Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2014

Melaju dalam Kereta Ini

Derap hati itu terasa lagi. Benar, aku dipanggil kembali. Dalam sapa yang hangat. Dalam senyum yang memikat. Kembalilah... Kembalilah... Kembalilah... Deru kereta yang terus melaju ini melengkapi segala derap rasa. Terlempar lagi pada satu kumparan masa. Saat di mana kau masih begitu lekat dalam keseharianku. Kau memanggilku lagi, untuk kembali membersamaimu dalam detik-detikku. Aku mengecewakanmu, kau masih mau menerimaku? Aku mengabaikanmu, kau masih mau bercengkrama denganku? Aku ini... Telah meninggalkanmu... Tapi baiknya kau masih tetap mau memintaku kembali. Bolehkah aku kembali mencintaimu lagi? ...... Suara kereta yang melaju melawan angin menerpa menjawabku. Ya... Kesempatan bagimu untuk kembali selalu terbuka lebar.... Kembalilah... Kembalilah... Kembalilah... Biarkan senyummu dan senyumku pada akhirnya adalah satu. Agar bahagiamu dan bahagiaku juga melekat menyatu. Al-Qur'an pedoman hidupku...

Percikan Sapa

Ini harus segera kuceritakan sebelum waktu memudarkannya tanpa sempat kuabadikan dalam jejak kata-kata. Mungkin Kau sedang kembali menyapaku lewat semua yang terjadi di sekitarku. Lewat bu Imas Tuti yang usianya 57 tahun. Dan sudah 26 tahun mengalami sakit bengkak di kaki kirinya. Aku pun sampai ngeri melihatnya. Duduk pun hanya bisa selonjoran tanpa bisa menekuk kakinya. Aku yang hanya anak kemarin sore yang baru belajar di sebuah training dan ingin memberikan setidaknya sedikit manfaat untuk orang yang butuh bantuanku. Tanpa pikir panjang langsung saja aku terapi ibu tersebut. Tak peduli bagaimanapun hasilnya. Entah sembuh ataupun tidak, aku hanya mengikhtiarkan semampuku. Terapi putaran pertama untuk rasa pegak dan berat di kakinya. Putaran kedua untuk rasa kesemutannya. Putaran ketiga untuk emosi yang dirasakannya, rasa jengkelnya yang dipendam sekian lama, rasa kesalnya, rasa bersalahnya pada seseorang. Putaran keempat untuk kakinya yang tidak bisa dilipat saat duduk. Bahkan s

On The Way Harmoni-Lebak Bulus

Kesibukanku sekarang adalah kesibukan yang memahagiakan. Menjalani hari, menjalani pekerjaan, menjalani amanah, menjalani kesempatan yang masih diberikan, dengan sepenuh hati dan sepenuh cinta. Terhimpit dalam kereta, tetap dengan senyum mengembang di bibir. Terjepit saat antri naik busway, masih dengan hati yang tertawa bahagia. Kepanasan dalam angkot dan terjebak macet, juga tetap dengan dada yang lapang. Karena aku cinta dengan hidupku. Tak peduli lah sakit macam apapun. Karena sepenuhnya hidupku ini anugerah yang luar biasa indah. Menatapi wajah-wajah lelah disekitarku. Mendoakan mereka, semoga takdir baik, rizqi baik segera dan selalu tercurah atas mereka yang terus tanpa lelah berusaha menjemput karunia. Dalam putaran waktu, tetesan keringat dan kelelahan demi secercah harapan atas tercapainya cita. Aku sedang dalam perjalananku menuju sebuah Rumah Sakit di daerah Pondok Labu, Jakarta Selatan. Ada pasienku yang menunggu di sana. Sudah13 hari tepatnya, dia tidak mengenal sekit

Abi

Pagi ini anakku, Zahrah namanya, mengeluarkan kata-kata pertamanya. Di umurnya yang ke-18 bulan. Dan kata-kata pertamanya adalah: "Abi." Dia mengucapkannya dengan ekspresi muka yang lucu dan menggemaskan sekali. Tapi mampu membuat aku terbengong beberapa saat. Bagaimanalah... Dia tidak pernah mengenal sosok abinya, kecuali saat baru lahir dalam keadaan masih bayi merah. Dan sesudahnya hanya sekitar dua atau tiga kali pertemuan dengan abinya. Lalu tak pernah lagi. Herannya, mengapa justru kata 'abi' yang pertama keluar dari mulutnya. Mungkin dia merindukan sosok abi ya... Entahlah... Yang bisa aku pastikan kini, aku kan terus menjaganya, memberikannya yang terbaik. Tentang sosok abi baginya, biar Allah yang aturkan untukku dan dia. Karena aku pun kehilangan sosok abi. Abi yang aku kenal selama ini sudah menghilang, tanpa meninggalkan jejak. Tanpa kabar berita. Abi.... Mendengar kata itu saja sudah mampu membuat jantungku seolah dipaksa berhenti berdetak. Aku k

Hampa

Tenggelam... Menghilang... Saat kutatap kaca, aku melihat sosokku. Tapi, sesadarnya aku tau. Itu bukan aku. Aku yang dulu telah menghilang. Habis. Diterpa badai, lantas hancur. Digilas waktu, lantas tiada. Disentuh angin, lantas jatuh. Ada, tapi tiada. Tiada, tapi ada. Tanpa peran. Tanpa karya. Tanpa tenaga. Hanya kosong. Hanya lebur. Hanya sepi. Kemana saja kau selama ini? Aku pun sampai tak mengenali lagi kau yang kini... Kau siapa? Apa yang akan kau lakukan? Telah lama aku bukanlah aku. Karena tanpa mengukirkan hati dalam kata, juga akal dalam jejak rangkai huruf, adalah hampa... Hampa.... Hampa.... Tanpa makna.... Mulai sekarang. Ikatlah lagi. Dalam kata. Berjanjilah padaku. Kembalilah. Jangan pergi lagi. Jangan menghilang lagi. Teruslah bicara padaku dalam rangkaian kata yang kau tulis. Dan akan menjelma abadi. Pelajaran yang akan tersimpan. Hikmah yang disimpan dalam rekam jejak huruf demi huruf. Agar sirnalah segala hampaku. Agar menjauhlah segala resahku.