Hari Raya, Luka Lama dan Doa

Aku pikir aku sudah sembuh.

Ternyata belum…

Aku pikir aku sudah bisa memaafkan.

Ternyata belum sepenuhnya…

Lalu aku menjadi teramat takut salah.

Terlalu berusaha menjaga hati orang lain,

hingga tanpa sadar menyakiti diriku sendiri.

Aku takut dibenci.

Padahal batinku sudah kurang—penuh luka.

Dan bisa tiba-tiba ambruk begitu saja.

Seringkali aku merasa lemas, lelah, sakit kepala.

Kupikir yang sakit adalah tubuhku,

ternyata… yang terluka adalah ruhku.

Luka itu masih ada.

Hancur. Berantakan.

Dan aku tak menyadarinya sepenuhnya.

Aku hanya mengalihkan duka,

mengobatinya semampuku… meski belum kunjung sembuh.


Maafkan aku, ya Allah…

Dalam alam bawah sadarku,

momen takbir menggema membesarkan nama-Mu di hari raya,

adalah juga momen aku patah hati…

pada banyak waktu,

dan pada orang-orang yang semestinya dekat,

yang seharusnya merangkulku.

Tapi justru saat gema takbir itu terdengar,

aku sadar:

Tak ada sandaran lain bagiku selain Engkau.

Tak bisa kubersandar pada dunia, pada manusia…

Hanya pada-Mu, ya Allah.

Lahir batin.

Buatlah aku bahagia dengan-Mu,

cukup dengan menyebut nama-Mu.

Agar…

jika suatu saat aku dengar lagi gema takbir,

yang mengalir adalah bahagia,

karena-Mu.

Untuk-Mu.

Dari-Mu.

Dan kembali kepada-Mu.


Biar luka dan trauma lalu Kau sembuhkan…

Kau pulihkan dengan cara indah-Mu.

Terima kasih telah mengizinkan aku merasakan hari raya kali ini.

Terima kasih telah mengizinkanku mendengar nama-Mu ditinggikan dan dibesarkan…

Peluk aku, ya Allah…

Jika untuk-Mu aku harus memaafkan lagi dan lagi,

aku bersedia.

Jika demi-Mu aku harus merapikan semua yang berantakan ini,

aku rela.

Meski pelan dan perlahan…

Temani aku ya.

Selalu.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Syawal dan Janji yang Kita Simpan di Dalam Diri

Perjalanan Pembuktian Cinta #Part1

DARI ANAKMU YANG KINI DEWASA