daunnya ajaa :p
hehe. k marin, iya nih, mesti perbaikan lay out lagi.
BalasHapuslama tak menyapa ya k..
iyaaa :D bolos dr mp hehehe ^^
BalasHapusganti yaah ga bs baca beneran niih :p